
Jika ingin ceritamu abadi
maka tulislah. Entah ungkapan siapa, tapi aku mengamininya. Apapun profesi kita
maka menulis adalah suatu bagian membahagiakan yang bisa kita lakukan. Apalagi
jika kita seorang guru. Seorang pendidik adalah tokoh panutan terutama bagi
jiwa-jiwa yang dididiknya. Selain dituntut banyak membaca, maka bisa menulis
adalah nilai tambah seorang guru di mata anak-anak didiknya. Mereka pasti
senang dan bangga membaca karya gurunya. Karena sebuah pembelajaran merupakan
wujud pengalaman yang didapat bukan hanya karena diceritakan namun dicontohkan.
Guru penulis bisa menjadi contoh nyata bagi anak-anak agar literasi tidak hanya
sebuah retorika belaka. Tulisan menyentuh seorang guru bisa langsung menjangkau
hati anak-anak didik asuhannya. Karya guru yang mereka idolakan bahkan akan
mampu menumbuhkan lagi minat baca anak-anak yang sekarang sudah mulai tergerus
oleh game-game online dan status-status alay di media sosial yang sudah banyak
keluar dari kaidah tata bahasa. Jadi, dengan menulis kita sebenarnya bisa
berbagi, bisa memotivasi dan bisa membangkitkkan literasi bagi siapapun yang
membacanya.
Lalu apa saja yang bisa
dijadikan sebagai bahan tulisan? Peristiwa demi peristiwa dari hari ke hari
yang kita lakukan dengan anak-anak pasti menarik diceritakan. Pemikiran dan
karya nyata yang kita lakukan juga bisa jadi bahan tulisan. Tentu saja, bukan
guru jika menulis tanpa bisa menyisipkan hikmah dan pelajaran bagi anak
didiknya. Namun, menyisipkan pelajaran dengan gaya tanpa menggurui sebagaimana
yang dilakukan di depan kelas, bisa jadi akan lebih diterima dan lebih bermakna.
Lalu setelah menjadi
tulisan, apakah akan dinikmati sendiri? Tentu saja tidak. Karena ada banyak
sarana untuk kita bisa membagi tulisan. Bisa melalui media sosial, blog pribadi
ataupun perpustakaan sekolah. Agar nilai tambah semakin besar, maka tulisan
akan lebih berarti jika kita bukukan. Karya buku kita akan bertengger manis di
perpustakaan sekolah. Dilihat dan bisa dibaca kapan saja oleh anak-anak didik
kita. Perpustakaan dengan banyak koleksi karya tulis ataupun buku guru-gurunya
sendiri tentu menjadi nilai plus tidak hanya bagi kita pribadi namun juga sekolah
tempat kita bekerja. Nilai akreditasi perpustakaan sekolah maupun nilai
akreditasi sekolah itu sendiri menempatkan poin penting bagi karya tulis
guru-gurunya. Selain itu, tentu akan menjadi motivasi dan kebanggaan bagi warga
sekolah, terutama anak-anak didik kita karena mereka membuktikan bahwa gurunya
tidak hanya pandai bicara di depan kelas namun juga memiliki karya. Selain itu,
setiap fikiran, gerakan ataupun pelajaran hidup yang diabadikan dalam bentuk
tulisan akan dengan mudah diwariskan pada generasi-generasi berikutnya,
meskipun saat itu kita sudah di mutasi, pensiun atau bahkan sudah tiada.
Tulisan kita bisa menjadi bagian yang dapat memperkaya koleksi perpustakaan
sekolah, yang akhir-akhir ini mulai berbenah.
Meskipun belum layak
disebut sebagai guru penulis maka aku akan mencoba menulis. Perkenalkan, Aku seorang guru Matematika di
MAN 2 Kota Banjarmasin. Anak-anak didik maupun sejawatku sering memanggilku Bu
Desy. Sebenarnya banyak yang ingin kutuliskan, baik tentang materi pelajaran
ataupun kegiatan sehari-hari yang dilakukan. Namun, kali ini aku akan
menuliskan tentang gerakan yang baru-baru ini aku inisiasi. Gerakan yang
mudah-mudahan jika dituliskan bisa jadi inspirasi bagi lebih banyak orang lagi.
Bisa membangkitkan motivasi, empati dan sikap peduli di masa pandemi yang saat
ini masih kita hadapi.
Pandemi yang masih
melanda dunia akibat sesuatu tak kasat mata. Benda yang tidak kelihatan yang
menyebabkan kita harus keluar dari zona nyaman dan telah banyak memakan korban.
Virus yang dinamakan Covid-19 ini telah membuat kita harus belajar dari rumah,
bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Anak-anak sekolah harus belajar secara
daring. Guru-guru dituntut teaching from
home. Semua guru yang gagap teknologi harus belajar menguasai teknik
pembelajaran digital agar tidak hanya menumpuk tugas tanpa penjelasan materi.
Sebagai guru kelas XII,
aku tidak lagi ikut melakukan pembelajaran dari rumah. Karena saat pandemi
terjadi, kelas-kelas yang ku ampu sudah menyelesaikan ujian madrasah. Sedangkan
Ujian Nasional (UN) tahun ini juga diputuskan ditiadakan. Karena setiap hari
terbiasa turun ke sekolah, aku mendadak bingung dengan aktifitas apa yang harus
kulakukan di rumah, selain menyaksikan beragam saluran televisi dan berbagai
pemberitaan online yang melintas di beranda jejaring sosial, yang semua dihiasi
berita tentang virus corona. Pertambahan jumlah terkonfirmasi positif dari hari
ke hari kian mengkhawatirkan. Berita tentang tenaga medis sebagai garda
terdepan melawan covid-19 yang tiap hari berguguran semakin mencemaskan.
Kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) ditengarai sebagai penyebabnya, karena masih
banyak yang menghadapi pasien dengan hanya berlindung pakai alat pelindung
seadanya. Lalu, nuraniku tergerak. Apa yang bisa kulakukan lebih dari hanya sekedar
diam dirumah. Covid-19 adalah musuh bersama maka harus dilawan bersama. Aku harus berbuat. Tidak hanya rebahan.
Kelangkaan APD yang
terjadi saat ini dapat dipahami karena tingginya permintaan yang tidak
sebanding dengan produksi. Lalu aku mulai berfikir bahwa jika penjahit-penjahit
lokal bisa memproduksi APD sendiri, pasti banyak permintaan bisa dipenuhi dan
kelangkaan tidak sampai terjadi. Sekolahku adalah sebuah madrasah yang selama
ini sebagai penyelenggara keterampilan, salah satunya adalah keterampilan tata
busana, yang dilengkapi dengan saran mesin jahit yang lumayan memadai. Karena
tak ada pembelajaran di sekolah maka ruangan tata busana tersebut pastinya akan
lebih bermanfaat jika bisa dipakai untuk memproduksi APD. Berkoordinasi dengan
atasan maupun kepala bengkel tata busana yang mengerti seluk beluk dan teknis
penjahitan, ide “Gerakan Peduli APD” pun digulirkan. Dari grup-grup siswa yang aku punya, aku
mencari alumni dan anak-anak kelas XII yang sudah selesai ujian untuk mau menjadi
relawan. Selain menyiapkan ruangan dan relawan, aku juga mencari tahu bagaimana
bahan dan spesifikasi teknis agar APD yang kita buatkan memenuhi standar
kesehatan dan bisa melindungi sesuai fungsi dan harapan. Mulai searching di internet sampai konsultasi
dengan mereka yang bekerja di bidang kesehatan aku lakukan Untungnya aku punya
beberapa kawan dan keluarga yang bekerja sebagai pengelola Rumah Sakit maupun
sebagai dokter. Selain komunikasi via online dengan mereka, aku juga mendatangi
dinas kesehatan untuk konsultasi secara langsung. Untuk modal pembelian bahan
dasar, kami coba mengetuk hati para alumni, orang tua siswa dan masyarakat yang
tergerak untuk ikut gotong royong. Kami buat pamflet dan menyebarnya di semua
media sosial. Diluar dugaan gerakan ini dengan cepat mendapat respon positif
dari masyarakat.
Tidak hanya donasi yang
kami dapatkan namun sebelum produksi dimulai, kami sudah kebanjiran permohonan
permintaan APD dari berbagai tenaga medis yang mengetahui gerakan kami. Hal ini
tidak aneh, karena sejauh ini kami belum mendengar ada gerakan seperti ini di
daerah kami. Selain dari pribadi, banyak juga berdatangan lembaga atau instansi
yang ingin membeli produk kami agar mereka bisa menyumbang atas nama mereka
sendiri. Namun sesuai komitmen semula, kami tak mencari keuntungan pribadi, karena
ini adalah gerakan gotong royong, gerakan bersama dan hasil kerja sama maka semua
hasil donasi akan disumbangkan dalam bentuk produk jadi langsung kepada
layanan-layanan kesehatan yang membutuhkan.

