Tugas seorang guru untuk
memanusiakan manusia menjadikan profesi ini (kata orang) sebuah pekerjaan mulia.
Berhadapan dengan makhluk bernyawa dengan berbagai karakter membuat hari-hari yang dijalani adalah hari
yang selalu penuh dinamika. Ada banyak muncul kejadian tak terduga dalam
suasana berbeda untuk setiap hari yang berbeda. Sebagai sebuah profesi, guru
dituntut bisa mengelola kelas bagaimanapun kondisinya. Namun, sebagai manusia
biasa, guru juga makhluk tak sempurna. Sering, ditengah kondisi tidak prima
kita tetap dituntut berpenampilan sempurna. Dalam suasana hati yang tak biasa kadang
kita malah diuji kesabarannya. Apalagi sebagai guru matematika, sebuah
pelajaran yang jadi momok siswa dan dianggap
sulit. Seringkali harus berhadapan dengan siswa yang cuek, abai, wajah kaku dan
tak mau tahu. Berbagai penolakan halus siswa terhadap jam matematika merupakan
kejadian yang sudah biasa. Sebagai contoh bila jam matematika setelah jam
olahraga, mereka berusaha mengulur waktu berganti pakaian dengan berlama-lama. Juga
ketika jam matematika sebelum jam ulangan mata pelajaran lainnya, maka mata dan
fikiran anak-anak yang hanya fokus pada pelajaran yang akan di ulangankan
seolah meminta pemakluman dan menguji kesabaran. Melihat murid-murid dengan
sikap seperti itu, terkadang emosi merasuk ke jiwa. Namun untuk meredamnya, sebuah
qoute dari ulama besar KH Maemun Zubaer coba dijadikan pegangan bahwa ketika berhadapan
dengan situasi seperti itu hadirkanlah gambaran bahwa satu diantara mereka
kelak akan menarik tangan kita menuju
surga.
Sebaliknya, juga banyak cerita
menyenangkannya ketika berhadapan dengan anak anak muda setingkat SMA/MA ini. Sering
hati ikut terbawa suasana dengan tingkah polah mereka. Aku bisa ikut tertawa
ngakak dengan tingkah konyol mereka, bisa ikut melankolis romantis saat mereka
curhat cerita cinta, bisa ikut bangga atas prestasi yang mereka gapai bahkan
bisa jatuh cinta berkali-kali kepada sikap santun yang mereka tunjukkan.
Pada tulisanku ini aku akan bercerita
tentang beberapa biiimplikasi dari perasaan yang muncul saat berhadapan dengan
anak-anak didikku. Pertama-tama adalah tentang suatu peristiwa pada suatu masa
saat aku masih menjadi guru ditempat tugas pertamaku. Saat itu ujian nasional
masih merupakan penentu kelulusan siswa. Hari itu hari perpisahan sekaligus
pengumuman kelulusan ujian nasional. Anak didikku kelas 3 yang jumlah totalnya
saja tak lebih dari 30 orang, ternyata beberapa tidak lulus ujian. Bahkan termasuk
seorang siswa dengan katagori terpandai di kelas tersebut. Hal ini turut
memukul perasaanku sebagai salah satu guru mapel UN, walaupun tidak lulusnya
mereka bukan di mapel yang aku ampu. Aku
turut merasakan bagaimana di posisi mereka. Madrasah kami adalah sekolah
pinggiran, bukan hanya pinggir kota, tapi juga pinggir sawah dan pinggir
sungai. Sering sekolah kami terpaksa harus pulang cepat karena jika tidak, bisa
kalah cepat dengan air pasang yang masuk sampai ke dalam kelas. Sekolah ini juga
masih belum punya lapangan olahraga kecuali beberapa persegi tumpukan limbah hasil
pengolahan kayu yang banyak terdapat di sana. Sebuah sekolah yang anak-anak
didiknya tak sanggup beli buku pegangan. Sekolah yang katanya memiliki sebuah perpustakaan
namun sebenarnya hanya 2 lemari buku dengan koleksi lama. Sekolah yang ruang
labnya hanya berisi 3 lemari alat yang diberi label sebagai lemari fisika,
lemari kimia, dan lemari biologi. Sekolah yang lab komputernya hanya memiliki 4
komputer pentium 2 yang menempati sepetak ruang pengap 2 kali 4. Sekolah yang
hanya berdinding kayu, beratap seng, dengan jendela yang kecil-kecil tanpa kipas angin. Sekolah
yang anak-anak didiknya lebih perlu ijazahnya buat bekerja dibanding kuliah.
