Minggu, 15 Februari 2015

Misteri Masa Lalu Ibu

Menjadi seorang PNS pastinya masih menjadi impian hampir semua orang yang sudah menyandang gelar sarjana. Setamat S1, satu-satunya penerimaan PNS untuk bidangku yang ada hanya di bawah Kementerian Agama (waktu itu namanya masih Departemen Agama). Tidak ada penerimaan PNS di Dinas Pendidikan ataupun penerimaan PNS Dosen yang kuharapkan.  Meski waktu itu aku sudah di angkat sebagai dosen tetap yayasan di STKIP PGRI Banjarmasin, mempunyai penghasilan yang sudah lumayan dan prospek yang tampaknya akan bagus, aku tetap memutuskan ikut bersaing bersama ratusan lebih sarjana pendidikan matematika untuk 14 posisi CPNS di Departemen Agama yakni 11 buat guru MTsN dan 3 untuk MAN.
Semua urusan pendaftaran sampai memilihkan antara ikut mendaftar sebagai guru MTsN ataukah MAN kuserahkan sepenuhnya pada suami. Keputusannya akhirnya dijatuhkan pada posisi guru di MAN, karena menurutnya, walaupun peluangnya lebih sedikit, namun jika lulus maka akan lebih mudah. Pertimbangannya karena biasanya sekolah setingkat itu lokasinya tidak akan terlalu terpencil.
Pendaftaran PNS kali itu ditangani langsung Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, artinya jika kami lulus maka kami harus bersedia ditempatkan di kabupaten manapun di provinsi ini. Walaupun tak terlalu yakin, ternyata tes saat hujan lebat di asrama haji tahun 2001 itu adalah pengalaman pertama dan sekaligus terakhirku. Alhamdulillah, aku mendapatkan kesempatan pertama dibandingkan teman-teman satu angkatan yang mendapatkan status sebagai CPNS.
Setelah dinyatakan lulus dan melengkapi berkas, kami harus menunggu untuk mendapatkan SK penempatan. Mengingat banyak daerah di luar Banjarmasin yang kekurangan guru maka aku tentu saja tidak akan yakin akan ditempatkan di Kota Banjarmasin. Namun, aku masih berharap ditempatkan di daerah yang terdekat dengan Banjarmasin agar tidak terpisah dengan suami yang sudah lebih dulu diangkat sebagai dosen di kota ini.
Akhirnya setelah menunggu hampir setengah tahun, tiba juga pembagian SK CPNS itu. Ternyata feelingku saat dalam perjalanan bertandang ke rumah seorang dosenku itu benar. Ceritanya, beberapa waktu sebelumnya, saat masih menunggu SK penempatan, aku dan suami yang satu almamater, tapi beda angkatan, bertamu ke rumah beliau untuk suatu keperluan. Karena istri beliau seorang bidan desa, maka beliau mengontrak rumah di desa itu. Pulau Sugara nama kampung tempat beliau tinggal. Letaknya memang di sebuah pulau kecil di perairan sungai Barito. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Kota Banjarmasin namun masuk kecamatan Alalak, kabupaten Barito Kuala. Kalau dari Banjarmasin, perjalanan ke rumah beliau harus melewati jembatan Kayu Tangi Ujung, lalu berbelok ke kiri sekitar 5 kilometer menyusuri jalan yang agak sepi. Dalam perjalanan tersebut, kami melewati sebuah pertigaan yang kiri kanannya berupa sawah yang ditumbuhi ilalang. Sekilas aku membaca sebuah petunjuk papan nama sebuah sekolah, kurang jelas mengarah ke mana karena posisinya yang agak miring. Karena tak sekalipun aku pernah ke daerah itu sebelumnya, maka nama sekolah itu juga tampak asing bagiku. Setelah melewati pertigaan, tidak lama kami menaiki jembatan yang lumayan panjang yang  merupakan akses penghubung ke pulau yang kami tuju. Sekitar 300 meter dari ujung jembatan di Pulau itu, melewati jalan desa yang tidak terlalu lebar, maka tibalah kami di rumah beliau. Dari cerita dosenku itu, aku baru tahu, kalau papan nama yang ada di pertigaan tadi ternyata letaknya di pulau ini. Papan yang bertuliskan MAN 2 Marabahan. Alamat tepatnya sekitar 200 meter lagi melewati rumah dosenku tersebut. Waktu membaca papan nama tadi itu, aku yang kali itu masih pasrah menunggu SK penempatan, berfirasat bahwa aku akan ditempatkan di sana. Dan benar saja, ternyata nama yang sama yang pernah kubaca dipertigaan itu tertulis pada lembaran Surat Tugas yang ku terima pada hari pembagian SK. Alhamdulillah, Allah mendengar do’aku untuk ditempatkan di sekolah terdekat dengan Banjarmasin.