"Jika kamu sulit menemukan orang baik, maka
jadilah kamu orang baik tersebut". Demikian salah satu kalimatku untuk
menyemangati anak-anak relawan APD yang ikut turun tangan. Relawan yang terdiri
dari beberapa alumni dan siswi keterampilan tata busana, serta beberapa guru
yang bisa menjahit mulai bergerak memproduksi APD. Alat Pelindung Diri yang
kami produksi terdiri atas 2 jenis hazmat suit (Coverall dan Surgical Gown)
yang sangat diperlukan bagi tenaga medis yang berjuang di garda terdepan
melawan covid-19. Meski di belakang layar, kami anggap gerakan kami adalah
bagian misi kemanusiaan. Tanpa mengeluh, kami bergerak tiap hari, bahkan tetap
berproduksi meski hari minggu dan tanggal merah. Ratusan APD berhasil dibuat
dan langsung disalurkan. Berdatangan permohonan APD dari berbagai kalangan baik
RS, Puskesmas, ataupun IDI, dalam dan luar kota setiap harinya. Kami berusaha
terus memenuhinya. Memutar dana donasi yang Alhamdulillah juga terus mengalir. Kami
berkejaran dengan waktu, seiring dengan pandemi yang tiap hari sampai sekarang
terus menambah korban.
Namun, setiap jalan kebaikan pasti akan ada
tantangan. Tak mudah memang. Dari bahan yang mulai sulit didapat sampai
anak-anak relawan yang sebagian sudah tidak diijinkan orang tua karena keadaan
yang mulai mengkhawatirkan. Meskipun kami sudah ketat berpegang pada prosedur
kesehatan, selalu jaga jarak dan menyediakan banyak fasilitas cuci tangan serta
selalu disinfektan peralatan.
Tepat memasuki bulan
Ramadhan dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Kota Banjarmasin, selain
pertimbangan kesehatan relawan dan bahan yang mulai langka, maka gerakan gotong
royong peduli APD kami hentikan. Dalam kurun waktu 20 hari dari pencarian
donasi sampai berproduksi, kami berhasil membuat lebih 400an hazmat, yg diserahterimakan pada 14 Rumah Sakit,
31 Puskesmas, IDI, Klinik Kesehatan, BPBD, Dinas Kesehatan, Bidan Desa, Tim Gugus
Tugas Desa, dan beberapa tenaga kesehatan yang telah meminta secara pribadi.
Selain itu sisa donasi yang masih ada kami jadikan beberapa paket sembako yang kami
salurkan pada warga sekitar sekolah yang terdampak.

Akhirnya, di tengah kekhawatiran pada hantu corona yg tak kelihatan namun korbannya berjatuhan kami sudah banyak belajar. "Sense of crisis" kali ini tidak hanya membelah secara dikotomi sifat manusia. Takut dan berani, ikhlas dan pamrih, egoisme dan altruisme, peduli dan acuh. Namun gerakan peduli APD yang kami prakarsai telah sukses membuat sekolah kami semakin dikenal. Selain harapan utama kami yaitu banyak jiwa-jiwa terselamatkan, dan tentu saja gerakan nyata ini bisa menumbuhkan empati dan sikap saling peduli pada anak-anak didik kami. Pembelajaran karakter dan kontekstual yang sangat relevan diterapkan sekolah dalam masa pandemi covid-19 ini.
Anak-anak relawan yang
terlibat mengaku sangat senang bisa bermanfaat dan membantu masyarakat terutama
tenaga medis dalam melawan wabah corona. Begitulah seharusnya hakikat pendidikan,
bukan hanya diukur dari nilai-nilai yang ada pada surat kelulusan namun juga
diukur dari nilai-nilai karakter yang berhasil diwujudkan. Menanamkan nilai
moral bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya.
Menumbuhkan sifat peduli dan suka menolong, karena jika kita menolong orang lain
maka sebenarnya kita menolong diri kita sendiri.
Demikian tulisan ini
dibuat, dengan harapan bisa jadi inspirasi dan pelecut motivasi bagi siapa saja
yang membacanya untuk berbuat apa saja yang kita bisa. Suatu saat, aku berharap
catatan kecil ini bisa menjadi karya abadi yang menghiasi banyak perpustakaan
sekolah baik dalam bentuk fisik maupun digital. Bisa jadi catatan yang
menuliskan sejarah bahwa kita pernah bersatu dalam kondisi sulit melawan
pandemi seperti saat ini. Menjadi sebuah kenangan kecil kolaborasi antara guru
dan siswa yang diabadikan dalam sebuah tulisan. SEKIAN.