Namun, anak-anak dengan serba keterbatasan sarana prasarana tersebut akhirnya menjadi
korban sebuah sistem pendidikan yang tidak berpihak pada mereka. Aku merasa
gagal berjuang bersama mereka. Tak seorangpun mengetahui kalau saat itu aku
benar-benar tak bisa membendung airmataku. Aku menjauh untuk menyembunyikan
tangisku.
- sedikit gambaran suasana tempatku ngajar dulu, diambil ketika selesai acara K3MA tahun 2009-
Peristiwa itu juga yang jadi satu alasan aku mantap memilih pergi
mengikuti tugas belajar di Yogyakarta dan melupakan sejenak tentang dunia
sekolah dan segala dinamikanya. Walaupun ternyata menginjak tahun kedua tugas
belajar, aku sering sangat meridukan masa-masa mengajar seperti dulu lagi, sering
rindu bercengkrama lagi dengan mereka, anak-anak didikku yang kusayangi.
Peristiwa selanjutnya yang akan
kuceritakan adalah tentang kejadian 2 tahun yang lalu. Setelah aku melepas
jabatan Kepala Labkom, ini adalah kelas pertama dalam bimbinganku. Walaupun
yang kupegang adalah kelas MIA yang notabene tidak terlalu banyak masalah
dibanding jurusan lain. Namun entah mengapa masa jelang pembagian raport kali
itu begitu menguras energiku. Selain karena kami harus beradaptasi dengan
sistem penilaian kurikulum 2013 yang baru pertama kali. Perbedaan pemahaman
menyebabkan aku harus bersitegang dengan salah seorang guru. Dia berkeras kalau
salah satu anak waliku tidak boleh naik kelas. Tentu saja sebagai wali yang
menyayangi mereka tanpa kecuali, aku berusaha memperjuangkannya. Negosiasi yang panjang dan melelahkan itu
benar-benar menguras emosiku. Namun, sebenarnya tidak hanya itu pemicu campur
aduknya perasaanku. Peristiwa lain sebelumnya juga sudah mangaduk-aduk hatiku
sebagai guru. Saat itu masih masa ulangan kenaikan kelas. Seorang anak waliku tidak
ikut ulangan. Panitia menerima surat keterangan sakit dari dokter atas namanya.
