Menjadi seorang
PNS pastinya masih menjadi impian hampir semua orang yang sudah menyandang
gelar sarjana. Setamat S1, satu-satunya penerimaan PNS untuk bidangku yang ada
hanya di bawah Kementerian Agama (waktu itu namanya masih Departemen Agama). Tidak
ada penerimaan PNS di Dinas Pendidikan ataupun penerimaan PNS Dosen yang
kuharapkan. Meski waktu itu aku sudah di
angkat sebagai dosen tetap yayasan di STKIP PGRI Banjarmasin, mempunyai
penghasilan yang sudah lumayan dan prospek yang tampaknya akan bagus, aku tetap
memutuskan ikut bersaing bersama ratusan lebih sarjana pendidikan matematika
untuk 14 posisi CPNS di Departemen Agama yakni 11 buat guru MTsN dan 3 untuk
MAN.
Semua urusan
pendaftaran sampai memilihkan antara ikut mendaftar sebagai guru MTsN ataukah
MAN kuserahkan sepenuhnya pada suami. Keputusannya akhirnya dijatuhkan pada
posisi guru di MAN, karena menurutnya, walaupun peluangnya lebih sedikit, namun
jika lulus maka akan lebih mudah. Pertimbangannya karena biasanya sekolah
setingkat itu lokasinya tidak akan terlalu terpencil.
Pendaftaran PNS
kali itu ditangani langsung Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, artinya
jika kami lulus maka kami harus bersedia ditempatkan di kabupaten manapun di
provinsi ini. Walaupun tak terlalu yakin, ternyata tes saat hujan lebat di
asrama haji tahun 2001 itu adalah pengalaman pertama dan sekaligus terakhirku.
Alhamdulillah, aku mendapatkan kesempatan pertama dibandingkan teman-teman satu
angkatan yang mendapatkan status sebagai CPNS.
Setelah dinyatakan
lulus dan melengkapi berkas, kami harus menunggu untuk mendapatkan SK penempatan.
Mengingat banyak daerah di luar Banjarmasin yang kekurangan guru maka aku tentu
saja tidak akan yakin akan ditempatkan di Kota Banjarmasin. Namun, aku masih berharap
ditempatkan di daerah yang terdekat dengan Banjarmasin agar tidak terpisah
dengan suami yang sudah lebih dulu diangkat sebagai dosen di kota ini.
Akhirnya setelah
menunggu hampir setengah tahun, tiba juga pembagian SK CPNS itu. Ternyata
feelingku saat dalam perjalanan bertandang ke rumah seorang dosenku itu benar. Ceritanya,
beberapa waktu sebelumnya, saat masih menunggu SK penempatan, aku dan suami yang
satu almamater, tapi beda angkatan, bertamu ke rumah beliau untuk suatu
keperluan. Karena istri beliau seorang bidan desa, maka beliau mengontrak rumah
di desa itu. Pulau Sugara nama kampung tempat beliau tinggal. Letaknya memang
di sebuah pulau kecil di perairan sungai Barito. Wilayahnya berbatasan langsung
dengan Kota Banjarmasin namun masuk kecamatan Alalak, kabupaten Barito Kuala. Kalau
dari Banjarmasin, perjalanan ke rumah beliau harus melewati jembatan Kayu Tangi
Ujung, lalu berbelok ke kiri sekitar 5 kilometer menyusuri jalan yang agak sepi.
Dalam perjalanan tersebut, kami melewati sebuah pertigaan yang kiri kanannya
berupa sawah yang ditumbuhi ilalang. Sekilas aku membaca sebuah petunjuk papan
nama sebuah sekolah, kurang jelas mengarah ke mana karena posisinya yang agak
miring. Karena tak sekalipun aku pernah ke daerah itu sebelumnya, maka nama
sekolah itu juga tampak asing bagiku. Setelah melewati pertigaan, tidak lama kami
menaiki jembatan yang lumayan panjang yang
merupakan akses penghubung ke pulau yang kami tuju. Sekitar 300 meter
dari ujung jembatan di Pulau itu, melewati jalan desa yang tidak terlalu lebar,
maka tibalah kami di rumah beliau. Dari cerita dosenku itu, aku baru tahu,
kalau papan nama yang ada di pertigaan tadi ternyata letaknya di pulau ini. Papan
yang bertuliskan MAN 2 Marabahan. Alamat tepatnya sekitar 200 meter lagi melewati
rumah dosenku tersebut. Waktu membaca papan nama tadi itu, aku yang kali itu
masih pasrah menunggu SK penempatan, berfirasat bahwa aku akan ditempatkan di
sana. Dan benar saja, ternyata nama yang sama yang pernah kubaca dipertigaan
itu tertulis pada lembaran Surat Tugas yang ku terima pada hari pembagian SK. Alhamdulillah,
Allah mendengar do’aku untuk ditempatkan di sekolah terdekat dengan
Banjarmasin.
