Demi pimpinan dan kawan-kawan yang
mempercayakan, maka tahun ini aku mencoba kompetisi itu lagi. Aku mendengar di
tetangga luar sana, kompetisi seperti ini begitu bergengsi. Namanya sama, namun proses
seleksinya jauh berbeda. Di sana, seleksi demi seleksi dengan juri yang mumpuni
harus mereka ikuti untuk bisa memenangi kompetisi. Namun berbanding terbalik dengan
keadaannya di dalam sini. Tak perlu lebar kuceritakan, cukup kami yang pernah
mengikuti yang bisa merasakan. Setidaknya saat kompetisi yang sama di sana,
juri sangat sulit menentukan juara karna banyaknya peserta, namun di sini
bahkan ada yang otomatis juara karna tidak ada pesaingnya. Namun begitu, ternyata
terlalu sulit bagiku untuk bisa memenangi kompetisi yang tampaknya mudah ini.
Sepertinya lebih mudah bersaing pada seleksi terbuka serupa dengan
mereka-mereka di luar sana. Beberapa
kali bahkan namaku bisa dengan mudah muncul di deretan nama pemenang, entah kesalahan atau suatu kebetulan, meskipun
seleksinya terbuka dengan peserta ribuan datang dari mana saja se-Indonesia.
Namun, sulit bagiku menyisihkan hanya 5 peserta di lingkunganku sendiri, yang bahkan
aku tahu rekam jejak mereka.
Terlepas bagaimana proses
penilaiannya, ataupun jalan seperti apa yang bisa membuat mereka juara. Biarlah
pil pahit kegagalan ini kutelan saja. Mungkin peruntunganku bukan di
lingkunganku sendiri. Aku sebut pil, karena aku sudah membuktikan bahwa pahit
yang kurasakan akan menjadi obat yang sangat berkhasiat, seperti halnya pisau
akan tajam hanya bila dibentuk dengan berbagai tempaan. Aku harus kembali pada
motivasi awal, bahwa menjadi juara bukan tujuan utama dalam mengikuti setiap
kompetisi, namun adalah dakwahku kepada anak-anak didikku. Aku harap sukses dan
gagalku bisa menjadi semangat dan contoh nyata bagi mereka. Sebagaimana kalimat
Bung Karno yang kukutipkan pada amanatku saat berkesempatan menjadi pembina upacara
senin pagi. Bermimpilah setinggi langit, karena meskipun engkau jatuh, engkau
akan jatuh di antara bintang-bintang. Demikian aku membangun motivasi bagi
mereka anak-anak didikku dan terlebih bagi diriku. Aku ingin terus menjadi guru
yang tidak hanya bisa mengajar, namun juga selalu belajar. Termasuk belajar
memaknai kekalahanku kali ini (lagi). Di tengah plagiarisme semudah copy paste
dan kejujuran sulit dicari, aku akan terus membangun motivasi diri agar kreatifitas
tidak berjalan mencari kuburannya sendiri.
Aku tulis ini hanya untuk
menyemangati diri, sebab saat ini aku masih harus menghadapi babak akhir dari rangkaian seleksi
pada dua ajang yang jauh lebih bergengsi.
(Banjarmasin, 2 September 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar