Minggu, 01 Desember 2019

Adaptasi dalam Bingkai Refleksi


Konsisten menulis meskipun hanya  sekali setahun, kini menjadi satu hal terberat yang harus kulakukan. Penguatku satu,yaitu ungkapan yang pernah kudapat saat menghadiri sebuah acara, “jika kamu tidak bisa mencapai semua, maka jangan tinggalkan semua”.  Dan meski sekali dalam setahun, disela kesibukanku, aku tak meninggalkannya. 
Tulisan kali ini kuawali dengan sebuah peristiwa saat beberapa waktu lalu Jokowi mengumumkan nama Menteri Pendidikannya. Out of the box, bukan kalangan akademisi seperti kebiasaan selama ini. Kapal besar bernama Kementerian Pendidikan yang berisi kumpulan aparatur bertitel dan pencetak titel akan dinahkodai oleh anak muda pengusaha ojek online. Banyak yang optimis namun juga tak sedikit yang pesimis, berujar nyinyir bernada miris yang menganggap pendidikan bukan bidangnya. Padahal alasan dipilihnya anak muda ini sederhana. Karena dia dipandang mengerti bagaimana menyiapkan masa depan dan mampu membawa perubahan. Namun tentu saja perubahan takkan terjadi, jika persekitarannya tidak mau ikut berubah. Oya, fokus tulisanku bukan tentang gebrakan apa yang nanti akan dibuatnya. Kita tunggu, tinggal soal waktu sebab untuk itulah dia dipilih. Tapi aku membayangkan bagaimana dia masuk dan beradaptasi dalam lingkungan yang sebagian memandang sebelah mata padanya. Aku tertarik pada satu keywords “adaptasi”, yang harus dilakukan oleh siapapun yang masuk pertama kali pada suatu lingkungan baru, termasuk Mr. Nadiem tersebut.
Secara harfiah, adaptasi bisa diartikan sebagai cara bagaimana makhluk hidup mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Dalam konteks interaksi sosial, adaptasi adalah cara manusia menyesuaikan diri pada suatu lingkungan yang baru sehingga masing-masing merasa nyaman. Kata adaptasi ini bagi sebagian orang bak pertaruhan, bisa atau tidak, berhasil atau gagal. Adaptasi pastilah tersebab oleh adanya perubahan yang sering dinilai membuat ketidaknyamanan. Apakah kita yang harus beradaptasi dengan perubahan ataukah perubahan itu sendiri  yang kita harapkan bisa beradaptasi dengan diri kita. Dan sejauh mana kita mampu beradaptasi menentukan kenyamanan perasaan masing-masing. Pergantian pucuk pimpinan, baik level atas maupun level paling bawah, bagaimanapun prosesnya, pasti mengharuskan terjadi proses adaptasi. Karena  pasti selalu ada yang berubah dan yang akan berubah. Proses adaptasi  tidak hanya bagi yang datang namun juga bagi yang didatangi. Selain contoh Mr. Nadiem di atas,  baru-baru juga kita mendengar adanya petisi karyawan KPK terhadap pimpinan KPK terpilih,  adanya organisasi agama yang menyayangkan  Menteri Agama bukan dari basis mereka ataupun yang paling baru tentang  penolakan beberapa karyawan Pertamina dimanajeri BTP adalah beberapa contoh ketakutan menghadapi sebuah proses perubahan dan adaptasi.
Lalu bagaimana manusia menghadapi proses adaptasi yang pasti mau tidak mau sering kita hadapi. Sebuah cerita pernah lewat di linimasa media sosialku. Tentang bagaimana sekawanan landak beradaptasi mengusir dingin agar tidak mati. Mereka saling mendekat satu sama lain demi mendapatkan kehangatan padahal bulu landak yang tajam dari teman-temannya akan melukai. Mereka memilih sedikit menahan sakit asalkan tidak mati kedinginan. Namun setelah musim panas datang, mereka saling menjauh kembali sambil menyembuhkan luka-luka akibat adaptasi musim dingin. Hal ini menggambarkan kepada kita meski proses adaptasi kadang menyakiti namun tetap harus dilalui.
Suksesnya proses adaptasi dalam bingkai komunitas sosial bisa bertransformasi menjadi sebuah kekuatan sosial. Potensi  keberagaman menjadi kolaborasi yang kuat dan saling menguatkan. Persatuan haruslah diikat kebersamaan, bukannya seperti persatean yang diiikat oleh tusukan menyakitkan dengan dalih keseragaman. Begitulah interaksi sosial yang harus kita hadapi, kita dituntut harus bisa beradaptasi dan berkolaborasi.
Terus apa hubungannya dengan kehidupan yang kujalani setahun ini. Aku tak bermaksud menceritakan tentang orang lain. Aku takkan bercerita tentang siapapun, karena mungkin nanti ada yang merasa tersinggung. Aku hanya ingin bercerita tentang diriku dan perasaanku yang tak bisa terungkap dengan kata sebagai bagian introspeksi dan refleksi diri. Aku hanya ingin tulisanku kali ini bisa mengabadikan memori perasaanku jika nanti kubaca lagi. Aku hanya menulis, agar ada yang bisa ditulis dan dibaca. Tentang bagaimana setahun ini aku banyak belajar. Bagiku, proses adaptasi adalah bagian dari pembelajaran diri yang tak pernah selesai. Berhadapan dengan berbagai karakter manusia baik siswa maupun rekan kerja, perlu adaptasi terus menerus. Semakin banyak berkenalan dan bekerja sama dengan orang lain, maka semakin kenal watak seseorang dan semakin perlu kita selalu beradaptasi.
Berada pada posisi memegang amanah cukup berat di madrasah, lumrah sering menghadapi kata-kata pedas kritikan bahkan nyinyir melecehkan. Namun itu kuanggap sebagai bagian dari proses pendewasaan diri. Berkhidmat pada madrasah membuatku harus sering mengalahkan kepentingan pribadi demi kepentingan ribuan anak bangsa di sana. Kadang tak semua bisa memahami apa yang kuhadapi dan tidak semua orang mengerti apa yang kulakukan. Pada akhirnya tetap saja mereka memandang berdasarkan persepsi mereka sendiri. Kapan harus keras dan kapan harus lunak adalah seni yang perlu dipelajari terus menerus. Aku harus banyak belajar lagi bagaimana mengelola emosi ketika kepentingan orang banyak dihadapkan dengan kepentingan sesaat yang salah tempat. Aku harus terus belajar lagi bagaimana mengendalikan diri ketika berhadapan dengan egoisme pribadi yang ingin selalu diakui.
Bagaimanapun, aku menikmati perjalanan tahun ini. Bertemu hal baru yang memberi banyak pelajaran dalam hidupku. Perjalanan yang walau hanya dinikmati sendiri, namun kuyakin suatu saat pasti akan mejadi sebuah kisah indah untuk dikenang. Aku berharap, perjalanan melelahkan tahun ini bermuara pada suatu kebaikan.


Meski banyak duri kutemui, banyak kerikil tajam kuhadapi, banyak angin yang menerpa, aku terus menguatkan diri sendiri. Meski lelah dan tertatih, ku terus melangkah pada jalan yang kuyakini. Di jaman serba viral ini, sebenarnya aku sudah berusaha sabar tanpa harus bercerita panjang lebar. Namun, aku hanya manusia biasa. Aku lelah sering dianggap salah, kadang gundah, acap resah dan kerap gelisah. Dan maafkan jika tulisanku ini jadi tempat berkeluh kesah. Memasuki usia sakralku esok hari, aku hanya berharap bisa terus memperbaiki diri, menjadi pribadi yang lebih baik, dipertemukan dengan hal yang baik, orang-orang baik, tempat yang baik dan kesempatan untuk terus berbuat baik. Meski kebaikan tak selamanya dihargai dengan baik. Namun ku tetap yakin hanya kebaikan yang akan mendatangkan kebaikan.

Banjarmasin, 01 Desember 2019

4 komentar:

  1. seIamat uItah semoga panjang umur dan berkah, tahun inileboh baik dr pd sebelumnya
    Tetcapai srgaIa keinginan. Aamiin
    Trims

    BalasHapus
  2. seIamat uItah semoga panjang umur dan berkah, tahun inileboh baik dr pd sebelumnya
    Tetcapai srgaIa keinginan. Aamiin
    Trims

    BalasHapus
  3. HBD kawan, yg k 40...?! sbnr ny bola mata ku tak pcaya itu, hrs ny blm, bnr koq, tp ok lah, smgbpjg umur, seht n sykses sllu.

    BalasHapus