Jumat, 10 Juli 2015

Sebuah Catatan Kematian




Dalam minggu ini aku mendapat dua berita kematian.  Orang yang ku kenal pergi tiba-tiba. Awal pekan aku mendapat kabar bahwa istri sepupuku yang dibonceng motor oleh adik kandungnya mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu langsung merenggut nyawa adiknya tersebut. Dua hari kemudian, tepatnya kemarin, aku mendapat berita jika sahabatku, rekan kerja kami yang terlihat sehat-sehat saja tiba-tiba juga sudah tidak ada. Yah, kematian itu suatu keniscayaan. Ia bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Tidak ada yang tahu pada siapa dan kapan malaikat maut akan menjemput. Tentu saja kematian yang tiba-tiba ini begitu mengagetkan keluarga dan kerabat, karena mereka tidak pernah mempersiapkan akan datangnya peristiwa ini.
Meski berbeda, ketika kematian itu tidak lagi tiba-tiba. Dan ketika maut yang menjemput sudah dapat diprediksi kedatangannya. Keluarga pun sudah menyiapkan mentalnya. Namun ternyata, sakitnya ditinggal pergi oleh orang yang begitu dicintai tetaplah serupa.
***
Kota Amuntai, Minggu, 28 November 1993
Tubuh kurus itu terbaring lemah. Jarum jam menunjukkan angka jam sembilan pagi. Dia tidak sadarkan diri. Aku dan kedua kakakku duduk disampingnya, pamanku membacakan dzikir ditelinganya berulang-ulang. Dua jam kemudian dia tiba-tiba tersadar dan bisa mengenali satu-satu orang disampingnya. Suaminya yang kebetulan  baru datang dari Banjarmasin erat menggenggam tangannya. Mata perempuan itu berputar, ditatapnya satu-satu anak-anaknya. Matanya terus mencari, masih ada yang kurang sepertinya. Lalu isyarat matanya menanyakan satu anak tertuanya yang tidak kelihatan. Kakakku itu sekarang masih di Banjarmasin, bekerja di perusahaan kayu lapis. Tetanggaku sudah memberi kabar lewat telegram. Namun mungkin karena hari itu minggu, sehingga tak ada pegawai kantor pos yang bisa menyampaikan. Setiap bunyi motor yang singgah di depan rumah, ibu yang terbaring tiada daya itu terus berusaha untuk mendongakkan kepala, berharap yang datang adalah anak tertuanya. Suaranya sudah tak bisa keluar, namun isyarat matanya menunjukkan pesan teramat dalam. Dia ingin semua anak-anaknya berkumpul di hari terakhirnya.
Lewat tengah hari, tetangga dan keluarga datang silih berganti. Yang ditunggu perempuan itu juga tak kunjung datang. Susahnya komunikasi masa dulu tidak seperti sekarang. Sekitar jam 15.00 wita kembali hilang kesadarannya. Pamanku tak henti melafazhkan kalimat Allah di telinganya. Suami ketiganya itu juga makin erat menggenggam tangannya. Wajah nenekku terlihat pasi tanpa ekspresi sambil mulutnya komat-kamit tak berhenti mendo’akan tubuh yang terbaring dihadapannya.  Kusaksikan nafasnya makin jarang, sampai akhirnya nafasnya benar-benar menghilang. Ya, aku menyaksikannya.  Tatapanku nanar. Aku sudah tak tahu perasaan macam apa yang kurasa kala itu. Yang kuingat, nafasku seakan juga ikut terhenti. Badanku seolah tak ada rasa lagi.
Kami sekeluarga sudah memperkirakan hari itu akan tiba. Penyakit yang bersarang ditubuhnya memang tinggal menunggu waktunya. Meski aku sudah berusaha mempersiapkan mental, tapi ternyata saat itu aku tetap tidak kuat dan tergoncang hebat.
***
Begitulah perasaan ketika seseorang yang begitu kita cintai pergi meninggalkan kita. Cepat atau lambat kematian itu pasti menghampiri orang-orang di sekitar kita. Ketika itu terjadi kita boleh bersedih, kita boleh menangis, kita boleh terguncang, namun lepas itu kita tetap harus segera bangkit dan mengikhlaskan. Karena apapun yang terjadi, hidup tetap harus berjalan. Apa yang menunggu di depan adalah rahasia Tuhan yang bisa jadi lebih indah dari apa yang bisa kita bayangkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar