Jumat, 02 September 2016

Paradoks



Demi pimpinan dan kawan-kawan yang mempercayakan, maka tahun ini aku mencoba kompetisi itu lagi. Aku mendengar di tetangga luar sana, kompetisi seperti ini begitu bergengsi. Namanya sama, namun proses seleksinya jauh berbeda. Di sana, seleksi demi seleksi dengan juri yang mumpuni harus mereka ikuti untuk bisa memenangi kompetisi. Namun berbanding terbalik dengan keadaannya di dalam sini. Tak perlu lebar kuceritakan, cukup kami yang pernah mengikuti yang bisa merasakan. Setidaknya saat kompetisi yang sama di sana, juri sangat sulit menentukan juara karna banyaknya peserta, namun di sini bahkan ada yang otomatis juara karna tidak ada pesaingnya. Namun begitu, ternyata terlalu sulit bagiku untuk bisa memenangi kompetisi yang tampaknya mudah ini. Sepertinya lebih mudah bersaing pada seleksi terbuka serupa dengan mereka-mereka di luar sana. Beberapa kali bahkan namaku bisa dengan mudah muncul di deretan nama pemenang, entah kesalahan atau suatu kebetulan, meskipun seleksinya terbuka dengan peserta ribuan datang dari mana saja se-Indonesia. Namun, sulit bagiku menyisihkan hanya 5 peserta di lingkunganku sendiri, yang bahkan aku tahu rekam jejak mereka.
Terlepas bagaimana proses penilaiannya, ataupun jalan seperti apa yang bisa membuat mereka juara. Biarlah pil pahit kegagalan ini kutelan saja. Mungkin peruntunganku bukan di lingkunganku sendiri. Aku sebut pil, karena aku sudah membuktikan bahwa pahit yang kurasakan akan menjadi obat yang sangat berkhasiat, seperti halnya pisau akan tajam hanya bila dibentuk dengan berbagai tempaan. Aku harus kembali pada motivasi awal, bahwa menjadi juara bukan tujuan utama dalam mengikuti setiap kompetisi, namun adalah dakwahku kepada anak-anak didikku. Aku harap sukses dan gagalku bisa menjadi semangat dan contoh nyata bagi mereka. Sebagaimana kalimat Bung Karno yang kukutipkan pada amanatku  saat berkesempatan menjadi pembina upacara senin pagi. Bermimpilah setinggi langit, karena meskipun engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang. Demikian aku membangun motivasi bagi mereka anak-anak didikku dan terlebih bagi diriku. Aku ingin terus menjadi guru yang tidak hanya bisa mengajar, namun juga selalu belajar. Termasuk belajar memaknai kekalahanku kali ini (lagi). Di tengah plagiarisme semudah copy paste dan kejujuran sulit dicari, aku akan terus membangun motivasi diri agar kreatifitas tidak berjalan mencari kuburannya sendiri.
Aku tulis ini hanya untuk menyemangati diri, sebab saat ini aku masih harus  menghadapi babak akhir dari rangkaian seleksi pada dua ajang yang jauh lebih bergengsi.


(Banjarmasin, 2 September 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar