Yang
sekolah SDnya tahun 90an, mungkin ingat ada momen pelajaran yang dilakukan
siswa hampir sama dan seragam. Waktu SD itu, jika pelajaran menggambar maka
selalu gambar pemandangan dua gunung, dengan matahari dan sawah menyertainya. Begitupun
juga ketika pelajaran mengarang bebas, hanya judul ‘cita-cita’ yang aku bisa. Parahnya
lagi, tak ada cita-cita lain yang bisa kutulis kala itu kecuali cita-cita untuk
menjadi seorang guru. Mungkin karena guru
adalah satu profesi yang selalu kulihat tiap hari selain petani dan nelayan di
desaku. Padahal waktu kecil itu aku sama sekali tidak mengerti bagaimana proses
yang akan ditempuh hingga bisa mewujudkan cita-cita itu. Kalau toh cita-cita
dalam karangan bebas kala itu ternyata menjadi kenyataan, bagiku itu adalah skenario
Tuhan yang sangat kusyukuri.
Semua
mungkin pernah merasakan menjadi murid, tapi tidak semua murid nanti akan
menjadi guru. Aku sudah merasakan berada pada posisi keduanya. Dahulu menjadi murid
dan sekarang menjadi guru, bahkan Alhamdulillah juga tahu bagaimana rasanya menjadi
gurunya guru atau seorang maha guru alias dosen. Ini adalah juga berkat do’a
guruku. Pernah guruku SMA mendo’akanku yang langsung diucapkannya dihadapanku.
Saat itu aku akan meninggalkan bangku SMA. Ketika beliau tahu aku diterima di
fakultas keguruan, salah satu guru favoritku itu khusus mendo’akanku agar aku
kelak tidak hanya menjadi guru, tetapi menjadi gurunya guru. Bagi beliau, kata-kata
itu mungkin biasa saja meluncur dari mulutnya dan bisa jadi beliau langsung melupakannya.
Tapi tidak bagiku, kata-kata guruku itu ternyata bisa luar biasa melekat dan
selalu ku ingat. Alhamdulillah do’a guruku itu terkabul, sejak selesai kuliah
aku langsung bisa mengabdi sekaligus sebagai guru dan sebagai gurunya calon
guru di Sekolah Tinggi Keguruan. Terima kasih Bu atas do’anya kala
itu..(Special to Ibu Hj. Noor Jennah, sekarang guru Kimia di SMAN 4 Banjarmasin).
Ketika
ditanya, lebih senang mana antara menjadi seorang guru ataukah menjadi seorang
dosen. Maka aku tak bisa menjawabnya, karena bagiku kedua pekerjaan itu sama
mulianya. Tetapi ketika ditanya aku lebih bangga yang mana. Jujur ketika pertanyaan
itu ditanyakan padaku saat aku masih muda, masih baru lulus kuliah, maka tentu
saja aku akan menjawab lebih bangga menjadi seorang dosen, karena hanya orang-orang
terpilih dan mempunyai kemampuan lebih yang bisa merasakan dipanggil dengan
sebutan itu. Tapi, kalau pertanyaan ini ditanyakan sekarang, maka aku pasti
menjawab lebih membanggakan menjadi seorang guru. Mengapa? Aku tak bisa panjang
menguraikannya. Yang pasti, ketika seorang dosen hanya mencetak lulusan dengan
profesi yang hampir seragam maka seorang guru kelak bisa melihat anak didiknya
dalam beragam profesi, bisa pengusaha, birokrat, akademisi, polisi dan bermacam
profesi lainnya. Itulah kebanggaan kami para guru. Saat anak didiknyanya
berhasil melebihi sang guru maka disitulah bahagianya. Dia akan bangga karena pernah menjadi gurunya,
meskipun sang anak belum tentu mengingatnya.
Berbeda
dengan profesi perawat atau dokter yang kerap bersentuhan dengan kesedihan,
polisi atau tentara yang sering berhadapan dengan beragam bentuk kejahatan dan
ancaman keamanan, maka proses pengabdian tulus sebagai guru, membuat setiap hari
yang kulewati selalu menyenangkan. Canda anak didikku bisa membuatku tertawa
tiap hari. Antusias mereka atau bahkan sikap cueknya dalam menghadapi pelajaran
yang kuberi adalah magnit buat kakiku melangkah tiap hari ke sekolah. Ketika
aku menjadi siswa dulu, dihatiku ada beberapa guru yang kunanti kedatangannya
dikelasku selalu. Maka, saat aku menjadi guru sekarang, aku akan merasa sangat
berarti ketika tahu siswaku senang dengan kehadiranku di kelasnya.
Foto di atas mengabadikan kepingan peristiwa bersama anak-anak baru masuk berlabel X MIA1.
Dua tahun kemudian, frame serupa bersama anak-anak yang sebagian masih sama dengan label berbeda bernama XII MIA 2. Ternyata, begitu cepat waktu berlalu. I love you guys...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar