Minggu, 12 Maret 2017

Mendidik dari Hati ke Hati



Tugas seorang guru untuk memanusiakan manusia menjadikan profesi ini (kata orang) sebuah pekerjaan mulia. Berhadapan dengan makhluk bernyawa dengan berbagai karakter membuat hari-hari yang dijalani adalah hari yang selalu penuh dinamika. Ada banyak muncul kejadian tak terduga dalam suasana berbeda untuk setiap hari yang berbeda. Sebagai sebuah profesi, guru dituntut bisa mengelola kelas bagaimanapun kondisinya. Namun, sebagai manusia biasa, guru juga makhluk tak sempurna. Sering, ditengah kondisi tidak prima kita tetap dituntut berpenampilan sempurna. Dalam suasana hati yang tak biasa kadang kita malah diuji kesabarannya. Apalagi sebagai guru matematika, sebuah pelajaran yang jadi momok siswa dan  dianggap sulit. Seringkali harus berhadapan dengan siswa yang cuek, abai, wajah kaku dan tak mau tahu. Berbagai penolakan halus siswa terhadap jam matematika merupakan kejadian yang sudah biasa. Sebagai contoh bila jam matematika setelah jam olahraga, mereka berusaha mengulur waktu berganti pakaian dengan berlama-lama. Juga ketika jam matematika sebelum jam ulangan mata pelajaran lainnya, maka mata dan fikiran anak-anak yang hanya fokus pada pelajaran yang akan di ulangankan seolah meminta pemakluman dan menguji kesabaran. Melihat murid-murid dengan sikap seperti itu, terkadang emosi merasuk ke jiwa. Namun untuk meredamnya, sebuah qoute dari ulama besar KH Maemun Zubaer coba dijadikan pegangan bahwa ketika berhadapan dengan situasi seperti itu hadirkanlah gambaran bahwa satu diantara mereka kelak akan  menarik tangan kita menuju surga.

Sebaliknya, juga banyak cerita menyenangkannya ketika berhadapan dengan anak anak muda setingkat SMA/MA ini. Sering hati ikut terbawa suasana dengan tingkah polah mereka. Aku bisa ikut tertawa ngakak dengan tingkah konyol mereka, bisa ikut melankolis romantis saat mereka curhat cerita cinta, bisa ikut bangga atas prestasi yang mereka gapai bahkan bisa jatuh cinta berkali-kali kepada sikap santun yang mereka tunjukkan. 


Pada tulisanku ini aku akan bercerita tentang beberapa biiimplikasi dari perasaan yang muncul saat berhadapan dengan anak-anak didikku. Pertama-tama adalah tentang suatu peristiwa pada suatu masa saat aku masih menjadi guru ditempat tugas pertamaku. Saat itu ujian nasional masih merupakan penentu kelulusan siswa. Hari itu hari perpisahan sekaligus pengumuman kelulusan ujian nasional. Anak didikku kelas 3 yang jumlah totalnya saja tak lebih dari 30 orang, ternyata beberapa tidak lulus ujian. Bahkan termasuk seorang siswa dengan katagori terpandai di kelas tersebut. Hal ini turut memukul perasaanku sebagai salah satu guru mapel UN, walaupun tidak lulusnya mereka bukan di mapel yang aku ampu.  Aku turut merasakan bagaimana di posisi mereka. Madrasah kami adalah sekolah pinggiran, bukan hanya pinggir kota, tapi juga pinggir sawah dan pinggir sungai. Sering sekolah kami terpaksa harus pulang cepat karena jika tidak, bisa kalah cepat dengan air pasang yang masuk sampai ke dalam kelas. Sekolah ini juga masih belum punya lapangan olahraga kecuali beberapa persegi tumpukan limbah hasil pengolahan kayu yang banyak terdapat di sana. Sebuah sekolah yang anak-anak didiknya tak sanggup beli buku pegangan. Sekolah yang katanya memiliki sebuah perpustakaan namun sebenarnya hanya 2 lemari buku dengan koleksi lama. Sekolah yang ruang labnya hanya berisi 3 lemari alat yang diberi label sebagai lemari fisika, lemari kimia, dan lemari biologi. Sekolah yang lab komputernya hanya memiliki 4 komputer pentium 2 yang menempati sepetak ruang pengap 2 kali 4. Sekolah yang hanya berdinding kayu, beratap seng, dengan jendela yang kecil-kecil tanpa kipas angin. Sekolah yang anak-anak didiknya lebih perlu ijazahnya buat bekerja dibanding kuliah. Namun, anak-anak dengan serba keterbatasan sarana prasarana tersebut akhirnya menjadi korban sebuah sistem pendidikan yang tidak berpihak pada mereka. Aku merasa gagal berjuang bersama mereka. Tak seorangpun mengetahui kalau saat itu aku benar-benar tak bisa membendung airmataku. Aku menjauh untuk menyembunyikan tangisku. 


