Senin, 09 Maret 2015

Hikmah dibalik Kisah

Cerita ini terjadi beberapa tahun yang lalu.  Aku ceritakan hanya untuk berbagi pengalaman agar kita bisa sama-sama mengambil sisi positifnya. Tak ada maksud riya atau jumawa. Waktu  itu aku masih mengajar di madrasah swasta. Madrasah swasta di kota ini hanya sedikit memiliki murid. Sehingga, aku dengan mudah tahu hampir semua siswaku bahkan sampai latar belakang keluarganya. Pagi itu seperti biasa, kebetulan aku datang paling awal. Di bangku panjang depan kelas, kulihat seorang bapak setengah baya sedang duduk kelihatannya sedang menunggu seseorang. Sekolah masih agak sepi karena hanya beberapa siswa yang datang. Aku langsung saja menuju kantor dewan guru, tanpa bermaksud menanyakan keperluan Bapak itu. Tak lama kemudian, aku mendengar sedikit suara gaduh dan ketika kutengok keluar, ternyata terjadi perbincangan cukup serius antara bapak paruh baya itu dengan seorang siswaku. Tampak beberapa anak lain yang baru datang juga berkerumun disekitar mereka untuk mendengarkan dan ingin tahu apa yang mereka perbincangkan. Akhirnya mereka jadi pusat perhatian pada pagi itu.  Karena sebagai satu-satunya guru yang datang, kuhampiri mereka dan kutanyakan apa yang terjadi. Ternyata bapak itu mau menuntut pertanggungjawaban atas kecelakaan motor yang menimpa anaknya. Dengan motor yang dipinjam dari kawannya, mungkin karena masih belum lihai, adik dari siswaku ini menabrak anak bapak tersebut sehingga mengalami luka-luka. Bapak itu datang untuk meminta uang buat pengobatan anaknya. Sebagai anak tertua dialah sekarang yang harus bertanggungjawab terhadap adik-adiknya. Mereka adalah anak-anak yatim piatu. Siswaku tersebut hanya tinggal bertiga dengan dua adiknya. Untuk sekolah mereka  dibiayai dari bantuan beasiswa miskin. Kadang dia mencari ikan di pematang sawah untuk dijual.  Mungkin bapak itu tidak tahu bahwa jangankan untuk menanggung pengobatan anak bapak itu, untuk makan saja mereka masih mengandalkan belas kasihan keluarga dan tetangga. Tentu saja aku merasa iba, sehingga aku keluarkan beberapa lembar uang dari tas kerjaku untuk mengganti biaya pengobatan anak si Bapak tersebut.

Keesokan hari, ada lagi seorang wanita setengah baya mencari anak yatim piatu itu. Ternyata, anak ibu tersebut adalah teman dari anak bapak yang kemarin. Mereka lagi berboncengan sepeda saat tertabrak oleh motor yang dikendarai adik dari siswaku itu. Ibu itu juga berharap mendapat penggantian atas biaya perbaikan sepeda anaknya yang rusak karena kecelakaan itu. Mungkin bapak yang kemarin bercerita pada ibu ini. Lagi-lagi rasa ibaku muncul melihat anak lelaki itu  menanggung beban seperti itu. Kemudian aku selesaikan masalahnya dengan beberapa lembar uang limapuluhan melayang dari dompetku. Meskipun uang belanja bulananku harus terpotong untuk menolong anak itu namun aku bahagia, aku merasa berarti karena mampu menolong anak-anak yatim itu. Aku benar-benar ikhlas tak mengharap kembali. Aku sadar tidak mungkin anak itu dapat mengembalikan sebab merekapun masih perlu banyak dibantu.

Beberapa hari berlalu, akupun sudah melupakan kejadian itu. Tak terduga, saat aku mengajar, aku menerima sebuah panggilan telpon dari nomor tak dikenal. Setelah kuangkat, suara disebrang sana ternyata adalah perwakilan dari sebuah lembaga pendidikan tinggi yang akan membuka sebuah program studi baru. Karena kelangkaan lulusan S2 yang bisa direkrut sabagai dosen, maka mereka bermaksud meminjam fotocopi ijazahku sebagai persyaratan administrasi usulan mereka itu. Dua hari kemudian aku datang memenuhi undangan mereka sekaligus menyerahkan fotocopi ijazah s2 yang mereka minta. Dan, hari itu aku membuktikan ayat ini.

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya lah kamu dikembalikan" (QS. Al Baqarah, ayat 245)

Subhanallah, maha benar Allah dengan segala firmannya. Ketika pulang aku diminta tandatangan dan menerima amplop cukup tebal berisi uang dengan nominal puluhan kali lipat dari yang kuberikan untuk membantu anak yatim itu. Alhamdulillah, aku mendapatkan ganti uang yang kukeluarkan tanpa harus bekerja apa-apa. Demikian, semoga kisah ini bisa memotivasi kita semua untuk tidak ragu-ragu bersedekah, karena Sabda Rasulullah  " Harta itu tidak akan berkurang karena disedekahkah" (HR. Muslim)

Minggu, 08 Maret 2015

Senangnya Jadi Guru..

