Rabu, 07 Oktober 2020

KARYA NYATA DI TENGAH PANDEMI



 Jika ingin ceritamu abadi maka tulislah. Entah ungkapan siapa, tapi aku mengamininya. Apapun profesi kita maka menulis adalah suatu bagian membahagiakan yang bisa kita lakukan. Apalagi jika kita seorang guru. Seorang pendidik adalah tokoh panutan terutama bagi jiwa-jiwa yang dididiknya. Selain dituntut banyak membaca, maka bisa menulis adalah nilai tambah seorang guru di mata anak-anak didiknya. Mereka pasti senang dan bangga membaca karya gurunya. Karena sebuah pembelajaran merupakan wujud pengalaman yang didapat bukan hanya karena diceritakan namun dicontohkan. Guru penulis bisa menjadi contoh nyata bagi anak-anak agar literasi tidak hanya sebuah retorika belaka. Tulisan menyentuh seorang guru bisa langsung menjangkau hati anak-anak didik asuhannya. Karya guru yang mereka idolakan bahkan akan mampu menumbuhkan lagi minat baca anak-anak yang sekarang sudah mulai tergerus oleh game-game online dan status-status alay di media sosial yang sudah banyak keluar dari kaidah tata bahasa. Jadi, dengan menulis kita sebenarnya bisa berbagi, bisa memotivasi dan bisa membangkitkkan literasi bagi siapapun yang membacanya.

Lalu apa saja yang bisa dijadikan sebagai bahan tulisan? Peristiwa demi peristiwa dari hari ke hari yang kita lakukan dengan anak-anak pasti menarik diceritakan. Pemikiran dan karya nyata yang kita lakukan juga bisa jadi bahan tulisan. Tentu saja, bukan guru jika menulis tanpa bisa menyisipkan hikmah dan pelajaran bagi anak didiknya. Namun, menyisipkan pelajaran dengan gaya tanpa menggurui sebagaimana yang dilakukan di depan kelas, bisa jadi akan lebih diterima dan lebih bermakna.

Lalu setelah menjadi tulisan, apakah akan dinikmati sendiri? Tentu saja tidak. Karena ada banyak sarana untuk kita bisa membagi tulisan. Bisa melalui media sosial, blog pribadi ataupun perpustakaan sekolah. Agar nilai tambah semakin besar, maka tulisan akan lebih berarti jika kita bukukan. Karya buku kita akan bertengger manis di perpustakaan sekolah. Dilihat dan bisa dibaca kapan saja oleh anak-anak didik kita. Perpustakaan dengan banyak koleksi karya tulis ataupun buku guru-gurunya sendiri tentu menjadi nilai plus tidak hanya bagi kita pribadi namun juga sekolah tempat kita bekerja. Nilai akreditasi perpustakaan sekolah maupun nilai akreditasi sekolah itu sendiri menempatkan poin penting bagi karya tulis guru-gurunya. Selain itu, tentu akan menjadi motivasi dan kebanggaan bagi warga sekolah, terutama anak-anak didik kita karena mereka membuktikan bahwa gurunya tidak hanya pandai bicara di depan kelas namun juga memiliki karya. Selain itu, setiap fikiran, gerakan ataupun pelajaran hidup yang diabadikan dalam bentuk tulisan akan dengan mudah diwariskan pada generasi-generasi berikutnya, meskipun saat itu kita sudah di mutasi, pensiun atau bahkan sudah tiada. Tulisan kita bisa menjadi bagian yang dapat memperkaya koleksi perpustakaan sekolah, yang akhir-akhir ini mulai berbenah.

Meskipun belum layak disebut sebagai guru penulis maka aku akan mencoba menulis.  Perkenalkan, Aku seorang guru Matematika di MAN 2 Kota Banjarmasin. Anak-anak didik maupun sejawatku sering memanggilku Bu Desy. Sebenarnya banyak yang ingin kutuliskan, baik tentang materi pelajaran ataupun kegiatan sehari-hari yang dilakukan. Namun, kali ini aku akan menuliskan tentang gerakan yang baru-baru ini aku inisiasi. Gerakan yang mudah-mudahan jika dituliskan bisa jadi inspirasi bagi lebih banyak orang lagi. Bisa membangkitkan motivasi, empati dan sikap peduli di masa pandemi yang saat ini masih kita hadapi.

Pandemi yang masih melanda dunia akibat sesuatu tak kasat mata. Benda yang tidak kelihatan yang menyebabkan kita harus keluar dari zona nyaman dan telah banyak memakan korban. Virus yang dinamakan Covid-19 ini telah membuat kita harus belajar dari rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Anak-anak sekolah harus belajar secara daring. Guru-guru dituntut teaching from home. Semua guru yang gagap teknologi harus belajar menguasai teknik pembelajaran digital agar tidak hanya menumpuk tugas tanpa penjelasan materi.

Sebagai guru kelas XII, aku tidak lagi ikut melakukan pembelajaran dari rumah. Karena saat pandemi terjadi, kelas-kelas yang ku ampu sudah menyelesaikan ujian madrasah. Sedangkan Ujian Nasional (UN) tahun ini juga diputuskan ditiadakan. Karena setiap hari terbiasa turun ke sekolah, aku mendadak bingung dengan aktifitas apa yang harus kulakukan di rumah, selain menyaksikan beragam saluran televisi dan berbagai pemberitaan online yang melintas di beranda jejaring sosial, yang semua dihiasi berita tentang virus corona. Pertambahan jumlah terkonfirmasi positif dari hari ke hari kian mengkhawatirkan. Berita tentang tenaga medis sebagai garda terdepan melawan covid-19 yang tiap hari berguguran semakin mencemaskan. Kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) ditengarai sebagai penyebabnya, karena masih banyak yang menghadapi pasien dengan hanya berlindung pakai alat pelindung seadanya. Lalu, nuraniku tergerak. Apa yang bisa kulakukan lebih dari hanya sekedar diam dirumah. Covid-19 adalah musuh bersama maka harus dilawan bersama. Aku harus berbuat. Tidak hanya rebahan.

Kelangkaan APD yang terjadi saat ini dapat dipahami karena tingginya permintaan yang tidak sebanding dengan produksi. Lalu aku mulai berfikir bahwa jika penjahit-penjahit lokal bisa memproduksi APD sendiri, pasti banyak permintaan bisa dipenuhi dan kelangkaan tidak sampai terjadi. Sekolahku adalah sebuah madrasah yang selama ini sebagai penyelenggara keterampilan, salah satunya adalah keterampilan tata busana, yang dilengkapi dengan saran mesin jahit yang lumayan memadai. Karena tak ada pembelajaran di sekolah maka ruangan tata busana tersebut pastinya akan lebih bermanfaat jika bisa dipakai untuk memproduksi APD. Berkoordinasi dengan atasan maupun kepala bengkel tata busana yang mengerti seluk beluk dan teknis penjahitan, ide “Gerakan Peduli APD” pun digulirkan.  Dari grup-grup siswa yang aku punya, aku mencari alumni dan anak-anak kelas XII yang sudah selesai ujian untuk mau menjadi relawan. Selain menyiapkan ruangan dan relawan, aku juga mencari tahu bagaimana bahan dan spesifikasi teknis agar APD yang kita buatkan memenuhi standar kesehatan dan bisa melindungi sesuai fungsi dan harapan. Mulai searching di internet sampai konsultasi dengan mereka yang bekerja di bidang kesehatan aku lakukan Untungnya aku punya beberapa kawan dan keluarga yang bekerja sebagai pengelola Rumah Sakit maupun sebagai dokter. Selain komunikasi via online dengan mereka, aku juga mendatangi dinas kesehatan untuk konsultasi secara langsung. Untuk modal pembelian bahan dasar, kami coba mengetuk hati para alumni, orang tua siswa dan masyarakat yang tergerak untuk ikut gotong royong. Kami buat pamflet dan menyebarnya di semua media sosial. Diluar dugaan gerakan ini dengan cepat mendapat respon positif dari masyarakat.

Tidak hanya donasi yang kami dapatkan namun sebelum produksi dimulai, kami sudah kebanjiran permohonan permintaan APD dari berbagai tenaga medis yang mengetahui gerakan kami. Hal ini tidak aneh, karena sejauh ini kami belum mendengar ada gerakan seperti ini di daerah kami. Selain dari pribadi, banyak juga berdatangan lembaga atau instansi yang ingin membeli produk kami agar mereka bisa menyumbang atas nama mereka sendiri. Namun sesuai komitmen semula, kami tak mencari keuntungan pribadi, karena ini adalah gerakan gotong royong, gerakan bersama dan hasil kerja sama maka semua hasil donasi akan disumbangkan dalam bentuk produk jadi langsung kepada layanan-layanan kesehatan yang membutuhkan.

    "Jika kamu sulit menemukan orang baik, maka jadilah kamu orang baik tersebut". Demikian salah satu kalimatku untuk menyemangati anak-anak relawan APD yang ikut turun tangan. Relawan yang terdiri dari beberapa alumni dan siswi keterampilan tata busana, serta beberapa guru yang bisa menjahit mulai bergerak memproduksi APD. Alat Pelindung Diri yang kami produksi terdiri atas 2 jenis hazmat suit (Coverall dan Surgical Gown) yang sangat diperlukan bagi tenaga medis yang berjuang di garda terdepan melawan covid-19. Meski di belakang layar, kami anggap gerakan kami adalah bagian misi kemanusiaan. Tanpa mengeluh, kami bergerak tiap hari, bahkan tetap berproduksi meski hari minggu dan tanggal merah. Ratusan APD berhasil dibuat dan langsung disalurkan. Berdatangan permohonan APD dari berbagai kalangan baik RS, Puskesmas, ataupun IDI, dalam dan luar kota setiap harinya. Kami berusaha terus memenuhinya. Memutar dana donasi yang Alhamdulillah juga terus mengalir. Kami berkejaran dengan waktu, seiring dengan pandemi yang tiap hari sampai sekarang terus menambah korban.
    Namun, setiap jalan kebaikan pasti akan ada tantangan. Tak mudah memang. Dari bahan yang mulai sulit didapat sampai anak-anak relawan yang sebagian sudah tidak diijinkan orang tua karena keadaan yang mulai mengkhawatirkan. Meskipun kami sudah ketat berpegang pada prosedur kesehatan, selalu jaga jarak dan menyediakan banyak fasilitas cuci tangan serta selalu disinfektan peralatan.

Tepat memasuki bulan Ramadhan dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Kota Banjarmasin, selain pertimbangan kesehatan relawan dan bahan yang mulai langka, maka gerakan gotong royong peduli APD kami hentikan. Dalam kurun waktu 20 hari dari pencarian donasi sampai berproduksi, kami berhasil membuat lebih 400an hazmat, yg diserahterimakan pada 14 Rumah Sakit, 31 Puskesmas, IDI, Klinik Kesehatan, BPBD, Dinas Kesehatan, Bidan Desa, Tim Gugus Tugas Desa, dan beberapa tenaga kesehatan yang telah meminta secara pribadi. Selain itu sisa donasi yang masih ada kami jadikan beberapa paket sembako yang kami salurkan pada warga sekitar sekolah yang terdampak.


        Akhirnya, di tengah kekhawatiran pada hantu corona yg tak kelihatan namun korbannya berjatuhan kami sudah banyak belajar. "Sense of crisis" kali ini tidak hanya membelah secara dikotomi sifat manusia. Takut dan berani, ikhlas dan pamrih, egoisme dan altruisme, peduli dan acuh. Namun gerakan peduli APD yang kami prakarsai telah sukses membuat sekolah kami semakin dikenal. Selain harapan utama kami yaitu banyak jiwa-jiwa terselamatkan, dan tentu saja gerakan nyata ini bisa menumbuhkan empati dan sikap saling peduli pada anak-anak didik kami. Pembelajaran karakter dan kontekstual yang sangat relevan diterapkan sekolah dalam masa pandemi covid-19 ini.

Anak-anak relawan yang terlibat mengaku sangat senang bisa bermanfaat dan membantu masyarakat terutama tenaga medis dalam melawan wabah corona. Begitulah seharusnya hakikat pendidikan, bukan hanya diukur dari nilai-nilai yang ada pada surat kelulusan namun juga diukur dari nilai-nilai karakter yang berhasil diwujudkan. Menanamkan nilai moral bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya. Menumbuhkan sifat peduli dan suka menolong, karena jika kita menolong orang lain maka sebenarnya kita menolong diri kita sendiri.

Demikian tulisan ini dibuat, dengan harapan bisa jadi inspirasi dan pelecut motivasi bagi siapa saja yang membacanya untuk berbuat apa saja yang kita bisa. Suatu saat, aku berharap catatan kecil ini bisa menjadi karya abadi yang menghiasi banyak perpustakaan sekolah baik dalam bentuk fisik maupun digital. Bisa jadi catatan yang menuliskan sejarah bahwa kita pernah bersatu dalam kondisi sulit melawan pandemi seperti saat ini. Menjadi sebuah kenangan kecil kolaborasi antara guru dan siswa yang diabadikan dalam sebuah tulisan. SEKIAN.