  - sedikit gambaran suasana tempatku ngajar dulu, diambil ketika selesai acara K3MA tahun 2009-

Peristiwa itu juga yang jadi satu alasan aku mantap memilih pergi mengikuti tugas belajar di Yogyakarta dan melupakan sejenak tentang dunia sekolah dan segala dinamikanya. Walaupun ternyata menginjak tahun kedua tugas belajar, aku sering sangat meridukan masa-masa mengajar seperti dulu lagi, sering rindu bercengkrama lagi dengan mereka, anak-anak didikku yang kusayangi.

Peristiwa selanjutnya yang akan kuceritakan adalah tentang kejadian 2 tahun yang lalu. Setelah aku melepas jabatan Kepala Labkom, ini adalah kelas pertama dalam bimbinganku. Walaupun yang kupegang adalah kelas MIA yang notabene tidak terlalu banyak masalah dibanding jurusan lain. Namun entah mengapa masa jelang pembagian raport kali itu begitu menguras energiku. Selain karena kami harus beradaptasi dengan sistem penilaian kurikulum 2013 yang baru pertama kali. Perbedaan pemahaman menyebabkan aku harus bersitegang dengan salah seorang guru. Dia berkeras kalau salah satu anak waliku tidak boleh naik kelas. Tentu saja sebagai wali yang menyayangi mereka tanpa kecuali, aku berusaha memperjuangkannya.  Negosiasi yang panjang dan melelahkan itu benar-benar menguras emosiku. Namun, sebenarnya tidak hanya itu pemicu campur aduknya perasaanku. Peristiwa lain sebelumnya juga sudah mangaduk-aduk hatiku sebagai guru. Saat itu masih masa ulangan kenaikan kelas. Seorang anak waliku tidak ikut ulangan. Panitia menerima surat keterangan sakit dari dokter atas namanya. Aku coba tanya beberapa temannya tentang sakitnya, namun tampak ada yang ingin mereka sembunyikan. Naluri seorang guru tentu saja bisa membaca ada ketidakberesan. Akhirnya, aku bisa tahu kalau anak itu tidak ikut ulangan sebenarnya karena sedang ikut seleksi masuk sekolah lain yang dianggapnya lebih baik. Dan surat sakit itu ditandatangani dokter yang memang kakaknya sendiri. Dia rela dan siap mengorbankan satu tahun yang sudah ditempuhnya untuk bisa sekolah di tempat itu. Aku kecewa, bukan hanya karena merasa akan kehilangan satu siswa, walaupun kami masih memiliki ribuan siswa lain yang masih bersekolah di sini. Aku kecewa, bukan hanya karena yang akan pergi ini adalah satu siswa yang akademisnya lumayan bagus, walaupun kami masih mempunyai banyak siswa lain yang lebih bagus dan tetap bertahan di sekolah ini. Aku lebih kecewa dengan caranya akan meninggalkan sekolah ini. Berharap sesuatu hal yang baik namun dengan cara yang menurutku tidak baik. Tak berapa lama, orangtuanya datang menemuiku untuk meminta pemakluman dengan berbagai alibi yang dia pertahankan. Mereka berharap selama proses seleksi dijalani, kami tetap melayani anaknya untuk bisa ikut ulangan susulan. Walau sekolah kami seolah dilecehkan karena menjadi cadangan bertahan hanya jika gagal dalam proses seleksi, aku tetap mencoba mencari sisi pemakluman. Tanpa mereka ketahui, aku sebenarnya bisa saja menggagalkan upayanya untuk bisa lulus di tempat yang dikehendakinya itu. Karena seorang temanku yang guru sekaligus panitia di sekolah yang dia tuju, beberapa kali meminta aku mengirimkan foto surat dokter yang ada ditanganku sebagai bukti mereka agar bisa tidak meluluskan. Namun aku memilih tidak mengirimnya. Aku memilih membiarkannya mewujudkan impiannya sekolah di sana dan diam-diam tetap mendo’akannya. Aku tetap layani dia sampai pembagian raport selesai. Aku tetap berharap mimpinya sekolah di sana benar-benar membawa kebaikan pada masa depannya. Aku mencoba mengambil hikmah dari peristiwa itu. Aku seolah tersadarkan bahwa walaupun sudah satu tahun bersama kami, namun ternyata belum memberikan keyakinan untuk mempercayakan masa depannya pada sekolah ini. Peristiwa ini membawaku lebih instrospeksi. Atas kegelisahan yang hanya kurasakan sendiri, aku mulai berjanji dalam hati agar bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anak yang sekolah di sini. Aku rela memberikan semampu aku bisa membantu anak-anak yang mempercayakan masa depannya di sekolah ini. Walaupun tanpa kerjasama semua pihak, perbaikan dan kemajuan sebuah sekolah tidak akan terlalu berarti. Namun setidaknya aku mau mereka tak pernah menyesali sudah sekolah di sini dan juga tak menyesal bertemu denganku sebagai guru matematikanya.
-  Personil lengkap kelas X MIA 1 Tahun 2015-

