Saat ini
anak-anak didikku kelas 12 sudah berada di
bulan-bulan akhir sekolahnya. Saat di mana mereka disibukkan antara
persiapan menghadapi ujian akhir dengan persiapan memilih jalan mana yang akan
ditempuh untuk masa depannya. Berhadapan dengan mereka, merewind lagi ingatanku
pada masa yang sama kala itu. Momen yang sama saat aku dalam proses usia dan
tingkatan sekolah seperti mereka. Saat itu, aku juga memasuki semester akhir
mendekati masa-masa kelulusan SMA. Sekolahku berada di Kota Kabupaten dengan jarak
200 km dari ibu kota Provinsi. Tentunya info tentang perkuliahan sangat minim
aku dapatkan. Belum ada informasi online
yang bisa di akses, karena waktu itu jangankan internet, koran pun hanya bisa
dibaca ketika ditemukan sebagai pembungkus saat membeli bawang atau kacang.
Seingatku, guru-guru SMAku juga tak pernah seorangpun memberi pencerahan tentang
seperti apa dan bagaimana perkuliahan itu sebenarnya. Sosialisasi dari
kampus-kampus juga tak pernah sekalipun datang ke sekolahku. Sedikit informasi
hanya kudapat dari cerita teman-teman di kelas yang punya kakak sudah kuliah
atau keluarganya yang pernah kuliah.
Suatu waktu, aku
dan teman-teman yang rangking 10 besar di kelas ditawari guru kami untuk
mengisi form aplikasi PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan), sekarang namanya
SNMPTN, yang merupakan salah satu jalan kuliah melalui jalur prestasi. Waktu
yang diberikan untuk mengisi sangat singkat sehingga sesingkat itu pula aku
harus memutuskan. Tak ada keluarga yang bisa kuajak diskusi, karena aku hanya
tinggal bersama nenek yang aku yakin tak akan mengerti tentang isian seperti
ini. Mengingat kondisiku, saat itu tak ada terbersit keyakinan untuk bisa
kuliah seperti beberapa temanku yang sudah dengan mantapnya mempunyai tujuan
tempat kuliah. Ada yang ingin ke Malang menyusul kakaknya yang sudah kuliah di
sana. Ada yang siap berangkat ke Jogja bersama orangtuanya. Ada yang jauh hari
merencanakan untuk bimbel dulu di Banjarmasin agar bisa lulus ujian tulis dan
berkuliah di sana. Masa-masa akhir sekolah ini, topik tentang perkuliahan selalu
menjadi topik seru dibicarakan setiap kali jam kosong, menunggu pergantian guru
masuk kelas atau saat istirahat sambil menuju kantin sekolah.
Untuk tidak
menjadi beban siapapun aku sudah merencanakan untuk bersiap mencari kerja
setamat SMA, bahkan sampai bekerja seperti tetanggaku yang jadi TKI di luar
negri pun akan kujalani. Namun, entah
mengapa aku terima saja ketika guruku menyodorkan lembaran-lembaran form isian
aplikasi kuliah itu. Yang ada dalam fikiranku, apa salahnya aku ikut mengisi
aplikasi itu, toh tidak bayar dan akupun menerima mengisinya dengan niat hanya
mencoba peruntunganku saja. Aku coba membaca dan memahami apa yang tertera pada
lembaran-lembaran aplikasi itu. Form itu hanya disertai daftar perguruan tinggi
dan program studi yang ditawarkan. Tak banyak penjelasan lagi tentang
prodi-prodi yang ditawarkan. Dari daftar
program studi yang ditawarkan oleh kampus yang terletak di Banjarmasin, aku
lihat ada deretan nama program studi yang sepertinya serupa dengan judul mata
pelajaran yang kami pelajari tiap hari di sekolah. Tanpa memperhatikan nama
fakultasnya yaitu FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), mataku hanya
fokus pada nama prodi yang berurutan tertulis di sana, antara lain pendidikan
kimia, pendidikan biologi, pendidikan matematika, pendidikan sejarah,
pendidikan Ekonomi, dan lain-lain. Laksana menjawab pertanyaan manakah
pelajaran yang paling disukai, maka dengan jalan itulah aku memutuskan yang
mana pilihanku. Berdasarkan pemahamanku sendiri, ketika aku memilih pendidikan
matematika, dan sebelum aku mengerti bahwa itu adalah tempat untuk dididik
menjadi guru matematika, aku hanya mengira-ngira bahwa nanti kuliahnya pasti
tak jauh dari materi matematika seperti yang dipelajari di kelasku. Kebetulan
waktu itu belum ada pilihan prodi lain dengan nama serupa. Andaikan seperti
sekarang ada prodi matematika murni dari
Fakultas MIPA mungkin aku akan bingung dan mencari tahu apa beda keduanya.
