Selasa, 01 Desember 2020

TAHUN TANGGUH

 

Tahun 2020 adalah tahun perjuangan. Tahun tangguh dimana semua orang tanpa kecuali harus berjuang melawan musuh yang tidak kelihatan. Semua tiarap, sembunyi, serba hati-hati dan selalu pakai alat pelindung diri. Tahun ini berdiam diri di rumah dianggap sebagai pahlawan, dan yang keluyuran di jalan di anggap tidak empati pada tim medis yang berjuang di garda terdepan.

Dalam dunia pendidikan, di tahun ini terjadi  UN sudah dipersiapkan matang namun tidak jadi dilaksanakan. Perpisahan sudah ditentukan gedung dan tanggalnya namun harus dibatalkan. Siswa kelas akhir dilepas tanpa jabat tangan dan prosesi pengalungan. Mereka berpisah tanpa perpisahan. Pembelajaran yang biasanya dalam ruang-ruang kelas nyata, berubah menjadi dalam kelas-kelas maya. Guru dan siswa biasa saling bertatap muka, berubah menjadi bertatap lewat layar kaca.  Semua dituntut beradaptasi dengan perubahan, beradaptasi dengan jarak.

Banyak curhatan anak-anak yang mereka rasakan tahun ini. Keluh kesah tentang tugas yang menumpuk sampai curhatan mereka yang tak kuat merindu. Hal ini wajar, karena mereka anak usia puber yang baru saja pedekate dengan gebetan namun harus terpaksa sulit bertemu. Juga, cerita putri sulungku yang diterima di kampus terbaik se-Indonesia, namun sampai saat ini tak pernah sekalipun menjejakkan kaki di sana.

Begitu banyak perubahan dirasakan di tahun ini. Begitu banyak peristiwa yang terjadi. Bahkan tahun ini juga di madrasahku terjadi perubahan pucuk pimpinan. Kembali aku harus bisa beradaptasi. Namun bagiku siapapun itu sama saja. Setiap masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya. Sebuah pengabdian diukur bukan karena perintah atasan, namun karena tanggungjawab pada Tuhan.

Selain dipandang sebagai musibah, covid bisa juga jadi berkah. Operator seluler meraup untung, webinar bisa diikuti dari rumah, bahkan hanya dengan duduk manis pakai daster ataupun sarung. Di sisi lain, kesibukan luar biasa yang tiap hari kulakukan di madrasah jadi jauh berkurang. Namun, aku tak mau waktu begitu saja berlalu tanpa sebuah progress pencapaian. Aku berusaha untuk bisa tetap produktif. Diawali dengan kegelisahan atas berita kelangkaan APD membuatku memprakarsai Gerakan Peduli APD yang ternyata disambut baik. Setiap hari berjibaku mengkoordinasi pengumpulan donasi, produksi sampai penyaluran pada layanan kesehatan yang membutuhkan. Gerakan yang cukup menguras energi dan emosi namun membawa kepuasan bagi siswa, orang tua, guru, alumni dan masyarakat yang turut berpartisipasi. Namun, PSBB Kota Banjarmasin  dan masuknya bulan Ramadhan memaksa kami menghentikan Gerakan Peduli APD ini.

Selanjutnya, sambil menunggu pandemi berlalu. Disela mengikuti webinar-webinar yang marak diadakan, juga disela mengawal proses pembelajaran jarak jauh di madrasah, aku manfaatkan waktu untuk melengkapi pemberkasan kenaikan pangkat. Dan Alhamdulillah, hasil tak pernah berkhianat pada ikhtiar. Setelah semua proses pemberkasan yang kebetulan serba online kujalani. Akhirnya, berita baik tiba sehari sebelum hari lahirku.  Selembar kertas berisi PAK IVb adalah kado terindah buatku tahun ini. Namun, tak hanya sampai disitu, ternyata masih ada tambahan bonus buat ultahku kali ini. Selembar sertifikat dari pengurus PGRI sebagai penganugerahan guru berdedikasi Tingkat Provinsi. Terima kasih atas semua yang terlibat baik langsung ataupun tidak dalam pencapaianku kali ini.



