Sabtu, 11 Juli 2015

Nani Alwajidah Dalam Kenangan



Ketika aku masih  mendiami rumah dosenku yang lagi kuliah di luar negri, dia adalah tetanggaku. Hampir dua tahun bertetangga, aku belum begitu mengenalnya. Namun, ketika aku bertugas di sekolah yang sama dengan dia, baru aku lebih dekat dengannya. Bagiku, guru senior ini adalah sosok yang unik. Dia mempunyai karakternya sendiri. Kadang, kami tak bisa membaca jalan fikirannya. Namun, hal yang begitu ku ingat, meski terlihat begitu sibuk tetapi dia senang bercanda. Setiap hal-hal serius selalu ada saja yang bisa jadi bahan guyonan. Lebih dari itu, semua orang tiada sangsi bahwa dia adalah sosok yang begitu peduli. Setiap cerita masalah kita maka dia pasti akan berusaha membantu atau setidaknya menawarkan solusi. Pernah beberapa kali aku jalan bareng dia, aku terheran-heran dan diam-diam mengaguminya, karena di beberapa tempat selalu saja ada orang yang mengenali sosoknya. Bahkan tukang parkir pun kelihatan akrab dan begitu mengenalnya. Setelah keherananku kuungkapkan padanya, dia menyahut bahwa dalam hidupnya asalkan dia mampu, maka segala hajat dan undangan dari siapapun tanpa pandang bulu, selalu berusaha dipenuhinya. Terakhir komunikasiku langsung dengan dia (selain di bbm grup), saat guru-guru diwajibkan turun di bulan Ramadhan. Kami bercanda seperti biasa, kemudian setelah dia tahu bahwa aku harus jalan memutar untuk bisa sampai ke sekolah, dia menawarkan bantuan untuk antar jemput aku  karena jembatan yang diperbaiki dekat rumahku. Katanya ikhlas, hanya untuk mengambil pahala di bulan Ramadhan.
Semua hampir tidak percaya dengan berita kematiannya. Begitu mendadak dan tak pernah terdengar keluhan sakit sebelumnya. Ketika melayat ke tempatnya, aku melihat seakan ada magnet luar biasa yang membawa orang-orang untuk bisa memberikan penghormatan terakhir padanya. Komplek Mandiri yang pernah kami diami benar-benar seperti lautan manusia. Mereka datang silih berganti. Bahkan masjid yang lumayan luas tidak cukup untuk menampung jamaah yang ingin turut menshalatkan. Kemudian aku saksikan sampai ke pemakaman, tak kurang puluhan mobil mengantarnya ke peristirahatan terakhir.
Allah menunjukkan pelajaran berharga pada manusia di sekitarnya, dia wafat di bulan baik dalam keadaan selesai mengerjakan shalat tarawih.  Tak mau jadi beban keluarga, sakaratul maut yang dihadapinya juga tak lama. Banyaknya manusia yang datang adalah bukti dan saksi kebaikannya selama ini. Semua seolah mempunyai ikatan batin dengannya.  Selamat jalan sahabat kami, guru hidup kami. Kami doakan, amal kebaikanmu diterima sebagai tiket untuk mendapat tempat terbaik di surgaNya. Aamiin.

Jumat, 10 Juli 2015

Sebuah Catatan Kematian




Dalam minggu ini aku mendapat dua berita kematian.  Orang yang ku kenal pergi tiba-tiba. Awal pekan aku mendapat kabar bahwa istri sepupuku yang dibonceng motor oleh adik kandungnya mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu langsung merenggut nyawa adiknya tersebut. Dua hari kemudian, tepatnya kemarin, aku mendapat berita jika sahabatku, rekan kerja kami yang terlihat sehat-sehat saja tiba-tiba juga sudah tidak ada. Yah, kematian itu suatu keniscayaan. Ia bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Tidak ada yang tahu pada siapa dan kapan malaikat maut akan menjemput. Tentu saja kematian yang tiba-tiba ini begitu mengagetkan keluarga dan kerabat, karena mereka tidak pernah mempersiapkan akan datangnya peristiwa ini.
Meski berbeda, ketika kematian itu tidak lagi tiba-tiba. Dan ketika maut yang menjemput sudah dapat diprediksi kedatangannya. Keluarga pun sudah menyiapkan mentalnya. Namun ternyata, sakitnya ditinggal pergi oleh orang yang begitu dicintai tetaplah serupa.
***
Kota Amuntai, Minggu, 28 November 1993
Tubuh kurus itu terbaring lemah. Jarum jam menunjukkan angka jam sembilan pagi. Dia tidak sadarkan diri. Aku dan kedua kakakku duduk disampingnya, pamanku membacakan dzikir ditelinganya berulang-ulang. Dua jam kemudian dia tiba-tiba tersadar dan bisa mengenali satu-satu orang disampingnya. Suaminya yang kebetulan  baru datang dari Banjarmasin erat menggenggam tangannya. Mata perempuan itu berputar, ditatapnya satu-satu anak-anaknya. Matanya terus mencari, masih ada yang kurang sepertinya. Lalu isyarat matanya menanyakan satu anak tertuanya yang tidak kelihatan. Kakakku itu sekarang masih di Banjarmasin, bekerja di perusahaan kayu lapis. Tetanggaku sudah memberi kabar lewat telegram. Namun mungkin karena hari itu minggu, sehingga tak ada pegawai kantor pos yang bisa menyampaikan. Setiap bunyi motor yang singgah di depan rumah, ibu yang terbaring tiada daya itu terus berusaha untuk mendongakkan kepala, berharap yang datang adalah anak tertuanya. Suaranya sudah tak bisa keluar, namun isyarat matanya menunjukkan pesan teramat dalam. Dia ingin semua anak-anaknya berkumpul di hari terakhirnya.
Lewat tengah hari, tetangga dan keluarga datang silih berganti. Yang ditunggu perempuan itu juga tak kunjung datang. Susahnya komunikasi masa dulu tidak seperti sekarang. Sekitar jam 15.00 wita kembali hilang kesadarannya. Pamanku tak henti melafazhkan kalimat Allah di telinganya. Suami ketiganya itu juga makin erat menggenggam tangannya. Wajah nenekku terlihat pasi tanpa ekspresi sambil mulutnya komat-kamit tak berhenti mendo’akan tubuh yang terbaring dihadapannya.  Kusaksikan nafasnya makin jarang, sampai akhirnya nafasnya benar-benar menghilang. Ya, aku menyaksikannya.  Tatapanku nanar. Aku sudah tak tahu perasaan macam apa yang kurasa kala itu. Yang kuingat, nafasku seakan juga ikut terhenti. Badanku seolah tak ada rasa lagi.
Kami sekeluarga sudah memperkirakan hari itu akan tiba. Penyakit yang bersarang ditubuhnya memang tinggal menunggu waktunya. Meski aku sudah berusaha mempersiapkan mental, tapi ternyata saat itu aku tetap tidak kuat dan tergoncang hebat.
***
Begitulah perasaan ketika seseorang yang begitu kita cintai pergi meninggalkan kita. Cepat atau lambat kematian itu pasti menghampiri orang-orang di sekitar kita. Ketika itu terjadi kita boleh bersedih, kita boleh menangis, kita boleh terguncang, namun lepas itu kita tetap harus segera bangkit dan mengikhlaskan. Karena apapun yang terjadi, hidup tetap harus berjalan. Apa yang menunggu di depan adalah rahasia Tuhan yang bisa jadi lebih indah dari apa yang bisa kita bayangkan.