Konsisten menulis meskipun hanya sekali setahun, kini menjadi satu hal terberat yang
harus kulakukan. Penguatku satu,yaitu ungkapan yang pernah kudapat
saat menghadiri sebuah acara, “jika kamu tidak bisa mencapai semua, maka jangan
tinggalkan semua”. Dan meski sekali
dalam setahun, disela kesibukanku, aku tak meninggalkannya.
Tulisan kali ini kuawali dengan
sebuah peristiwa saat beberapa waktu lalu Jokowi mengumumkan nama Menteri Pendidikannya.
Out of the box, bukan kalangan akademisi seperti kebiasaan selama ini. Kapal
besar bernama Kementerian Pendidikan yang berisi kumpulan aparatur bertitel dan
pencetak titel akan dinahkodai oleh anak muda pengusaha ojek online. Banyak
yang optimis namun juga tak sedikit yang pesimis, berujar nyinyir bernada miris
yang menganggap pendidikan bukan bidangnya. Padahal alasan dipilihnya anak muda
ini sederhana. Karena dia dipandang mengerti bagaimana menyiapkan masa depan dan
mampu membawa perubahan. Namun tentu saja perubahan takkan terjadi, jika persekitarannya
tidak mau ikut berubah. Oya, fokus tulisanku bukan tentang gebrakan apa yang
nanti akan dibuatnya. Kita tunggu, tinggal soal waktu sebab untuk itulah dia
dipilih. Tapi aku membayangkan bagaimana dia masuk dan beradaptasi dalam
lingkungan yang sebagian memandang sebelah mata padanya. Aku tertarik pada satu
keywords “adaptasi”, yang harus dilakukan oleh siapapun yang masuk pertama kali
pada suatu lingkungan baru, termasuk Mr. Nadiem tersebut.
Secara harfiah, adaptasi bisa
diartikan sebagai cara bagaimana makhluk hidup mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Dalam konteks interaksi sosial, adaptasi adalah cara manusia menyesuaikan diri pada suatu lingkungan yang baru sehingga masing-masing merasa nyaman. Kata adaptasi ini bagi sebagian orang
bak pertaruhan, bisa atau tidak, berhasil atau gagal. Adaptasi pastilah
tersebab oleh adanya perubahan yang sering dinilai membuat ketidaknyamanan. Apakah
kita yang harus beradaptasi dengan perubahan ataukah perubahan itu sendiri yang kita harapkan bisa beradaptasi dengan
diri kita. Dan sejauh mana kita mampu beradaptasi menentukan kenyamanan
perasaan masing-masing. Pergantian pucuk pimpinan, baik level atas maupun level
paling bawah, bagaimanapun prosesnya, pasti mengharuskan terjadi proses
adaptasi. Karena pasti selalu ada yang
berubah dan yang akan berubah. Proses adaptasi tidak hanya bagi yang datang namun juga bagi
yang didatangi. Selain contoh Mr. Nadiem di atas, baru-baru juga kita mendengar adanya petisi karyawan
KPK terhadap pimpinan KPK terpilih, adanya
organisasi agama yang menyayangkan Menteri
Agama bukan dari basis mereka ataupun yang paling baru tentang penolakan beberapa karyawan Pertamina dimanajeri
BTP adalah beberapa contoh ketakutan menghadapi sebuah proses perubahan dan
adaptasi.
Lalu bagaimana manusia menghadapi
proses adaptasi yang pasti mau tidak mau sering kita hadapi. Sebuah cerita
pernah lewat di linimasa media sosialku. Tentang bagaimana sekawanan landak
beradaptasi mengusir dingin agar tidak mati. Mereka saling mendekat satu sama
lain demi mendapatkan kehangatan padahal bulu landak yang tajam dari
teman-temannya akan melukai. Mereka memilih sedikit menahan sakit asalkan tidak
mati kedinginan. Namun setelah musim panas datang, mereka saling menjauh
kembali sambil menyembuhkan luka-luka akibat adaptasi musim dingin. Hal ini
menggambarkan kepada kita meski proses adaptasi kadang menyakiti namun tetap
harus dilalui.