Kali kedua aku
datang ke Pulau itu membawa Surat Tugas sebagai seorang pengajar di sana. Sekolah
yang begitu biasa dengan pemandangan disekelilingnya hanya sawah namun tampak
istimewa karena dipadu dengan pemandangan sungai yang cukup lebar. Sungai yang
langsung bermuara ke laut ini setiap hari tak pernah sepi dari kapal yang lewat
baik membawa penumpang ataupun mengangkut batu bara.
Beberapa kali
masuk, aku masih tak begitu memperhatikan ke sekeliling. Namun, entah mengapa
hari itu setelah berkeliling memantau tugas matematika di bangku anak-anak, aku
tertarik untuk berdiri di pintu kelas dan menyapu pandang jauh ke depan sana. Di
seberang sungai tampak beberapa pabrik besar yang cerobongnya selalu
mengeluarkan asap. Kufokuskan lagi pandanganku, dan ada tulisan nama satu perusahaan
tertera dalam banner yang cukup besar sehingga aku masih bisa membacanya.
Blukk. Aku kaget membaca nama perusahaan yang tertera di sana. PT. Daya Sakti Unggul Corp Tbk. Perasaan
haru menyeruak melihat tulisan nama di perusahaan itu. Nama yang tak pernah
sekalipun kulihat namun begitu melekat di ingatan masa kecilku. Yah aku tidak
salah, tempat inilah ternyata yang dulu sering kubayangkan dalam gambaran maya
masa kanak-kanakku. Suatu tempat dimana orang yang begitu kucintai dan kutunggu
kepulangannya harus memasrahkan dirinya sekian tahun menjadi pekerja disana.
Dia pasrahkan hidupnya demi menghidupi anak-anaknya sampai sedikit demi sedikit
penyakit memaksanya untuk pergi selamanya. Tak disangka tempat yang pernah jadi
bagian sejarah hidup ibuku dan tak sekalipun kulihat, kini ada di depan mataku
dan bisa kulihat setiap hari. Tak disangka akhirnya aku juga mengabdi di tempat
dimana siswaku juga sebagian besar orang tuanya adalah pekerja di pabrik kayu
itu, sama seperti ibuku dulu. Motivasi sebagian
besar siswa yang sekolah di sini ternyata juga hanya untuk mendapatkan ijazah
yang akan bisa digunakan untuk melamar kerja di perusahaan-perusahaan kayu itu.
Demikianlah, satu
lagi misteri dalam hidup masa kecilku berhasil tersibak. Dari sana, aku bisa
tahu kehidupan sekeras apa yang dijalani ibuku kala itu. Meski dia tak pernah
bercerita padaku, kesempatan bekerja disana membuatku dapat merasakan deru hidup ibuku kala di sana. Aku akhirnya bisa membayangkan bagaimana
cara ibuku mendapatkan uang untuk
membeli baju lebaran masa kecilku. Ah, cerita masa lalu itu kembali membuatku haru. Andai dia masih ada, tentunya dia akan senang kala kuceritakan aku bisa napak tilas kehidupan masa lalunya. Sudahlah, itu cerita lama kawan, sekarang aku juga sudah tidak mengajar di sana. Nanti insya Allah akan kuceritakan bagaimana aku juga bisa pindah kerja dari sana.
Satu hal sekarang yang harus kita maknai bahwa percayalah tak ada yang kebetulan dalam dunia ini. Setiap peristiwa yang kita alami, setiap orang yang kita temui, setiap tempat yang kita datangi, dan seluruh hidup yang kita jalani semua pasti berada dalam skenarionya sang maha Pengatur. Tinggal kita menjalaninya apakah dengan syukur ataukah dengan kufur. Ya Allah, jadikan hamba golongan orang-orang yang pandai bersyukur.
Satu hal sekarang yang harus kita maknai bahwa percayalah tak ada yang kebetulan dalam dunia ini. Setiap peristiwa yang kita alami, setiap orang yang kita temui, setiap tempat yang kita datangi, dan seluruh hidup yang kita jalani semua pasti berada dalam skenarionya sang maha Pengatur. Tinggal kita menjalaninya apakah dengan syukur ataukah dengan kufur. Ya Allah, jadikan hamba golongan orang-orang yang pandai bersyukur.