 -Suasana saat ulangan-

Kejadian berikutnya yang juga akan kuceritakan ini baru terjadi beberapa hari yang lalu. Ketika aku masuk kelas mereka di jam yang benar-benar tidak efektif. Kultum ba’da shalat juhur biasanya menyita banyak waktu, sehingga jam matematikaku yang cuma satu jp hanya sisa beberapa menit.  Namun karena tugas dan kewajiban, walaupun kondisi badan agak kurang fit, aku tetap memaksakan diri untuk masuk. Semangatku masuk bukan hanya karena kelas ini adalah kelas yang aku sebagai walinya,  namun juga aku merasa banyak yang masih harus aku sampaikan di ujung-ujung masa terakhir sekolah mereka. Ketika baru melangkah ke dalam kelas dan sekilas memandang, pengalamanku berkata bahwa mereka akan menghadapi ulangan setelah jamku. Dan ketika kutanya, mereka membenarkan.  Kebanyakan siswa terlihat fokus dengan buku pegangannya masing-masing, sedang sebagian yang lain juga masih terlihat makan-makan. Hanya beberapa yang tak mengabaikan kehadiranku. Aku maklum, mereka bersikap seperti itu pada pelajaranku karena memang mereka sudah sangat mengenalku. Aku coba memaklumi dan menunggu beberapa saat. Tak sabar, mulai kubuka pelajaran dengan mencoba memancing respon mereka. Aku masih berharap mereka bisa secepatnya fokus pada apa yang akan kuberikan. Namun mereka tetap tak bergeming. Sebenarnya ini hal biasa bagiku, dan aku sudah sangat sering menghadapi kelas dalam situasi seperti ini. Namun, entah mengapa hari itu perasaanku begitu sensitif. Melihat mereka seolah tak mengharapkan kehadiranku, secara spontan  aku memilih keluar kelas sebelum habis pelajaran. Hal yang sekalipun tak pernah aku lakukan sebelumnya. Setelah keluar kelas mereka, aku kemudian masuk ruang guru, aku termenung dan tak lama mataku mulai panas dan terasa basah. Aku menyadari kalau aku terlalu berlebihan dalam merespon sikap mereka. Memang aku merasa kecewa karena aku menganggap sudah sedemikian dekat dengan mereka, namun ternyata mereka masih belum memahami bahasaku. Aku tak bisa lugas untuk meminta mereka menyudahi pelajarannya dan fokus menghadapi topik yang akan kusampaikan. Namun, aku lebih kecewa pada diriku sendiri sebab ekspektasiku yang berlebihan pada mereka.  Kecewaku adalah karena semangatku yang tidak wajar dan terlalu besar untuk mereka, sehingga sikap biasa mereka kutanggapi luar biasa. Mungkin rasa dan pengharapan yang berlebihan ini muncul karena aku sangat menyayangi mereka. Tak berapa lama, pesan line dari mereka datang silih berganti sebagai tanda penyelasan akan sikap yang mereka tunjukan. Aku diamkan dan kucoba menata emosiku lagi. Walau sampai malam mulai membawa kelam aku masih tak bisa move on dari peristiwa tersebut. Aku berusaha menyudahinya. Kujawab pesan line mereka dan mencoba melupakan peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, aku yang menganggap peristiwa itu sudah berlalu dikejutkan dengan kedatangan anak-anak itu ke rumahku. Rupanya mereka masih belum lega atas jawabanku lewat grup kelas itu. Aku terharu tahu mereka juga bisa merespon luar biasa dengan sikapku kala itu. Aku rangkul mereka semua. Ah…hampir saja airmataku runtuh lagi.  Thanks sayang, maafkan gurumu ini yang terlalu sayang pada kalian.
 - XII MIA 2 Tahun 2017-

Demikian beberapa ceritaku tentang profesi yang kujalani. Tentang nyatanya kekuatan ikatan rasa seorang guru pada anak didiknya. Bagiku, tugas seorang guru tak hanya transfer ilmu, tapi juga proses mendidik yang harus melibatkan hati nurani, cinta kasih, simpati dan empati. Ditengah gempuran teknologi seperti sekarang, ditengah melunturnya nilai-nilai sosial, di tengah mulai tergerusnya ikatan hubungan batin sesama manusia, aku masih percaya hubungan yang dijalin dengan landasan ketulusan dari hati akan sangat merasuk ke hati. Dan segala yang bermuara dari hati ke hati akan membuka segala jalan penerimaan pada apa yang akan kita tanamkan. Dengan begitu, proses penyelipan nilai-nilai moral dari seorang guru kepada murid dalam setiap proses pembelajaran akan lebih bermakna. Karena siraman ilmu tanpa dilandasi siraman batin hanya tumbuh menjadi tanaman kering yang kelak belum tentu menjadi buah. Walau aku juga tak tahu pasti apakah sedikit yang kubagi pada mereka akan banyak berarti, namun setidaknya aku boleh berharap bahwa hal itu bisa menjadi penolongku di akhirat nanti. Wallahu A’lam Bishawab.

Banjarmasin, Medio Maret 2017