Segala apa yang kulakukan dan kudapatkan dalam setahunan bukan maksud jumawa jika aku menuliskan. Karena kita manusia tempatnya segala alpa dan lupa, namun dengan tulisan akan mudah kembali mengingatkan. Dan sering, sebuah tulisan bisa jadi motivasi bagi pembacanya. Aku harap tulisanku ini juga bisa menjadi motivasi bagi generasi berikutnya untuk bisa berbuat lebih baik. Dan cukuplah tulisanku ini menjadi sebuah prasasti bukti terima kasih atas usiaku sampai hari ini.

Aku berharap tahun yang akan datang bisa berbuat lebih baik lagi. Berusaha terus jadi baik. Meski kadang-kadang kebaikan tidak selamanya dipandang baik. Namun, jika apa yang kita lakukan tak sesuai ekspektasi, kita tak boleh berkecil hati. Karena tujuan akhir perbuatan baik bukan pada hasil yang didapatkan, tapi pada proses yang dijalankan. Jika pun menerima hasil sesuai harapan, anggaplah itu bonus dari Tuhan. Bagian dari tugas kita hanyalah berikhtiar sebaik-baiknya untuk memantaskan diri agar do’a-do’a kita layak untuk dikabulkan. Setelah itu, biarkan yang di atas melakukan yang jadi bagianNya.

Selamat jalan tahun corona. Semoga tahun depan, menjadi tahun kebangkitan. Biarlah tahun ini dikenang sebagai Tahun Tangguh, sebagai tahun sejarah yang harus kita lalui, tahun muhasabah pada rindu yang tak pernah beku. Dengan jarak yang memisahkan. Dengan waktu yang tak kembali. Meski menurut Mas Joko Pinurbo, jarak itu sebenarnya tak pernah ada, karena pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.


                                                                                                            Banjarmasin, 01 Desember 2020

 

 

 

Rabu, 07 Oktober 2020

KARYA NYATA DI TENGAH PANDEMI



 Jika ingin ceritamu abadi maka tulislah. Entah ungkapan siapa, tapi aku mengamininya. Apapun profesi kita maka menulis adalah suatu bagian membahagiakan yang bisa kita lakukan. Apalagi jika kita seorang guru. Seorang pendidik adalah tokoh panutan terutama bagi jiwa-jiwa yang dididiknya. Selain dituntut banyak membaca, maka bisa menulis adalah nilai tambah seorang guru di mata anak-anak didiknya. Mereka pasti senang dan bangga membaca karya gurunya. Karena sebuah pembelajaran merupakan wujud pengalaman yang didapat bukan hanya karena diceritakan namun dicontohkan. Guru penulis bisa menjadi contoh nyata bagi anak-anak agar literasi tidak hanya sebuah retorika belaka. Tulisan menyentuh seorang guru bisa langsung menjangkau hati anak-anak didik asuhannya. Karya guru yang mereka idolakan bahkan akan mampu menumbuhkan lagi minat baca anak-anak yang sekarang sudah mulai tergerus oleh game-game online dan status-status alay di media sosial yang sudah banyak keluar dari kaidah tata bahasa. Jadi, dengan menulis kita sebenarnya bisa berbagi, bisa memotivasi dan bisa membangkitkkan literasi bagi siapapun yang membacanya.

Lalu apa saja yang bisa dijadikan sebagai bahan tulisan? Peristiwa demi peristiwa dari hari ke hari yang kita lakukan dengan anak-anak pasti menarik diceritakan. Pemikiran dan karya nyata yang kita lakukan juga bisa jadi bahan tulisan. Tentu saja, bukan guru jika menulis tanpa bisa menyisipkan hikmah dan pelajaran bagi anak didiknya. Namun, menyisipkan pelajaran dengan gaya tanpa menggurui sebagaimana yang dilakukan di depan kelas, bisa jadi akan lebih diterima dan lebih bermakna.