Isian aplikasi
kuliah di atas cukup menyibukkan kami karena baru itu pertama kali kami kenal
dengan form isian pensil 2B. Kemudian saat kuliah form seperti ini menjadi hal
lumrah di isi tiap kali daftar ulang. Guru yang ditugasi mengurusi itu, Pak
Rochmad, guru matematiku lulusan D3 UGM, harus memastikan beberapa kali bahwa
form yang kami isi sudah benar-benar sesuai standar komputer pemindai. Setelah aplikasi
selesai diisi dan dari obrolan dengan teman-temanku yang sama mengisi, baru aku
tahu kalau aplikasi yang baru kupilih adalah tempat kuliah calon guru-guru
matematika nantinya. Namun, aku tak terlalu ambil pusing, karena jikapun nanti
berhasil diterima, aku tak memiliki modal dan keyakinan hal itu bisa kuambil.
Diantara 2 kelas IPA di sekolahku, ternyata masih ada 3 temanku lagi yang
mengambil pendidikan matematika sebagai pilihan pertamanya.
Tanpa peduli
kapan diumumkan hasilnya, aku jalani sisa waktu dengan serius belajar dan rajin
mengikuti bimbel sore. Hal yang rutin diadakan sekolah dalam rangka menghadapi
ujian nasional yang saat itu dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar tahap Akhir
Nasional). Aku tetap mengusahakan yang
terbaik semampuku walaupun aku masih belum tahu bagaimana nanti masa depanku. Dalam
masa itu, beberapa guru yang cukup akrab denganku ada yang bertanya tujuan kuliah
yang ku isikan pada aplikasi kuliah waktu itu. Sampai saat itu jangankan kepada
guru, kepada teman pun, tak pernah sanggup aku menceritakan bagaimana keadaanku
sebenarnya. Kututup setiap pertanyaan dengan berusaha mengalihkan topik
pembicaraan dan senyum riang yang selalu berusaha kutunjukkan. Yang ku ingat
dari guru-guruku saat tahu aku menjadikan pendidikan keguruan sebagai pilihan, selalu
ada nada menyesalkan yang muncul dari ekspresi mereka. Ada yang mengatakan
harusnya jangan memilih jadi guru, karena nasibku nanti tak lebih dari mereka, juga
mengingatkan kesejahteraan guru waktu itu yang hanya pas-pasan. Mungkin penilaian
mereka, dari nilai raportku selama ini, aku bisa diterima kalau mau memilih
fakultas yang lebih bergengsi seperti fakultas kedokteran, yang saat itu baru
beberapa tahun dibuka. Alasan rasional kuungkapkan kepada mereka bahwa aku
lebih senang hitungan daripada hapalan. Tak ada yang tahu alasanku sebenarnya
bahwa sampai saat itu, memilih dan lulus dimanapun bagiku sama saja, aku tetap
tak tahu jalan seperti apa yang akan mengantarku untuk bisa kuliah.
Ternyata tak
sampai menunggu selesai ujian nasional, datang kabar yang seharusnya membuatku
gembira. Dari 4 orang kami yang memilih pendidikan matematika, hanya aku dan
teman akrabku satu kelas yang diterima di pendidikan matematika. Dari dua
sisanya, satu orang gagal ikut jalur ini, dan satu lainnya diluluskan pada pilihan
keduanya yaitu pendidikan biologi. Namun, nantinya temanku yang gagal ini
berhasil masuk matematika melalui jalur tes, dan temanku yang pendidikan
biologi ini di tahun kedua juga bisa berpindah ke matematika.
EBTANAS masih
beberapa minggu lagi. Waktu pendaftaran ulang kuliah juga masih lama, karena
dijadwalkan waktunya setelah pengumuman hasil EBTANAS. Di saat aku harusnya
bangga karena sudah berstatus calon mahasiswa. Aku dilanda kebimbangan dan
kebingungan yang hanya bisa kupendam sendiri. Tak ada seorangpun tahu perasaan
dan keadaanku saat itu. Hati kecilku sebenarnya sangat ingin mengambil
kesempatan itu, namun aku tak tahu caranya. Bahkan untuk tidak menambah
bebannya, kepada nenek yang memeliharaku, tak juga berani kuceritakan
keinginanku. Aku sadar, nenekku yang tak bekerja dan hanya mengandalkan gaji
janda pensiunan tentara tak seberapa, pasti tak akan bisa membiayai hidup dan kuliahku
di sana. Keluargaku yang lain? Aku juga sadar mereka punya tanggungan
masing-masing dan aku tak mau jadi beban keluarga mereka. Lagipula, aku tak pernah sekalipun sanggup
bersuara untuk meminta walau sekedar receh keperluan sekolahku kecuali pada
nenekku saja. Aku si anak kampung bergulat antara harapan dan kenyataan. Dengan berusaha tegar, kucoba memupus harapan
dan menutup jalan yang sudah terbentang di depan mata. Kepada teman akrabku, aku ceritakan bahwa aku
mengundurkan diri dan melepas kesempatan itu.
Namun,
ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Aku baru tahu, kalau niatku semula
yang hanya main-main mencoba peruntungan dan kemudian mengabaikannya, tidak
bisa dibenarkan. Aku dipanggil kepala sekolahku ke ruangannya. Rupanya niatku
mengundurkan diri sampai ke telinganya. Katanya keputusanku akan merugikan
adik-adik tingkat tahun berikutnya. Kata beliau, kouta sekolah kami akan
dikurangi tahun depan jika ada kesempatan lulus tahun ini yang disia-siakan. Mendengar
itu, aku tak sanggup lagi berkata-kata. Tak bisa lagi juga kuceritakan
bagaimana perasaanku saat itu.
Saat setelah
itulah aku menyadari bahwa garis hidup setiap orang sudah ada yang mengatur. Tak
ada yang kebetulan dalam dunia ini. Semua hal yang kita jalani, dan orang-orang
yang kita temui adalah titik-titik beraturan saling terhubung yang membentuk
gambaran seperti apa nanti masa depan kita. Bukan kebetulan kalau aku disodori
aplikasi kuliah itu. Bukan kebetulan pula kalau kemudian hatiku tergerak untuk
mencoba peruntungannya saja. Bukan kebetulan juga, kalau aku berjalan ke ruang
kepala sekolah bersama seorang temanku. Temanku yang menemaniku masuk menemui
kepala sekolah itu rupanya tanpa sepengetahuanku (walaupun tak pernah
kukonfirmasi, namun aku meyakininya) menceritakan kondisiku pada keluargaku.
Sore harinya, pamanku (adik dari ibuku) bersama istrinya datang ke rumah untuk
meyakinkanku bahwa mereka akan mengajak keluarga yang lain patungan membiayai
kuliahku. Di tengah aku merasa sendiri, aku sadari ternyata aku dikelilingi
banyak orang yang begitu peduli. Bahkan aku tak tahu entah mendengar darimana,
seorang guruku besoknya memanggilku dan juga berniat menawarkan bantuannya. Aku
hanya bisa terdiam, antara ragu dan haru. Karena sudah tekadku untuk tak ingin membuat
repot banyak orang, maka kuusahakan seminimal mungkin menerima bantuan. Aku tak
ingin kehidupanku terus-terusan menjadi beban banyak orang. Aku mulai
berhitung. Kutengok sisa uang tabungan hasil beasiswa selama ini. Kutawarkan
kepada tetangga sepeda sekolahku yang dihargainya tak seberapa. Aku mulai
mantap ketika aku mendapatkan cerita dari temanku yang kakaknya sudah kuliah di
Banjarmasin bahwa ada beasiswa yang bisa didapatkan mulai awal masuk kuliah
dengan seleksi berdasarkan nilai raport saja. Dan dengan berbekal keyakinan
bahwa aku bisa mendapatkan beasiswa itu akhirnya dengan membulatkan niat,
mengeraskan tekad dan menggali semangat kulengkapi berkas persyaratan daftar
ulang.
Waktu
berputar dengan cepat. Meski bukan ruang kelas yang sama, menghadapi anak-anak
kelas 12 di masa penghujung sekolah seperti sekarang selalu saja bisa
membangkitkan ingatan akan pergulatan perasaanku saat itu. Tentu saja, sekali
lagi bukan kebetulan, namun skenarioNya lah akhirnya yang menjadikan peristiwa
demi peristiwa 20 tahun silam yang kuceritakan di atas bisa membawaku pada profesiku
ini. Bercermin dari masa laluku itu, aku menyadari bahwa dari sekian banyak
anak didikku, yang tidak semuanya aku tahu seberat apa beban hidup mereka dan tak
semuanya aku tahu latar belakang keluarganya. Namun yang pasti aku yakini bahwa
sekecil apapun motivasi, perhatian dan kepedulian maka bisa jadi itulah yang
akan membangkitkan dan mengubah hidupnya. Aku yakini, skenario sang Maha lah yang
menjadikan kebodohan sekaligus keberanianku saat mengisi aplikasi kuliah saat
itu akhirnya membawaku bisa bertemu mereka. Sebagai seorang pendidik, aku menceritakan
lagi kisah ini untuk menjadikannya bukan hanya pelajaran hidupku namun juga
motivasi bagi anak-anak didikku.
Anak-anakku
sayang kelas 12 MAN 2 Model Banjarmasin. Pesan ibu, jangan takut bermimpi Nak…!
Siapapun kalian dan bagaimanapun kehidupan kalian, semua punya hak untuk masa
depan lebih baik. Bermimpilah dan bangkitlah untuk mewujudkan mimpi-mimpi
kalian…teruslah usahakan yang terbaik, karena kita tak pernah tahu apa yang ada
di depan dan sudah disiapkan oleh Tuhan untuk kita..!!
Banjarmasin, 12
Februari 2017
(Dari seorang murid yang
bukan kebetulan kemudian menjadi seorang guru)