Hari ini kembali
aku berkomitmen untuk menuliskan cerita yang kujalani setahun terakhir.
Tujuannya hanya untuk pengingat diri. Jika suatu hari nanti usia sudah
melenyapkan sebagian memori, maka aku ingin apa yang kutuliskan hari ini tetap
bisa dibangkitkan lagi. Menikmati lagi sudut-sudut rindu yang menyesap di
relung hatiku. Tak perlu harus jadi orang hebat untuk bisa menuliskan kisah diri.
Pinjam bahasa kekinian, aku harap kelak anak cucuku di jaman future akan bisa tahu kisah jaman now dari generasi old mereka.
Ya, hari ini kutulis
lagi kisahku. Namun kali ini aku tidak lagi bisa banyak bercerita tentang
berbagai lomba atau kegiatan mengasah kompetensi yang tahun-tahun sebelumnya
sering ku ikuti. Hal ini karena sudah tak banyak lagi alokasi waktuku untuk
itu. Dalam setahun ini, aku hanya berhasil submit 2
kegiatan yaitu Diklat TIK untuk guru Matematika SMA/SMK dan acara tahunan
SeNdiMat V. Kedua kegiatan itu diselenggarakan
oleh P4TK Matematika Yogyakarta dengan perekrutan peserta melalui seleksi terbuka.
Bagaimana aku berdiklat sambil berpuasa karena tepat bulan Ramadhan, atau
bagaimana aura satu ruangan bersama ratusan guru hebat, pemakalah dari seluruh
Indonesia, tak perlu banyak kuceritakan karena hal ini sudah pernah kurasakan
tahun sebelumnya. Yang jelas, aku harus banyak bersyukur, karena kembali dalam
tahun ini aku bisa dua kali balik ke kota pelajar itu lagi. Kota yang makin
syahdu dan membuat rindu ketika saat kutuliskan ini, diiringi alunan lembut
lagu Katon Bagaskara dengan judul kota itu.
Tulisanku kali
ini akan bercerita tentang orientasi hidupku yang berubah hampir 180 derajat semenjak
aku ditawari (baca : setengah dipaksa) dalam posisi itu. Kapan kamu bisa
berbuat maksimal dan bermanfaat untuk lingkungan terdekat, sedangkan kamu
selama ini bisa berbuat banyak untuk kawan-kawan di luar sana, demikian
kata-kata yang menusuk jantung pertahananku, saat beliau memintaku membantunya
dalam posisi itu. Sebuah tugas agar bisa berkhidmat dan berbuat lebih bagi
madrasah tempatku saat ini mengabdi. Madrasah pencetak generasi muda berilmu
dan berakhlak mulia di bawah naungan lembaga dengan motto ‘Ikhlas beramal’. Awalnya
begitu dalam kufikirkan segala konsekuensi yang akan kuterima. Segenap waktu,
tenaga, dan fikiran akan tersita atas nama pengabdian. Kepentingan madrasah harus
dinomorsatukan.
Dari diskusi
dengan keluarga dan teman baikku, hanya demi bisa lebih manfaat, aku akhirnya
menerima tugas itu dengan segala konsekuensinya. Menghibahkan diri pada Madrasah
dengan fasilitas 29 kelas, total 1048 siswa yang terbagi dalam 3 peminatan. Kompleksitas
masalah yang tinggi kusadari karena selain layaknya sekolah umum, madrasah ini
juga baru saja menerima sk sebagai madrasah penyelenggara program keterampilan layaknya
SMK. Lebih dari itu juga bahkan dilengkapi Ma’had layaknya pondok pesantren.
Dalam hitungan
hari menjalani tugas itu, terasa begitu besar tantangan yang harus dihadapi.
Begitu hebat pengalaman yang didapat. Mulai tiadanya lagi dukungan dana komite
karena terbentur aturan hukum yang berdampak pada berubahnya banyak kebijakan
madrasah. Proses akreditasi yang harus dihadapi dengan cepat. Berbagai
tantangan kuhadapi, dukungan bahkan hujatan, pujian bahkan amarah, rayuan
bahkan penolakan.
Semakin ke sini
aku sudah mulai terbiasa. Aku abaikan saja hal yang membawa energi negatif. Niatku
hanya untuk mengabdi pada madrasah dan wajah-wajah polos yang dititipkan orang
tua mereka. Demi kebaikan dan perbaikan. Karena kuyakini, hidup itu bukan
tentang siapa yang paling baik tetapi tentang siapa yang mau berbuat baik. Aku terus
berusaha fokus hanya pada yang membawa aura positif dan semangat dalam bekerja.
Life must go on.
Sudaahlah, rasanya
tak perlu kuceritakan banyak bagaimana beratnya tugas itu. Karena aku takut
akan jatuh sebagai manusia pengeluh dan tak pandai bersyukur. Biar kutanggung
sendiri. Kucoba jalani dengan komitmen pada diri. Kucoba sabar dan ikhlas
dengan segala tantangan yang kuhadapi. Aku hanya yakin bahwa selama niatku
baik, aku akan selalu ditolong olehNya.
Oya, mungkin
kado terindah penghujung usiaku berubah satuannya adalah perasaan berbahagia
ketika tahu madrasah kami mampu meraih nilai akreditasi 96 (A). Pencapaian luar
biasa yang nyaris sempurna. Rasa tak percaya mengingat persiapan kami yang singkat.
Namun, berkat kerjasama semua warga madrasah, akhirnya perjuangan kami ternyata
tidak sia-sia. Selain itu, dering telpon yang menawarkan jabatan baru pada
suami sesaat sebelum aku tuliskan kisah ini, bisa jadi dapat ku anggap hadiah darinya meski berbungkus sebuah amanah.
Ahh, akan habis
kata jika semua kenangan tahun ini kuceritakan di sini. Kalian yang bersamaku telah
membuat cerita paling indah sampai kisah paling sedih sepanjang usiaku tahun
ini. Terima Kasih. Dari kalian aku sudah belajar banyak. Belajar bagaimana
tertawa meski banyak masalah. Belajar bagaimana senang meski banyak beban. Belajar bagaimana tersenyum meski hati menangis. Juga, kalian telah mengajarkanku bagaimana harus memahami meski tak sehati, bagaimana
sabar meski hati resah, bagaimana tenang meski hati gelisah, bagaimana percaya
meski susah, dan bagaimana tabah meski difitnah. Sekali lagi, Terima
Kasih karena kalian adalah Guruku. Guru yang memberiku banyak pelajaran hidup. Thanks.
Banjarmasin, Awal Desember 2017

Luar biasa Bu Desy...
BalasHapusSemoga kedepannya bisa mengikuti jejak prestasinya Bu Desy...
Sabar, Ikhlas dan Syukur...
BalasHapusDah gitu aja... Selebihnya sudah mafhum
Masya Allah... Luar biasa bu
BalasHapus😘
BalasHapus