Lalu setelah menjadi tulisan, apakah akan dinikmati sendiri? Tentu saja tidak. Karena ada banyak sarana untuk kita bisa membagi tulisan. Bisa melalui media sosial, blog pribadi ataupun perpustakaan sekolah. Agar nilai tambah semakin besar, maka tulisan akan lebih berarti jika kita bukukan. Karya buku kita akan bertengger manis di perpustakaan sekolah. Dilihat dan bisa dibaca kapan saja oleh anak-anak didik kita. Perpustakaan dengan banyak koleksi karya tulis ataupun buku guru-gurunya sendiri tentu menjadi nilai plus tidak hanya bagi kita pribadi namun juga sekolah tempat kita bekerja. Nilai akreditasi perpustakaan sekolah maupun nilai akreditasi sekolah itu sendiri menempatkan poin penting bagi karya tulis guru-gurunya. Selain itu, tentu akan menjadi motivasi dan kebanggaan bagi warga sekolah, terutama anak-anak didik kita karena mereka membuktikan bahwa gurunya tidak hanya pandai bicara di depan kelas namun juga memiliki karya. Selain itu, setiap fikiran, gerakan ataupun pelajaran hidup yang diabadikan dalam bentuk tulisan akan dengan mudah diwariskan pada generasi-generasi berikutnya, meskipun saat itu kita sudah di mutasi, pensiun atau bahkan sudah tiada. Tulisan kita bisa menjadi bagian yang dapat memperkaya koleksi perpustakaan sekolah, yang akhir-akhir ini mulai berbenah.

Meskipun belum layak disebut sebagai guru penulis maka aku akan mencoba menulis.  Perkenalkan, Aku seorang guru Matematika di MAN 2 Kota Banjarmasin. Anak-anak didik maupun sejawatku sering memanggilku Bu Desy. Sebenarnya banyak yang ingin kutuliskan, baik tentang materi pelajaran ataupun kegiatan sehari-hari yang dilakukan. Namun, kali ini aku akan menuliskan tentang gerakan yang baru-baru ini aku inisiasi. Gerakan yang mudah-mudahan jika dituliskan bisa jadi inspirasi bagi lebih banyak orang lagi. Bisa membangkitkan motivasi, empati dan sikap peduli di masa pandemi yang saat ini masih kita hadapi.

Pandemi yang masih melanda dunia akibat sesuatu tak kasat mata. Benda yang tidak kelihatan yang menyebabkan kita harus keluar dari zona nyaman dan telah banyak memakan korban. Virus yang dinamakan Covid-19 ini telah membuat kita harus belajar dari rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Anak-anak sekolah harus belajar secara daring. Guru-guru dituntut teaching from home. Semua guru yang gagap teknologi harus belajar menguasai teknik pembelajaran digital agar tidak hanya menumpuk tugas tanpa penjelasan materi.

Sebagai guru kelas XII, aku tidak lagi ikut melakukan pembelajaran dari rumah. Karena saat pandemi terjadi, kelas-kelas yang ku ampu sudah menyelesaikan ujian madrasah. Sedangkan Ujian Nasional (UN) tahun ini juga diputuskan ditiadakan. Karena setiap hari terbiasa turun ke sekolah, aku mendadak bingung dengan aktifitas apa yang harus kulakukan di rumah, selain menyaksikan beragam saluran televisi dan berbagai pemberitaan online yang melintas di beranda jejaring sosial, yang semua dihiasi berita tentang virus corona. Pertambahan jumlah terkonfirmasi positif dari hari ke hari kian mengkhawatirkan. Berita tentang tenaga medis sebagai garda terdepan melawan covid-19 yang tiap hari berguguran semakin mencemaskan. Kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) ditengarai sebagai penyebabnya, karena masih banyak yang menghadapi pasien dengan hanya berlindung pakai alat pelindung seadanya. Lalu, nuraniku tergerak. Apa yang bisa kulakukan lebih dari hanya sekedar diam dirumah. Covid-19 adalah musuh bersama maka harus dilawan bersama. Aku harus berbuat. Tidak hanya rebahan.