Yang sekolah SDnya tahun 90an,  mungkin ingat ada momen pelajaran yang dilakukan siswa hampir sama dan seragam. Waktu SD itu, jika pelajaran menggambar maka selalu gambar pemandangan dua gunung, dengan matahari dan sawah menyertainya. Begitupun juga ketika pelajaran mengarang bebas,  hanya judul ‘cita-cita’ yang aku bisa. Parahnya lagi, tak ada cita-cita lain yang bisa kutulis kala itu kecuali cita-cita untuk menjadi seorang  guru. Mungkin karena guru adalah satu profesi yang selalu kulihat tiap hari selain petani dan nelayan di desaku. Padahal waktu kecil itu aku sama sekali tidak mengerti bagaimana proses yang akan ditempuh hingga bisa mewujudkan cita-cita itu. Kalau toh cita-cita dalam karangan bebas kala itu ternyata menjadi kenyataan, bagiku itu adalah skenario Tuhan yang sangat kusyukuri.
Semua mungkin pernah merasakan menjadi murid, tapi tidak semua murid nanti akan menjadi guru. Aku sudah merasakan berada pada posisi keduanya. Dahulu menjadi murid dan sekarang menjadi guru, bahkan Alhamdulillah juga tahu bagaimana rasanya menjadi gurunya guru atau seorang maha guru alias dosen. Ini adalah juga berkat do’a guruku. Pernah guruku SMA mendo’akanku yang langsung diucapkannya dihadapanku. Saat itu aku akan meninggalkan bangku SMA. Ketika beliau tahu aku diterima di fakultas keguruan, salah satu guru favoritku itu khusus mendo’akanku agar aku kelak tidak hanya menjadi guru, tetapi menjadi gurunya guru. Bagi beliau, kata-kata itu mungkin biasa saja meluncur dari mulutnya dan bisa jadi beliau langsung melupakannya. Tapi tidak bagiku, kata-kata guruku itu ternyata bisa luar biasa melekat dan selalu ku ingat. Alhamdulillah do’a guruku itu terkabul, sejak selesai kuliah aku langsung bisa mengabdi sekaligus sebagai guru dan sebagai gurunya calon guru di Sekolah Tinggi Keguruan. Terima kasih Bu atas do’anya kala itu..(Special to Ibu Hj. Noor Jennah, sekarang guru Kimia di SMAN 4 Banjarmasin).
Ketika ditanya, lebih senang mana antara menjadi seorang guru ataukah menjadi seorang dosen. Maka aku tak bisa menjawabnya, karena bagiku kedua pekerjaan itu sama mulianya. Tetapi ketika ditanya aku lebih bangga yang mana. Jujur ketika pertanyaan itu ditanyakan padaku saat aku masih muda, masih baru lulus kuliah, maka tentu saja aku akan menjawab lebih bangga menjadi seorang dosen, karena hanya orang-orang terpilih dan mempunyai kemampuan lebih yang bisa merasakan dipanggil dengan sebutan itu. Tapi, kalau pertanyaan ini ditanyakan sekarang, maka aku pasti menjawab lebih membanggakan menjadi seorang guru. Mengapa? Aku tak bisa panjang menguraikannya. Yang pasti, ketika seorang dosen hanya mencetak lulusan dengan profesi yang hampir seragam maka seorang guru kelak bisa melihat anak didiknya dalam beragam profesi, bisa pengusaha, birokrat, akademisi, polisi dan bermacam profesi lainnya. Itulah kebanggaan kami para guru. Saat anak didiknyanya berhasil melebihi sang guru maka disitulah bahagianya.  Dia akan bangga karena pernah menjadi gurunya, meskipun sang anak belum tentu mengingatnya.

Berbeda dengan profesi perawat atau dokter yang kerap bersentuhan dengan kesedihan, polisi atau tentara yang sering berhadapan dengan beragam bentuk kejahatan dan ancaman keamanan, maka proses pengabdian tulus sebagai guru, membuat setiap hari yang kulewati selalu menyenangkan. Canda anak didikku bisa membuatku tertawa tiap hari. Antusias mereka atau bahkan sikap cueknya dalam menghadapi pelajaran yang kuberi adalah magnit buat kakiku melangkah tiap hari ke sekolah. Ketika aku menjadi siswa dulu, dihatiku ada beberapa guru yang kunanti kedatangannya dikelasku selalu. Maka, saat aku menjadi guru sekarang, aku akan merasa sangat berarti ketika tahu siswaku senang dengan kehadiranku di kelasnya. 

Foto di atas mengabadikan kepingan peristiwa bersama anak-anak baru masuk berlabel X MIA1.

Dua tahun kemudian, frame serupa bersama anak-anak yang sebagian masih sama dengan label berbeda bernama XII MIA 2. Ternyata, begitu cepat waktu berlalu. I love you guys...