Kali kedua aku datang ke Pulau itu membawa Surat Tugas sebagai seorang pengajar di sana. Sekolah yang begitu biasa dengan pemandangan disekelilingnya hanya sawah namun tampak istimewa karena dipadu dengan pemandangan sungai yang cukup lebar. Sungai yang langsung bermuara ke laut ini setiap hari tak pernah sepi dari kapal yang lewat baik membawa penumpang ataupun mengangkut batu bara.
Beberapa kali masuk, aku masih tak begitu memperhatikan ke sekeliling. Namun, entah mengapa hari itu setelah berkeliling memantau tugas matematika di bangku anak-anak, aku tertarik untuk berdiri di pintu kelas dan menyapu pandang jauh ke depan sana. Di seberang sungai tampak beberapa pabrik besar yang cerobongnya selalu mengeluarkan asap. Kufokuskan lagi pandanganku, dan ada tulisan nama satu perusahaan tertera dalam banner yang cukup besar sehingga aku masih bisa membacanya. Blukk. Aku kaget membaca nama perusahaan yang tertera di sana.  PT. Daya Sakti Unggul Corp Tbk. Perasaan haru menyeruak melihat tulisan nama di perusahaan itu. Nama yang tak pernah sekalipun kulihat namun begitu melekat di ingatan masa kecilku. Yah aku tidak salah, tempat inilah ternyata yang dulu sering kubayangkan dalam gambaran maya masa kanak-kanakku. Suatu tempat dimana orang yang begitu kucintai dan kutunggu kepulangannya harus memasrahkan dirinya sekian tahun menjadi pekerja disana. Dia pasrahkan hidupnya demi menghidupi anak-anaknya sampai sedikit demi sedikit penyakit memaksanya untuk pergi selamanya. Tak disangka tempat yang pernah jadi bagian sejarah hidup ibuku dan tak sekalipun kulihat, kini ada di depan mataku dan bisa kulihat setiap hari. Tak disangka akhirnya aku juga mengabdi di tempat dimana siswaku juga sebagian besar orang tuanya adalah pekerja di pabrik kayu itu,  sama seperti ibuku dulu. Motivasi sebagian besar siswa yang sekolah di sini ternyata juga hanya untuk mendapatkan ijazah yang akan bisa digunakan untuk melamar kerja di perusahaan-perusahaan kayu itu.
Demikianlah, satu lagi misteri dalam hidup masa kecilku berhasil tersibak. Dari sana, aku bisa tahu kehidupan sekeras apa yang dijalani ibuku kala itu. Meski dia tak pernah bercerita padaku, kesempatan bekerja disana membuatku dapat merasakan deru hidup ibuku kala di sana. Aku akhirnya bisa membayangkan bagaimana cara ibuku mendapatkan uang  untuk membeli baju lebaran masa kecilku.  Ah, cerita masa lalu itu kembali membuatku haru. Andai dia masih ada, tentunya dia akan senang kala kuceritakan aku bisa napak tilas kehidupan masa lalunya. Sudahlah, itu cerita lama kawan, sekarang aku juga sudah tidak mengajar di sana. Nanti insya Allah akan kuceritakan bagaimana aku juga bisa pindah kerja dari sana.
Satu hal sekarang yang harus kita maknai bahwa percayalah tak ada yang kebetulan dalam dunia ini. Setiap peristiwa yang kita alami, setiap orang yang kita temui, setiap tempat yang kita datangi, dan seluruh hidup yang kita jalani semua pasti berada dalam skenarionya sang maha Pengatur. Tinggal kita menjalaninya apakah dengan syukur ataukah dengan kufur. Ya Allah, jadikan hamba golongan orang-orang yang pandai bersyukur.