Minggu, 12 Februari 2017

Bukan sebuah Kebetulan..!



Saat ini anak-anak didikku kelas 12 sudah berada di  bulan-bulan akhir sekolahnya. Saat di mana mereka disibukkan antara persiapan menghadapi ujian akhir dengan persiapan memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk masa depannya. Berhadapan dengan mereka, merewind lagi ingatanku pada masa yang sama kala itu. Momen yang sama saat aku dalam proses usia dan tingkatan sekolah seperti mereka. Saat itu, aku juga memasuki semester akhir mendekati masa-masa kelulusan SMA. Sekolahku berada di Kota Kabupaten dengan jarak 200 km dari ibu kota Provinsi. Tentunya info tentang perkuliahan sangat minim aku dapatkan.  Belum ada informasi online yang bisa di akses, karena waktu itu jangankan internet, koran pun hanya bisa dibaca ketika ditemukan sebagai pembungkus saat membeli bawang atau kacang. Seingatku, guru-guru SMAku juga tak pernah seorangpun memberi pencerahan tentang seperti apa dan bagaimana perkuliahan itu sebenarnya. Sosialisasi dari kampus-kampus juga tak pernah sekalipun datang ke sekolahku. Sedikit informasi hanya kudapat dari cerita teman-teman di kelas yang punya kakak sudah kuliah atau keluarganya yang pernah kuliah.
Suatu waktu, aku dan teman-teman yang rangking 10 besar di kelas ditawari guru kami untuk mengisi form aplikasi PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan), sekarang namanya SNMPTN, yang merupakan salah satu jalan kuliah melalui jalur prestasi. Waktu yang diberikan untuk mengisi sangat singkat sehingga sesingkat itu pula aku harus memutuskan. Tak ada keluarga yang bisa kuajak diskusi, karena aku hanya tinggal bersama nenek yang aku yakin tak akan mengerti tentang isian seperti ini. Mengingat kondisiku, saat itu tak ada terbersit keyakinan untuk bisa kuliah seperti beberapa temanku yang sudah dengan mantapnya mempunyai tujuan tempat kuliah. Ada yang ingin ke Malang menyusul kakaknya yang sudah kuliah di sana. Ada yang siap berangkat ke Jogja bersama orangtuanya. Ada yang jauh hari merencanakan untuk bimbel dulu di Banjarmasin agar bisa lulus ujian tulis dan berkuliah di sana. Masa-masa akhir sekolah ini, topik tentang perkuliahan selalu menjadi topik seru dibicarakan setiap kali jam kosong, menunggu pergantian guru masuk kelas atau saat istirahat sambil menuju kantin sekolah.
Untuk tidak menjadi beban siapapun aku sudah merencanakan untuk bersiap mencari kerja setamat SMA, bahkan sampai bekerja seperti tetanggaku yang jadi TKI di luar negri pun akan kujalani.  Namun, entah mengapa aku terima saja ketika guruku menyodorkan lembaran-lembaran form isian aplikasi kuliah itu. Yang ada dalam fikiranku, apa salahnya aku ikut mengisi aplikasi itu, toh tidak bayar dan akupun menerima mengisinya dengan niat hanya mencoba peruntunganku saja. Aku coba membaca dan memahami apa yang tertera pada lembaran-lembaran aplikasi itu. Form itu hanya disertai daftar perguruan tinggi dan program studi yang ditawarkan. Tak banyak penjelasan lagi tentang prodi-prodi yang ditawarkan.  Dari daftar program studi yang ditawarkan oleh kampus yang terletak di Banjarmasin, aku lihat ada deretan nama program studi yang sepertinya serupa dengan judul mata pelajaran yang kami pelajari tiap hari di sekolah. Tanpa memperhatikan nama fakultasnya yaitu FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), mataku hanya fokus pada nama prodi yang berurutan tertulis di sana, antara lain pendidikan kimia, pendidikan biologi, pendidikan matematika, pendidikan sejarah, pendidikan Ekonomi, dan lain-lain. Laksana menjawab pertanyaan manakah pelajaran yang paling disukai, maka dengan jalan itulah aku memutuskan yang mana pilihanku. Berdasarkan pemahamanku sendiri, ketika aku memilih pendidikan matematika, dan sebelum aku mengerti bahwa itu adalah tempat untuk dididik menjadi guru matematika, aku hanya mengira-ngira bahwa nanti kuliahnya pasti tak jauh dari materi matematika seperti yang dipelajari di kelasku. Kebetulan waktu itu belum ada pilihan prodi lain dengan nama serupa. Andaikan seperti sekarang ada  prodi matematika murni dari Fakultas MIPA mungkin aku akan bingung dan mencari tahu apa beda keduanya.
Isian aplikasi kuliah di atas cukup menyibukkan kami karena baru itu pertama kali kami kenal dengan form isian pensil 2B. Kemudian saat kuliah form seperti ini menjadi hal lumrah di isi tiap kali daftar ulang. Guru yang ditugasi mengurusi itu, Pak Rochmad, guru matematiku lulusan D3 UGM, harus memastikan beberapa kali bahwa form yang kami isi sudah benar-benar sesuai standar komputer pemindai. Setelah aplikasi selesai diisi dan dari obrolan dengan teman-temanku yang sama mengisi, baru aku tahu kalau aplikasi yang baru kupilih adalah tempat kuliah calon guru-guru matematika nantinya. Namun, aku tak terlalu ambil pusing, karena jikapun nanti berhasil diterima, aku tak memiliki modal dan keyakinan hal itu bisa kuambil. Diantara 2 kelas IPA di sekolahku, ternyata masih ada 3 temanku lagi yang mengambil pendidikan matematika sebagai pilihan pertamanya.
Tanpa peduli kapan diumumkan hasilnya, aku jalani sisa waktu dengan serius belajar dan rajin mengikuti bimbel sore. Hal yang rutin diadakan sekolah dalam rangka menghadapi ujian nasional yang saat itu dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar tahap Akhir Nasional).  Aku tetap mengusahakan yang terbaik semampuku walaupun aku masih belum tahu bagaimana nanti masa depanku. Dalam masa itu, beberapa guru yang cukup akrab denganku ada yang bertanya tujuan kuliah yang ku isikan pada aplikasi kuliah waktu itu. Sampai saat itu jangankan kepada guru, kepada teman pun, tak pernah sanggup aku menceritakan bagaimana keadaanku sebenarnya. Kututup setiap pertanyaan dengan berusaha mengalihkan topik pembicaraan dan senyum riang yang selalu berusaha kutunjukkan. Yang ku ingat dari guru-guruku saat tahu aku menjadikan pendidikan keguruan sebagai pilihan, selalu ada nada menyesalkan yang muncul dari ekspresi mereka. Ada yang mengatakan harusnya jangan memilih jadi guru, karena nasibku nanti tak lebih dari mereka, juga mengingatkan kesejahteraan guru waktu itu yang hanya pas-pasan. Mungkin penilaian mereka, dari nilai raportku selama ini, aku bisa diterima kalau mau memilih fakultas yang lebih bergengsi seperti fakultas kedokteran, yang saat itu baru beberapa tahun dibuka. Alasan rasional kuungkapkan kepada mereka bahwa aku lebih senang hitungan daripada hapalan. Tak ada yang tahu alasanku sebenarnya bahwa sampai saat itu, memilih dan lulus dimanapun bagiku sama saja, aku tetap tak tahu jalan seperti apa yang akan mengantarku untuk bisa kuliah.
Ternyata tak sampai menunggu selesai ujian nasional, datang kabar yang seharusnya membuatku gembira. Dari 4 orang kami yang memilih pendidikan matematika, hanya aku dan teman akrabku satu kelas yang diterima di pendidikan matematika. Dari dua sisanya, satu orang gagal ikut jalur ini, dan satu lainnya diluluskan pada pilihan keduanya yaitu pendidikan biologi. Namun, nantinya temanku yang gagal ini berhasil masuk matematika melalui jalur tes, dan temanku yang pendidikan biologi ini di tahun kedua juga bisa berpindah ke matematika.
EBTANAS masih beberapa minggu lagi. Waktu pendaftaran ulang kuliah juga masih lama, karena dijadwalkan waktunya setelah pengumuman hasil EBTANAS. Di saat aku harusnya bangga karena sudah berstatus calon mahasiswa. Aku dilanda kebimbangan dan kebingungan yang hanya bisa kupendam sendiri. Tak ada seorangpun tahu perasaan dan keadaanku saat itu. Hati kecilku sebenarnya sangat ingin mengambil kesempatan itu, namun aku tak tahu caranya. Bahkan untuk tidak menambah bebannya, kepada nenek yang memeliharaku, tak juga berani kuceritakan keinginanku. Aku sadar, nenekku yang tak bekerja dan hanya mengandalkan gaji janda pensiunan tentara tak seberapa, pasti tak akan bisa membiayai hidup dan kuliahku di sana. Keluargaku yang lain? Aku juga sadar mereka punya tanggungan masing-masing dan aku tak mau jadi beban keluarga mereka.  Lagipula, aku tak pernah sekalipun sanggup bersuara untuk meminta walau sekedar receh keperluan sekolahku kecuali pada nenekku saja. Aku si anak kampung bergulat antara harapan dan kenyataan.  Dengan berusaha tegar, kucoba memupus harapan dan menutup jalan yang sudah terbentang di depan mata.  Kepada teman akrabku, aku ceritakan bahwa aku mengundurkan diri dan melepas kesempatan itu. 