Aku coba tanya beberapa temannya tentang sakitnya, namun tampak ada yang ingin
mereka sembunyikan. Naluri seorang guru tentu saja bisa membaca ada
ketidakberesan. Akhirnya, aku bisa tahu kalau anak itu tidak ikut ulangan sebenarnya
karena sedang ikut seleksi masuk sekolah lain yang dianggapnya lebih baik. Dan
surat sakit itu ditandatangani dokter yang memang kakaknya sendiri. Dia rela dan
siap mengorbankan satu tahun yang sudah ditempuhnya untuk bisa sekolah di
tempat itu. Aku kecewa, bukan hanya karena merasa akan kehilangan satu siswa, walaupun
kami masih memiliki ribuan siswa lain yang masih bersekolah di sini. Aku
kecewa, bukan hanya karena yang akan pergi ini adalah satu siswa yang akademisnya
lumayan bagus, walaupun kami masih mempunyai banyak siswa lain yang lebih bagus
dan tetap bertahan di sekolah ini. Aku lebih kecewa dengan caranya akan
meninggalkan sekolah ini. Berharap sesuatu hal yang baik namun dengan cara yang
menurutku tidak baik. Tak berapa lama, orangtuanya datang menemuiku untuk
meminta pemakluman dengan berbagai alibi yang dia pertahankan. Mereka berharap selama
proses seleksi dijalani, kami tetap melayani anaknya untuk bisa ikut ulangan
susulan. Walau sekolah kami seolah dilecehkan karena menjadi cadangan bertahan
hanya jika gagal dalam proses seleksi, aku tetap mencoba mencari sisi
pemakluman. Tanpa mereka ketahui, aku sebenarnya bisa saja menggagalkan
upayanya untuk bisa lulus di tempat yang dikehendakinya itu. Karena seorang
temanku yang guru sekaligus panitia di sekolah yang dia tuju, beberapa kali
meminta aku mengirimkan foto surat dokter yang ada ditanganku sebagai bukti mereka
agar bisa tidak meluluskan. Namun aku memilih tidak mengirimnya. Aku memilih
membiarkannya mewujudkan impiannya sekolah di sana dan diam-diam tetap
mendo’akannya. Aku tetap layani dia sampai pembagian raport selesai. Aku tetap
berharap mimpinya sekolah di sana benar-benar membawa kebaikan pada masa
depannya. Aku mencoba mengambil hikmah dari peristiwa itu. Aku seolah
tersadarkan bahwa walaupun sudah satu tahun bersama kami, namun ternyata belum memberikan
keyakinan untuk mempercayakan masa depannya pada sekolah ini. Peristiwa ini membawaku
lebih instrospeksi. Atas kegelisahan yang hanya kurasakan sendiri, aku mulai
berjanji dalam hati agar bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anak yang
sekolah di sini. Aku rela memberikan semampu aku bisa membantu anak-anak yang
mempercayakan masa depannya di sekolah ini. Walaupun tanpa kerjasama semua
pihak, perbaikan dan kemajuan sebuah sekolah tidak akan terlalu berarti. Namun
setidaknya aku mau mereka tak pernah menyesali sudah sekolah di sini dan juga
tak menyesal bertemu denganku sebagai guru matematikanya.
- Personil lengkap kelas X MIA 1 Tahun 2015-
Kejadian berikutnya yang juga akan
kuceritakan ini baru terjadi beberapa hari yang lalu. Ketika aku masuk kelas mereka
di jam yang benar-benar tidak efektif. Kultum ba’da shalat juhur biasanya
menyita banyak waktu, sehingga jam matematikaku yang cuma satu jp hanya sisa
beberapa menit. Namun karena tugas dan
kewajiban, walaupun kondisi badan agak kurang fit, aku tetap memaksakan diri
untuk masuk. Semangatku masuk bukan hanya karena kelas ini adalah kelas yang
aku sebagai walinya, namun juga aku
merasa banyak yang masih harus aku sampaikan di ujung-ujung masa terakhir
sekolah mereka. Ketika baru melangkah ke dalam kelas dan sekilas memandang, pengalamanku
berkata bahwa mereka akan menghadapi ulangan setelah jamku. Dan ketika kutanya,
mereka membenarkan. Kebanyakan siswa
terlihat fokus dengan buku pegangannya masing-masing, sedang sebagian yang lain
juga masih terlihat makan-makan. Hanya beberapa yang tak mengabaikan
kehadiranku. Aku maklum, mereka bersikap seperti itu pada pelajaranku karena
memang mereka sudah sangat mengenalku. Aku coba memaklumi dan menunggu beberapa
saat. Tak sabar, mulai kubuka pelajaran dengan mencoba memancing respon mereka.
Aku masih berharap mereka bisa secepatnya fokus pada apa yang akan kuberikan. Namun
mereka tetap tak bergeming. Sebenarnya ini hal biasa bagiku, dan aku sudah sangat
sering menghadapi kelas dalam situasi seperti ini. Namun, entah mengapa hari
itu perasaanku begitu sensitif. Melihat mereka seolah tak mengharapkan
kehadiranku, secara spontan aku memilih
keluar kelas sebelum habis pelajaran. Hal yang sekalipun tak pernah aku lakukan
sebelumnya. Setelah keluar kelas mereka, aku kemudian masuk ruang guru, aku
termenung dan tak lama mataku mulai panas dan terasa basah. Aku menyadari kalau
aku terlalu berlebihan dalam merespon sikap mereka. Memang aku merasa kecewa
karena aku menganggap sudah sedemikian dekat dengan mereka, namun ternyata
mereka masih belum memahami bahasaku. Aku tak bisa lugas untuk meminta mereka
menyudahi pelajarannya dan fokus menghadapi topik yang akan kusampaikan. Namun,
aku lebih kecewa pada diriku sendiri sebab ekspektasiku yang berlebihan pada
mereka. Kecewaku adalah karena semangatku
yang tidak wajar dan terlalu besar untuk mereka, sehingga sikap biasa mereka kutanggapi
luar biasa. Mungkin rasa dan pengharapan yang berlebihan ini muncul karena aku sangat
menyayangi mereka. Tak berapa lama, pesan line dari mereka datang silih
berganti sebagai tanda penyelasan akan sikap yang mereka tunjukan. Aku diamkan
dan kucoba menata emosiku lagi. Walau sampai malam mulai membawa kelam aku masih
tak bisa move on dari peristiwa tersebut. Aku berusaha menyudahinya. Kujawab
pesan line mereka dan mencoba melupakan peristiwa itu. Beberapa hari kemudian,
aku yang menganggap peristiwa itu sudah berlalu dikejutkan dengan kedatangan
anak-anak itu ke rumahku. Rupanya mereka masih belum lega atas jawabanku lewat
grup kelas itu. Aku terharu tahu mereka juga bisa merespon luar biasa dengan
sikapku kala itu. Aku rangkul mereka semua. Ah…hampir saja airmataku runtuh
lagi. Thanks sayang, maafkan gurumu ini
yang terlalu sayang pada kalian.
- XII MIA 2 Tahun 2017-
Demikian beberapa ceritaku
tentang profesi yang kujalani. Tentang nyatanya kekuatan ikatan rasa seorang
guru pada anak didiknya. Bagiku, tugas seorang guru tak hanya transfer ilmu,
tapi juga proses mendidik yang harus melibatkan hati nurani, cinta kasih, simpati
dan empati. Ditengah gempuran teknologi seperti sekarang, ditengah melunturnya
nilai-nilai sosial, di tengah mulai tergerusnya ikatan hubungan batin sesama
manusia, aku masih percaya hubungan yang dijalin dengan landasan ketulusan dari
hati akan sangat merasuk ke hati. Dan segala yang bermuara dari hati ke hati
akan membuka segala jalan penerimaan pada apa yang akan kita tanamkan. Dengan
begitu, proses penyelipan nilai-nilai moral dari seorang guru kepada murid
dalam setiap proses pembelajaran akan lebih bermakna. Karena siraman ilmu tanpa
dilandasi siraman batin hanya tumbuh menjadi tanaman kering yang kelak belum
tentu menjadi buah. Walau aku juga tak tahu pasti apakah sedikit yang kubagi
pada mereka akan banyak berarti, namun setidaknya aku boleh berharap bahwa hal
itu bisa menjadi penolongku di akhirat nanti. Wallahu A’lam Bishawab.
Banjarmasin, Medio Maret 2017




Begitu menyengat perasaan tulisannya, yang menimbulkan langkah mebanding-bandingkan dengan masa lalu
BalasHapus