Kelangkaan APD yang terjadi saat ini dapat dipahami karena tingginya permintaan yang tidak sebanding dengan produksi. Lalu aku mulai berfikir bahwa jika penjahit-penjahit lokal bisa memproduksi APD sendiri, pasti banyak permintaan bisa dipenuhi dan kelangkaan tidak sampai terjadi. Sekolahku adalah sebuah madrasah yang selama ini sebagai penyelenggara keterampilan, salah satunya adalah keterampilan tata busana, yang dilengkapi dengan saran mesin jahit yang lumayan memadai. Karena tak ada pembelajaran di sekolah maka ruangan tata busana tersebut pastinya akan lebih bermanfaat jika bisa dipakai untuk memproduksi APD. Berkoordinasi dengan atasan maupun kepala bengkel tata busana yang mengerti seluk beluk dan teknis penjahitan, ide “Gerakan Peduli APD” pun digulirkan.  Dari grup-grup siswa yang aku punya, aku mencari alumni dan anak-anak kelas XII yang sudah selesai ujian untuk mau menjadi relawan. Selain menyiapkan ruangan dan relawan, aku juga mencari tahu bagaimana bahan dan spesifikasi teknis agar APD yang kita buatkan memenuhi standar kesehatan dan bisa melindungi sesuai fungsi dan harapan. Mulai searching di internet sampai konsultasi dengan mereka yang bekerja di bidang kesehatan aku lakukan Untungnya aku punya beberapa kawan dan keluarga yang bekerja sebagai pengelola Rumah Sakit maupun sebagai dokter. Selain komunikasi via online dengan mereka, aku juga mendatangi dinas kesehatan untuk konsultasi secara langsung. Untuk modal pembelian bahan dasar, kami coba mengetuk hati para alumni, orang tua siswa dan masyarakat yang tergerak untuk ikut gotong royong. Kami buat pamflet dan menyebarnya di semua media sosial. Diluar dugaan gerakan ini dengan cepat mendapat respon positif dari masyarakat.

Tidak hanya donasi yang kami dapatkan namun sebelum produksi dimulai, kami sudah kebanjiran permohonan permintaan APD dari berbagai tenaga medis yang mengetahui gerakan kami. Hal ini tidak aneh, karena sejauh ini kami belum mendengar ada gerakan seperti ini di daerah kami. Selain dari pribadi, banyak juga berdatangan lembaga atau instansi yang ingin membeli produk kami agar mereka bisa menyumbang atas nama mereka sendiri. Namun sesuai komitmen semula, kami tak mencari keuntungan pribadi, karena ini adalah gerakan gotong royong, gerakan bersama dan hasil kerja sama maka semua hasil donasi akan disumbangkan dalam bentuk produk jadi langsung kepada layanan-layanan kesehatan yang membutuhkan.

    "Jika kamu sulit menemukan orang baik, maka jadilah kamu orang baik tersebut". Demikian salah satu kalimatku untuk menyemangati anak-anak relawan APD yang ikut turun tangan. Relawan yang terdiri dari beberapa alumni dan siswi keterampilan tata busana, serta beberapa guru yang bisa menjahit mulai bergerak memproduksi APD. Alat Pelindung Diri yang kami produksi terdiri atas 2 jenis hazmat suit (Coverall dan Surgical Gown) yang sangat diperlukan bagi tenaga medis yang berjuang di garda terdepan melawan covid-19. Meski di belakang layar, kami anggap gerakan kami adalah bagian misi kemanusiaan. Tanpa mengeluh, kami bergerak tiap hari, bahkan tetap berproduksi meski hari minggu dan tanggal merah. Ratusan APD berhasil dibuat dan langsung disalurkan. Berdatangan permohonan APD dari berbagai kalangan baik RS, Puskesmas, ataupun IDI, dalam dan luar kota setiap harinya. Kami berusaha terus memenuhinya. Memutar dana donasi yang Alhamdulillah juga terus mengalir. Kami berkejaran dengan waktu, seiring dengan pandemi yang tiap hari sampai sekarang terus menambah korban.
    Namun, setiap jalan kebaikan pasti akan ada tantangan. Tak mudah memang. Dari bahan yang mulai sulit didapat sampai anak-anak relawan yang sebagian sudah tidak diijinkan orang tua karena keadaan yang mulai mengkhawatirkan. Meskipun kami sudah ketat berpegang pada prosedur kesehatan, selalu jaga jarak dan menyediakan banyak fasilitas cuci tangan serta selalu disinfektan peralatan.

Tepat memasuki bulan Ramadhan dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Kota Banjarmasin, selain pertimbangan kesehatan relawan dan bahan yang mulai langka, maka gerakan gotong royong peduli APD kami hentikan. Dalam kurun waktu 20 hari dari pencarian donasi sampai berproduksi, kami berhasil membuat lebih 400an hazmat, yg diserahterimakan pada 14 Rumah Sakit, 31 Puskesmas, IDI, Klinik Kesehatan, BPBD, Dinas Kesehatan, Bidan Desa, Tim Gugus Tugas Desa, dan beberapa tenaga kesehatan yang telah meminta secara pribadi. Selain itu sisa donasi yang masih ada kami jadikan beberapa paket sembako yang kami salurkan pada warga sekitar sekolah yang terdampak.


        Akhirnya, di tengah kekhawatiran pada hantu corona yg tak kelihatan namun korbannya berjatuhan kami sudah banyak belajar. "Sense of crisis" kali ini tidak hanya membelah secara dikotomi sifat manusia. Takut dan berani, ikhlas dan pamrih, egoisme dan altruisme, peduli dan acuh. Namun gerakan peduli APD yang kami prakarsai telah sukses membuat sekolah kami semakin dikenal. Selain harapan utama kami yaitu banyak jiwa-jiwa terselamatkan, dan tentu saja gerakan nyata ini bisa menumbuhkan empati dan sikap saling peduli pada anak-anak didik kami. Pembelajaran karakter dan kontekstual yang sangat relevan diterapkan sekolah dalam masa pandemi covid-19 ini.

Anak-anak relawan yang terlibat mengaku sangat senang bisa bermanfaat dan membantu masyarakat terutama tenaga medis dalam melawan wabah corona. Begitulah seharusnya hakikat pendidikan, bukan hanya diukur dari nilai-nilai yang ada pada surat kelulusan namun juga diukur dari nilai-nilai karakter yang berhasil diwujudkan. Menanamkan nilai moral bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya. Menumbuhkan sifat peduli dan suka menolong, karena jika kita menolong orang lain maka sebenarnya kita menolong diri kita sendiri.

Demikian tulisan ini dibuat, dengan harapan bisa jadi inspirasi dan pelecut motivasi bagi siapa saja yang membacanya untuk berbuat apa saja yang kita bisa. Suatu saat, aku berharap catatan kecil ini bisa menjadi karya abadi yang menghiasi banyak perpustakaan sekolah baik dalam bentuk fisik maupun digital. Bisa jadi catatan yang menuliskan sejarah bahwa kita pernah bersatu dalam kondisi sulit melawan pandemi seperti saat ini. Menjadi sebuah kenangan kecil kolaborasi antara guru dan siswa yang diabadikan dalam sebuah tulisan. SEKIAN.

Sabtu, 18 Juli 2020

BERKOMPROMI DENGAN PANDEMI

Saat pandemi terjadi, lalu SKB 4 menteri menetapkan bahwa situasi daerah bisa merubah pola pendidikan tatap muka di ruang-ruang kelas menjadi pola pembelajaran jarak jauh di ruang-ruang maya. Jauh sebelum itu, pendidikan di bawah Kementerian Agama sudah lebih dulu mengeluarkan panduan kurikulum darurat bagi madrasah. Panduan ini memberikan ruang yang luas kepada madrasah dan guru-gurunya untuk menyesuaikan kurikulum yang akan diimplementasikan. Yang namanya ‘darurat’, tentu memiliki makna fleksibelitas tinggi terhadap situasi dan kondisi, agar sekolah/madrasah tidak benar-benar shut down apalagi lock down.
    Sekarang, seminggu sejak tahun pelajaran baru dimulai. Sudah mulai terasa dan merasa-rasa bagaimana dampak sistem pendidikan nasional maupun lokal yang dikelola secara darurat tersebut. Banyak bertebaran pro kontra dunia pendidikan diberbagai linimasa. Dari yang memandang optimis, pesimis bahkan skeptis. Berbagai cerita mewarnai situasi seperti ini. Mulai dari para provider yang berlomba menawarkan paket-paket data paling ekonomis, lembaga-lembaga bimbel online yang naik daun, webinar-webinar free bahkan berbayar yang tak pernah kehabisan penggemar, platform pembelajaran online yang berlomba merebut hati para pemerhati dan praktisi diberbagai institusi pendidikan. Orang tua yang teriak-teriak kalau pembodohan massal terjadi, karena mall dan pariwisata dibiarkan buka sedangkan sekolah harus tutup. Mungkin sebagai pelampiasan dari akumulasi kelelahan mereka yang dituntut turut terlibat dalam mengajari anak-anak mereka, sedangkan stabilitas keuangan keluarga harus terjaga dengan tetap bekerja. Tidak kurang juga tuduhan para emak-emak netizen pada guru yang dianggap makan gaji buta. Tulisan ini tidak bermaksud mengcounter hal tersebut. Karena sudah cukup bukti kontradiksi sebagai bentuk pertahanan diri dari guru-guru yang merasa tersanjung dengan sentilannya.
    Tulisan ini hanya ingin bercerita tentang pendidikan masa pandemi ini dilihat dari sudut pandang berbeda. Tak semua bisa merasakannya, namun semua akan kena dampaknya. Tentang bagaimana pengelolaan institusi pendidikan agar sistem bisa terus berjalan. Kurikulum darurat yang menyerahkan sepenuhnya pada madrasah, membuat kepala madrasah, terkhusus lagi waka bidang akademik menjadi orang paling bertanggungjawab atas sistem akademik yang akan dijalankan sebuah lembaga pendidikan. Sebelum sekolah mulai, harus berfikir keras dan merancang sistem manajemen pembelajaran seperti apa yang akan diterapkan dalam kondisi seperti ini. Meski, tak ada yang benar-benar ideal, namun setidaknya bisa mendekati harapan masyarakat, menyamankan bagi guru, peserta didik dan tentu saja orang tua. Tidak diberikan waktu berfikir lama ataupun studi banding kemana-mana, karena semua sama memulai. Berbagai forum hanya dalam tataran diskusi, namun keputusan implementasi tetap kembali pada manajemen institusi yang akan mengeksekusi tanpa banyak spekulasi.
    Kompetensi guru yang beragam dan kemampuan ekonomi siswa yang bervariasi adalah salah satu pertimbangan tingkat toleransi. Bagaimana cara efektif menghubungkan ribuan siswa dengan guru dalam beragam mata pelajaran perlu teknik tersendiri. Solusi terbaik belum pasti. Namun usaha terbaik harus diberikan. Dengan berbagai pertimbangan, aplikasi Telegram sebagai pilihan jembatan komunikasi virtual karena berbagai fitur mumpuni yang kami anggap bisa sebagai sebuah solusi. Meskipun berbagai kemudahan jika satu platform disamakan untuk semua mata pelajaran, namun demi toleransi pada kondisi ekonomi peserta didik yang bervariasi, serta kompetensi guru yang beragam dalam literasi ITnya. Maka kami memutuskan membiarkan guru bebas berkreasi dengan memilih bermacam metode PJJ termasuk platform pembelajaran online yang dirasa bisa menyesuaikan materi, kompetensi dan tentu saja kondisi, baik guru terlebih anak didiknya. Namun, tak ada sistem yang sempurna, perlu selalu evaluasi dengan terus melihat situasi. Juga, tak ada manusia yang sempurna, yang ada hanya manusia yang mau terus belajar termasuk belajar beradaptasi pada kondisi pandemi yang semuanya tidak menghendaki. Kita semua harus berkompromi. Tak perlu mengeluh atas apa yang terjadi. Sebagai guru, marilah kita jadikan sekolah/madrasah sebagai tempat ibadah, mengajar sebagai ladang ibadah, dan hidup kita menjadi sebagai sebuah perjalanan ibadah.