Jumat, 01 Desember 2017

Setiap Orang adalah Guru.



Hari ini kembali aku berkomitmen untuk menuliskan cerita yang kujalani setahun terakhir. Tujuannya hanya untuk pengingat diri. Jika suatu hari nanti usia sudah melenyapkan sebagian memori, maka aku ingin apa yang kutuliskan hari ini tetap bisa dibangkitkan lagi. Menikmati lagi sudut-sudut rindu yang menyesap di relung hatiku. Tak perlu harus jadi orang hebat untuk bisa menuliskan kisah diri. Pinjam bahasa kekinian, aku harap kelak anak cucuku di jaman future akan bisa tahu kisah jaman now dari generasi old mereka.
Ya, hari ini kutulis lagi kisahku. Namun kali ini aku tidak lagi bisa banyak bercerita tentang berbagai lomba atau kegiatan mengasah kompetensi yang tahun-tahun sebelumnya sering ku ikuti. Hal ini karena sudah tak banyak lagi alokasi waktuku untuk itu. Dalam setahun ini, aku hanya berhasil  submit  2 kegiatan yaitu Diklat TIK untuk guru Matematika SMA/SMK dan acara tahunan SeNdiMat V.  Kedua kegiatan itu diselenggarakan oleh P4TK Matematika Yogyakarta dengan perekrutan peserta melalui seleksi terbuka. Bagaimana aku berdiklat sambil berpuasa karena tepat bulan Ramadhan, atau bagaimana aura satu ruangan bersama ratusan guru hebat, pemakalah dari seluruh Indonesia, tak perlu banyak kuceritakan karena hal ini sudah pernah kurasakan tahun sebelumnya. Yang jelas, aku harus banyak bersyukur, karena kembali dalam tahun ini aku bisa dua kali balik ke kota pelajar itu lagi. Kota yang makin syahdu dan membuat rindu ketika saat kutuliskan ini, diiringi alunan lembut lagu Katon Bagaskara dengan judul kota itu.
Tulisanku kali ini akan bercerita tentang orientasi hidupku yang berubah hampir 180 derajat semenjak aku ditawari (baca : setengah dipaksa) dalam posisi itu. Kapan kamu bisa berbuat maksimal dan bermanfaat untuk lingkungan terdekat, sedangkan kamu selama ini bisa berbuat banyak untuk kawan-kawan di luar sana, demikian kata-kata yang menusuk jantung pertahananku, saat beliau memintaku membantunya dalam posisi itu. Sebuah tugas agar bisa berkhidmat dan berbuat lebih bagi madrasah tempatku saat ini mengabdi. Madrasah pencetak generasi muda berilmu dan berakhlak mulia di bawah naungan lembaga dengan motto ‘Ikhlas beramal’. Awalnya begitu dalam kufikirkan segala konsekuensi yang akan kuterima. Segenap waktu, tenaga, dan fikiran akan tersita atas nama pengabdian. Kepentingan madrasah harus dinomorsatukan.  
Dari diskusi dengan keluarga dan teman baikku, hanya demi bisa lebih manfaat, aku akhirnya menerima tugas itu dengan segala konsekuensinya. Menghibahkan diri pada Madrasah dengan fasilitas 29 kelas, total 1048 siswa yang terbagi dalam 3 peminatan. Kompleksitas masalah yang tinggi kusadari karena selain layaknya sekolah umum, madrasah ini juga baru saja menerima sk sebagai madrasah penyelenggara program keterampilan layaknya SMK. Lebih dari itu juga bahkan dilengkapi Ma’had layaknya pondok pesantren.
Dalam hitungan hari menjalani tugas itu, terasa begitu besar tantangan yang harus dihadapi. Begitu hebat pengalaman yang didapat. Mulai tiadanya lagi dukungan dana komite karena terbentur aturan hukum yang berdampak pada berubahnya banyak kebijakan madrasah. Proses akreditasi yang harus dihadapi dengan cepat. Berbagai tantangan kuhadapi, dukungan bahkan hujatan, pujian bahkan amarah, rayuan bahkan penolakan.
Semakin ke sini aku sudah mulai terbiasa. Aku abaikan saja hal yang membawa energi negatif. Niatku hanya untuk mengabdi pada madrasah dan wajah-wajah polos yang dititipkan orang tua mereka. Demi kebaikan dan perbaikan. Karena kuyakini, hidup itu bukan tentang siapa yang paling baik tetapi tentang siapa yang mau berbuat baik. Aku terus berusaha fokus hanya pada yang membawa aura positif dan semangat dalam bekerja. Life must go on.
Sudaahlah, rasanya tak perlu kuceritakan banyak bagaimana beratnya tugas itu. Karena aku takut akan jatuh sebagai manusia pengeluh dan tak pandai bersyukur. Biar kutanggung sendiri. Kucoba jalani dengan komitmen pada diri. Kucoba sabar dan ikhlas dengan segala tantangan yang kuhadapi. Aku hanya yakin bahwa selama niatku baik, aku akan selalu ditolong olehNya.
Oya, mungkin kado terindah penghujung usiaku berubah satuannya adalah perasaan berbahagia ketika tahu madrasah kami mampu meraih nilai akreditasi 96 (A). Pencapaian luar biasa yang nyaris sempurna. Rasa tak percaya mengingat persiapan kami yang singkat. Namun, berkat kerjasama semua warga madrasah, akhirnya perjuangan kami ternyata tidak sia-sia. Selain itu, dering telpon yang menawarkan jabatan baru pada suami sesaat sebelum aku tuliskan kisah ini, bisa jadi dapat ku anggap hadiah darinya meski berbungkus sebuah amanah.
Ahh, akan habis kata jika semua kenangan tahun ini kuceritakan di sini. Kalian yang bersamaku telah membuat cerita paling indah sampai kisah paling sedih sepanjang usiaku tahun ini. Terima Kasih. Dari kalian aku sudah belajar banyak. Belajar bagaimana tertawa meski banyak masalah. Belajar bagaimana senang meski banyak beban. Belajar bagaimana tersenyum meski hati menangis. Juga, kalian telah mengajarkanku bagaimana harus memahami meski tak sehati, bagaimana sabar meski hati resah, bagaimana tenang meski hati gelisah, bagaimana percaya meski susah, dan bagaimana tabah meski difitnah. Sekali lagi, Terima Kasih karena kalian adalah Guruku. Guru yang memberiku banyak pelajaran hidup. Thanks.

Banjarmasin, Awal Desember 2017