Dalam minggu
ini aku mendapat dua berita kematian. Orang
yang ku kenal pergi tiba-tiba. Awal pekan aku mendapat kabar bahwa istri
sepupuku yang dibonceng motor oleh adik kandungnya mengalami kecelakaan.
Kecelakaan itu langsung merenggut nyawa adiknya tersebut. Dua hari kemudian, tepatnya
kemarin, aku mendapat berita jika sahabatku, rekan kerja kami yang terlihat
sehat-sehat saja tiba-tiba juga sudah tidak ada. Yah, kematian itu suatu
keniscayaan. Ia bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Tidak ada yang tahu
pada siapa dan kapan malaikat maut akan menjemput. Tentu saja kematian yang
tiba-tiba ini begitu mengagetkan keluarga dan kerabat, karena mereka tidak
pernah mempersiapkan akan datangnya peristiwa ini.
Meski berbeda,
ketika kematian itu tidak lagi tiba-tiba. Dan ketika maut yang menjemput sudah
dapat diprediksi kedatangannya. Keluarga pun sudah menyiapkan mentalnya. Namun
ternyata, sakitnya ditinggal pergi oleh orang yang begitu dicintai tetaplah
serupa.
***
Tubuh kurus
itu terbaring lemah. Jarum jam menunjukkan angka jam sembilan pagi. Dia tidak
sadarkan diri. Aku dan kedua kakakku duduk disampingnya, pamanku membacakan dzikir
ditelinganya berulang-ulang. Dua jam kemudian dia tiba-tiba tersadar dan bisa
mengenali satu-satu orang disampingnya. Suaminya yang kebetulan baru datang dari Banjarmasin erat menggenggam
tangannya. Mata perempuan itu berputar, ditatapnya satu-satu anak-anaknya.
Matanya terus mencari, masih ada yang kurang sepertinya. Lalu isyarat matanya menanyakan
satu anak tertuanya yang tidak kelihatan. Kakakku itu sekarang masih di
Banjarmasin, bekerja di perusahaan kayu lapis. Tetanggaku sudah memberi kabar
lewat telegram. Namun mungkin karena hari itu minggu, sehingga tak ada pegawai
kantor pos yang bisa menyampaikan. Setiap bunyi motor yang singgah di depan
rumah, ibu yang terbaring tiada daya itu terus berusaha untuk mendongakkan
kepala, berharap yang datang adalah anak tertuanya. Suaranya sudah tak bisa
keluar, namun isyarat matanya menunjukkan pesan teramat dalam. Dia ingin semua
anak-anaknya berkumpul di hari terakhirnya.
Lewat tengah
hari, tetangga dan keluarga datang silih berganti. Yang ditunggu perempuan itu
juga tak kunjung datang. Susahnya komunikasi masa dulu tidak seperti sekarang. Sekitar
jam 15.00 wita kembali hilang kesadarannya. Pamanku tak henti melafazhkan
kalimat Allah di telinganya. Suami ketiganya itu juga makin erat menggenggam
tangannya. Wajah nenekku terlihat pasi tanpa ekspresi sambil mulutnya
komat-kamit tak berhenti mendo’akan tubuh yang terbaring dihadapannya. Kusaksikan nafasnya makin jarang, sampai
akhirnya nafasnya benar-benar menghilang. Ya, aku menyaksikannya. Tatapanku nanar. Aku sudah tak tahu perasaan
macam apa yang kurasa kala itu. Yang kuingat, nafasku seakan juga ikut
terhenti. Badanku seolah tak ada rasa lagi.
Kami sekeluarga
sudah memperkirakan hari itu akan tiba. Penyakit yang bersarang ditubuhnya memang
tinggal menunggu waktunya. Meski aku sudah berusaha mempersiapkan mental, tapi ternyata
saat itu aku tetap tidak kuat dan tergoncang hebat.
***
Begitulah
perasaan ketika seseorang yang begitu kita cintai pergi meninggalkan kita. Cepat
atau lambat kematian itu pasti menghampiri orang-orang di sekitar kita. Ketika
itu terjadi kita boleh bersedih, kita boleh menangis, kita boleh terguncang,
namun lepas itu kita tetap harus segera bangkit dan mengikhlaskan. Karena apapun
yang terjadi, hidup tetap harus berjalan. Apa yang menunggu di depan adalah
rahasia Tuhan yang bisa jadi lebih indah dari apa yang bisa kita bayangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar