Sabtu, 01 Desember 2018

Wanita (dalam) Kaca


Tak terasa, hari ini kembali memasuki awal Desember lagi. Hari berganti dengan cepatnya. Seakan baru kemarin aku melewati malam seperti ini. Ternyata telah 365 hari tak pernah ku isi blog ini lagi. Menulis di sini hanya untuk pengingat diri. Masih ingat sebuah kalimat pada pengantar buku yang pernah kubaca, ‘’kalau ingin ceritamu abadi, maka tulislah”. Keinginan mengaktualisasi diri memang adalah sebuah fitrah manusia. Terbukti ada melalui berbagai cara sejak jaman dahulu kala. Dulu orang jaman batu mewujudkan eksistensi diri agar ceritanya abadi dengan cara memahat pada dinding gowa atau meninggalkan jejak pada sebuah prasasti. Namun sekarang, abad 21 yang sebagian orang sekarang menyebutnya era revolusi industri 4.0. Jejak digital di blog ini akan menjadi sebuah cerita sejarah manusia.  Penyambung usia ketika usia sebenarnya sudah habis masa berlakunya.

Lalu cerita apa yang akan kutulis hari ini. Cerita apa yang kujalani setahun ini hingga menarik untuk dibagi. Sejujurnya, selaksa peristiwa telah aku lewati. Selaksa makna dan pelajaran hidup kudapatkan juga tahun ini. Tak semua bisa aku ceritakan.  Ada yang bisa dibagi. Dan ada hal-hal yang abadi tersimpan dalam memori hati hanya untuk konsumsi pribadi. Kisah yang tak terlepas dari multitasking yang harus rela aku jalani. Baik sebagai seorang guru. Baik sebagai bagian dari pengelola madrasah. Sebagai seorang istri dan juga tak ketinggalan sebagai seorang ibu. 

Hal paling hebat dari seorang wanita adalah kodratnya sebagai wanita itu sendiri. Di tahun inilah tercatat sekali lagi perubahan statusku  akibat kodrat tersebut. Status yang semula ibu 3 anak, berubah menjadi ibu 4 orang anak. Meski setengahnya direncanakan, dalam kesibukan kami yang luar biasa, tetap terasa amat surprise tidak hanya bagi kawan-kawan ataupun tetangga dekat, namun juga bagi kami sendiri. Mungkin akibat keberhasilan program pemerintah menggalakkan Keluarga Berencana sehingga kami menjadi satu dari sedikit kejadian yang terjadi pada masa sekarang. Rata-rata kawan lingkungan kerja kami hanya memiliki maksimal 3 orang anak. Meski bertambah lagi satu urusan namun kepercayaan ini menjadi suatu berkah yang sangat membahagiakan.  Bayi mungil yang dikirim Tuhan lebih 4 bulan lalu menjadi hiburan atas rutinitas tiap hari yang melelahkan.

Rutinitas mengganti status dalam banyak peran. Secepat berganti baju dari yang semula baju kantoran menjadi dasteran. Dari Senin ke Senin kujalani seolah tak ada lagi Minggu buatku. Aktifitas diawali bangun tidur pagi hari. Pegang kompor, pegang sapu sambil pegang mesin cuci. Bolak-balik kamar anak-anak sambil bernyanyi khas ibu-ibu kala pagi hari. Memastikan mereka sudah bangun, mandi dan berangkat sekolah dalam keadaan perut kenyang terisi. Selanjutnya, berangkat menjalankan peran sebagai guru dan mengurus anak-anak lagi. Tapi kali ini bukan anak sendiri. Berhadapan macam-macam urusan tiap hari dengan ribuan anak dan ratusan rekan dalam durasi waktu paling lambat pukul 7.30 dan berakhir paling cepat pukul 15.15 wita. Pulang kerja kembali merubah status lagi menjadi ibu bagi anak-anakku. Walaupun sangat sering tugas di sekolah bahkan ikut juga terbawa pulang sampai ke rumah. Tak banyak kata yang bisa diungkapkan tentang hal ini. Semua tetap dijalani, dinikmati dan disyukuri. Karena ku yakin kesibukan rutin seperti ini nanti akan segera berlalu dan dirindui lagi. Dan banyak orang di luar sana berharap bisa pada posisi ini.

Lalu, pelajaran yang tidak pernah selesai bagiku adalah bagaimana harus memanajemen waktu dan memanajemen qolbu. Berhadapan dengan beragam manusia dengan macam-macam watak dan sifat aslinya merupakan pembelajaran yang tak pernah usai dan tak ada durasi waktu. Sebuah lirik lagu yang mengatakan hidup ini hanya panggung sandiwara terasa benarnya. Banyak peran-peran ganda dipertontonkan nyata di depan mata setiap episodenya. Olehku, kamu dan juga mereka-mereka di luar sana. Butiran-butiran hikmah dari sana bisa kupungut tiap hari. Jika dikumpulkan, bahkan kosa kata seluruh dunia tak cukup untuk menggambarkannya. Selain itu, sebaris kalimat yang cukup  membesarkan hati dari Tere Liye, hasil dari mungut di medsos, akan kukutipkan. Bahwa apapun yang kita lakukan, orang-orang tetap akan menilai semau mereka. Komentar ini. Komentar itu. Maka, biarkan saja orang-orang sibuk berkomentar. Kita memilih fokus terus berusaha, jangan buat kita jadi selevel dengan mereka. 

Terakhir, pada setiap detik perjalanan yang kulalui. Aku, seorang wanita yang jauh dari kata sempurna. Begitu banyak kekuranganku. Begitu banyak kekhilafanku. Begitu banyak aibku. Dalam bilangan usiaku yang bertambah namun sejatinya berkurang esok hari. Aku hanya berharap sedikit pengabdianku bisa menjadi penggerus dosa-dosaku. Semoga dalam perjalanan usiaku kali ini terdapat sedikit kebaikan yang bisa menjadi ladang amal yang dapat kupanen hasilnya kelak di kemudian hari ataupun di hari kemudian. Dalam satu keyakinan bahwa hanya kebaikan yang akan mendatangkan kebaikan. 
Banjarmasin, 1 Desember 1979 - 2018

7 komentar:

  1. Perjalanan dan perjuangan hidup yg membanggakan.
    Betapa tidak, dgn berbagai tugas dan kewajiban dan berperan dh berbagai posidi masih sempat mengaktualisasikan diri dlm literasi.
    Sukses srkalu
    Yrimd

    BalasHapus
  2. Jempol buat acilll. Semngat menjadi ibu dan guru yang hebat . Sukses selalu buat pian dan keluarga.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Jempol buat acilll. Semngat menjadi ibu dan guru yang hebat . Sukses selalu buat pian dan keluarga.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Mentepp Bu, jadi guru yg selalu menginsprarasi, bukan hanya melalui lisan tapi juga tulisan. Bangga ulun pernah dilajari pian

    BalasHapus