Suksesnya proses adaptasi dalam
bingkai komunitas sosial bisa bertransformasi menjadi sebuah kekuatan sosial. Potensi keberagaman menjadi kolaborasi yang kuat dan saling
menguatkan. Persatuan haruslah diikat kebersamaan, bukannya seperti persatean
yang diiikat oleh tusukan menyakitkan dengan dalih keseragaman. Begitulah
interaksi sosial yang harus kita hadapi, kita dituntut harus bisa beradaptasi
dan berkolaborasi.
Terus apa hubungannya dengan
kehidupan yang kujalani setahun ini. Aku tak bermaksud menceritakan tentang
orang lain. Aku takkan bercerita tentang siapapun, karena mungkin nanti ada
yang merasa tersinggung. Aku hanya ingin bercerita tentang diriku dan
perasaanku yang tak bisa terungkap dengan kata sebagai bagian introspeksi dan
refleksi diri. Aku hanya ingin tulisanku kali ini bisa mengabadikan memori
perasaanku jika nanti kubaca lagi. Aku hanya menulis, agar ada yang bisa ditulis
dan dibaca. Tentang bagaimana setahun ini aku banyak belajar. Bagiku, proses
adaptasi adalah bagian dari pembelajaran diri yang tak pernah selesai.
Berhadapan dengan berbagai karakter manusia baik siswa maupun rekan kerja, perlu
adaptasi terus menerus. Semakin banyak berkenalan dan bekerja sama dengan orang
lain, maka semakin kenal watak seseorang dan semakin perlu kita selalu beradaptasi.
Berada pada posisi memegang amanah
cukup berat di madrasah, lumrah sering menghadapi kata-kata pedas kritikan
bahkan nyinyir melecehkan. Namun itu kuanggap sebagai bagian dari proses
pendewasaan diri. Berkhidmat pada madrasah membuatku harus sering mengalahkan
kepentingan pribadi demi kepentingan ribuan anak bangsa di sana. Kadang tak
semua bisa memahami apa yang kuhadapi dan tidak semua orang mengerti apa yang
kulakukan. Pada akhirnya tetap saja mereka memandang berdasarkan persepsi
mereka sendiri. Kapan harus keras dan kapan harus lunak adalah seni yang perlu
dipelajari terus menerus. Aku harus banyak belajar lagi bagaimana mengelola
emosi ketika kepentingan orang banyak dihadapkan dengan kepentingan sesaat yang
salah tempat. Aku harus terus belajar lagi bagaimana mengendalikan diri ketika
berhadapan dengan egoisme pribadi yang ingin selalu diakui.
Bagaimanapun, aku menikmati
perjalanan tahun ini. Bertemu hal baru yang memberi banyak pelajaran dalam
hidupku. Perjalanan yang walau hanya dinikmati sendiri, namun kuyakin suatu
saat pasti akan mejadi sebuah kisah indah untuk dikenang. Aku berharap,
perjalanan melelahkan tahun ini bermuara pada suatu kebaikan.
Meski banyak duri kutemui, banyak
kerikil tajam kuhadapi, banyak angin yang menerpa, aku terus menguatkan diri
sendiri. Meski lelah dan tertatih, ku terus melangkah pada jalan yang kuyakini.
Di jaman serba viral ini, sebenarnya aku sudah berusaha sabar tanpa harus
bercerita panjang lebar. Namun, aku hanya manusia biasa. Aku lelah sering dianggap
salah, kadang gundah, acap resah dan kerap gelisah. Dan maafkan jika tulisanku
ini jadi tempat berkeluh kesah. Memasuki usia sakralku esok hari, aku hanya
berharap bisa terus memperbaiki diri, menjadi pribadi yang lebih baik, dipertemukan
dengan hal yang baik, orang-orang baik, tempat yang baik dan kesempatan untuk
terus berbuat baik. Meski kebaikan tak selamanya dihargai dengan baik. Namun ku
tetap yakin hanya kebaikan yang akan mendatangkan kebaikan.
Banjarmasin, 01 Desember 2019