Namun, ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Aku baru tahu, kalau niatku semula yang hanya main-main mencoba peruntungan dan kemudian mengabaikannya, tidak bisa dibenarkan. Aku dipanggil kepala sekolahku ke ruangannya. Rupanya niatku mengundurkan diri sampai ke telinganya. Katanya keputusanku akan merugikan adik-adik tingkat tahun berikutnya. Kata beliau, kouta sekolah kami akan dikurangi tahun depan jika ada kesempatan lulus tahun ini yang disia-siakan. Mendengar itu, aku tak sanggup lagi berkata-kata. Tak bisa lagi juga kuceritakan bagaimana perasaanku saat itu.
Saat setelah itulah aku menyadari bahwa garis hidup setiap orang sudah ada yang mengatur. Tak ada yang kebetulan dalam dunia ini. Semua hal yang kita jalani, dan orang-orang yang kita temui adalah titik-titik beraturan saling terhubung yang membentuk gambaran seperti apa nanti masa depan kita. Bukan kebetulan kalau aku disodori aplikasi kuliah itu. Bukan kebetulan pula kalau kemudian hatiku tergerak untuk mencoba peruntungannya saja. Bukan kebetulan juga, kalau aku berjalan ke ruang kepala sekolah bersama seorang temanku. Temanku yang menemaniku masuk menemui kepala sekolah itu rupanya tanpa sepengetahuanku (walaupun tak pernah kukonfirmasi, namun aku meyakininya) menceritakan kondisiku pada keluargaku. Sore harinya, pamanku (adik dari ibuku) bersama istrinya datang ke rumah untuk meyakinkanku bahwa mereka akan mengajak keluarga yang lain patungan membiayai kuliahku. Di tengah aku merasa sendiri, aku sadari ternyata aku dikelilingi banyak orang yang begitu peduli. Bahkan aku tak tahu entah mendengar darimana, seorang guruku besoknya memanggilku dan juga berniat menawarkan bantuannya. Aku hanya bisa terdiam, antara ragu dan haru.  Karena sudah tekadku untuk tak ingin membuat repot banyak orang, maka kuusahakan seminimal mungkin menerima bantuan. Aku tak ingin kehidupanku terus-terusan menjadi beban banyak orang. Aku mulai berhitung. Kutengok sisa uang tabungan hasil beasiswa selama ini. Kutawarkan kepada tetangga sepeda sekolahku yang dihargainya tak seberapa. Aku mulai mantap ketika aku mendapatkan cerita dari temanku yang kakaknya sudah kuliah di Banjarmasin bahwa ada beasiswa yang bisa didapatkan mulai awal masuk kuliah dengan seleksi berdasarkan nilai raport saja. Dan dengan berbekal keyakinan bahwa aku bisa mendapatkan beasiswa itu akhirnya dengan membulatkan niat, mengeraskan tekad dan menggali semangat kulengkapi berkas persyaratan daftar ulang.
                Waktu berputar dengan cepat. Meski bukan ruang kelas yang sama, menghadapi anak-anak kelas 12 di masa penghujung sekolah seperti sekarang selalu saja bisa membangkitkan ingatan akan pergulatan perasaanku saat itu. Tentu saja, sekali lagi bukan kebetulan, namun skenarioNya lah akhirnya yang menjadikan peristiwa demi peristiwa 20 tahun silam yang kuceritakan di atas bisa membawaku pada profesiku ini. Bercermin dari masa laluku itu, aku menyadari bahwa dari sekian banyak anak didikku, yang tidak semuanya aku tahu seberat apa beban hidup mereka dan tak semuanya aku tahu latar belakang keluarganya. Namun yang pasti aku yakini bahwa sekecil apapun motivasi, perhatian dan kepedulian maka bisa jadi itulah yang akan membangkitkan dan mengubah hidupnya. Aku yakini, skenario sang Maha lah yang menjadikan kebodohan sekaligus keberanianku saat mengisi aplikasi kuliah saat itu akhirnya membawaku bisa bertemu mereka. Sebagai seorang pendidik, aku menceritakan lagi kisah ini untuk menjadikannya bukan hanya pelajaran hidupku namun juga motivasi bagi anak-anak didikku.


Anak-anakku sayang kelas 12 MAN 2 Model Banjarmasin. Pesan ibu, jangan takut bermimpi Nak…! Siapapun kalian dan bagaimanapun kehidupan kalian, semua punya hak untuk masa depan lebih baik. Bermimpilah dan bangkitlah untuk mewujudkan mimpi-mimpi kalian…teruslah usahakan yang terbaik, karena kita tak pernah tahu apa yang ada di depan dan sudah disiapkan oleh Tuhan untuk kita..!! 
Banjarmasin, 12 Februari 2017

(Dari seorang murid yang bukan kebetulan kemudian menjadi seorang guru)