Saat pandemi terjadi, lalu SKB 4 menteri menetapkan bahwa situasi daerah bisa merubah pola pendidikan tatap muka di ruang-ruang kelas menjadi pola pembelajaran jarak jauh di ruang-ruang maya. Jauh sebelum itu, pendidikan di bawah Kementerian Agama sudah lebih dulu mengeluarkan panduan kurikulum darurat bagi madrasah. Panduan ini memberikan ruang yang luas kepada madrasah dan guru-gurunya untuk menyesuaikan kurikulum yang akan diimplementasikan. Yang namanya ‘darurat’, tentu memiliki makna fleksibelitas tinggi terhadap situasi dan kondisi, agar sekolah/madrasah tidak benar-benar shut down apalagi lock down.
Sekarang, seminggu sejak tahun pelajaran baru dimulai. Sudah mulai terasa dan merasa-rasa bagaimana dampak sistem pendidikan nasional maupun lokal yang dikelola secara darurat tersebut. Banyak bertebaran pro kontra dunia pendidikan diberbagai linimasa. Dari yang memandang optimis, pesimis bahkan skeptis. Berbagai cerita mewarnai situasi seperti ini. Mulai dari para provider yang berlomba menawarkan paket-paket data paling ekonomis, lembaga-lembaga bimbel online yang naik daun, webinar-webinar free bahkan berbayar yang tak pernah kehabisan penggemar, platform pembelajaran online yang berlomba merebut hati para pemerhati dan praktisi diberbagai institusi pendidikan. Orang tua yang teriak-teriak kalau pembodohan massal terjadi, karena mall dan pariwisata dibiarkan buka sedangkan sekolah harus tutup. Mungkin sebagai pelampiasan dari akumulasi kelelahan mereka yang dituntut turut terlibat dalam mengajari anak-anak mereka, sedangkan stabilitas keuangan keluarga harus terjaga dengan tetap bekerja. Tidak kurang juga tuduhan para emak-emak netizen pada guru yang dianggap makan gaji buta. Tulisan ini tidak bermaksud mengcounter hal tersebut. Karena sudah cukup bukti kontradiksi sebagai bentuk pertahanan diri dari guru-guru yang merasa tersanjung dengan sentilannya.
Tulisan ini hanya ingin bercerita tentang pendidikan masa pandemi ini dilihat dari sudut pandang berbeda. Tak semua bisa merasakannya, namun semua akan kena dampaknya. Tentang bagaimana pengelolaan institusi pendidikan agar sistem bisa terus berjalan. Kurikulum darurat yang menyerahkan sepenuhnya pada madrasah, membuat kepala madrasah, terkhusus lagi waka bidang akademik menjadi orang paling bertanggungjawab atas sistem akademik yang akan dijalankan sebuah lembaga pendidikan. Sebelum sekolah mulai, harus berfikir keras dan merancang sistem manajemen pembelajaran seperti apa yang akan diterapkan dalam kondisi seperti ini. Meski, tak ada yang benar-benar ideal, namun setidaknya bisa mendekati harapan masyarakat, menyamankan bagi guru, peserta didik dan tentu saja orang tua. Tidak diberikan waktu berfikir lama ataupun studi banding kemana-mana, karena semua sama memulai. Berbagai forum hanya dalam tataran diskusi, namun keputusan implementasi tetap kembali pada manajemen institusi yang akan mengeksekusi tanpa banyak spekulasi.
Kompetensi guru yang beragam dan kemampuan ekonomi siswa yang bervariasi adalah salah satu pertimbangan tingkat toleransi. Bagaimana cara efektif menghubungkan ribuan siswa dengan guru dalam beragam mata pelajaran perlu teknik tersendiri. Solusi terbaik belum pasti. Namun usaha terbaik harus diberikan. Dengan berbagai pertimbangan, aplikasi Telegram sebagai pilihan jembatan komunikasi virtual karena berbagai fitur mumpuni yang kami anggap bisa sebagai sebuah solusi. Meskipun berbagai kemudahan jika satu platform disamakan untuk semua mata pelajaran, namun demi toleransi pada kondisi ekonomi peserta didik yang bervariasi, serta kompetensi guru yang beragam dalam literasi ITnya. Maka kami memutuskan membiarkan guru bebas berkreasi dengan memilih bermacam metode PJJ termasuk platform pembelajaran online yang dirasa bisa menyesuaikan materi, kompetensi dan tentu saja kondisi, baik guru terlebih anak didiknya. Namun, tak ada sistem yang sempurna, perlu selalu evaluasi dengan terus melihat situasi. Juga, tak ada manusia yang sempurna, yang ada hanya manusia yang mau terus belajar termasuk belajar beradaptasi pada kondisi pandemi yang semuanya tidak menghendaki. Kita semua harus berkompromi. Tak perlu mengeluh atas apa yang terjadi. Sebagai guru, marilah kita jadikan sekolah/madrasah sebagai tempat ibadah, mengajar sebagai ladang ibadah, dan hidup kita menjadi sebagai sebuah perjalanan ibadah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar