Kutulis ini seusai
menyaksikan acara 360 MetroTV yang menayangkan tentang pertemuan Yulianti si
anak adopsi dengan keluarganya. Jarak ribuan kilo memisahkan dia dengan ibunya selama 31 tahun.
Aku bukan
Yulianti, tapi tangis haru pertemuan mereka mengingatkanku pada tangisan yang
sama yang pernah kurasakan. Tangis haru kala itu, bisa bertemu dengan delapan kakak
dan keluarga besar ayahku.
Saat itu aku
baru menamatkan SMA. Sebelum aku pergi
menuntut ilmu ke ibukota provinsi. Dengan ikut tetangga, pertama kali
kujejakkan kaki di tempat itu. Tempat berkumpulnya orang-orang yang menjadi
bagian puzzle hidupku. Saat itulah pertama kali aku berada dalam jarak paling
dekat dengan ayahku. Jarak yang hanya dipisahkan dalam hitungan meter. Namun
sayang, jarak itu terpisah oleh gundukan tanah merah. Gundukan tanah merah yang
tidak lagi basah. Angin semilir dan aroma khas bunga kenanga menemaniku di sana. Dua
indra berbeda bereaksi senada seirama. Bulir
kaca air mata dan alunan lirih Surah Yaasin sama-sama mengalir ditempat itu. Di
tempat terbaringnya orang yang selama ini hanya kubentuk dalam imajinasiku dan hanya
hadir dalam selembar foto.
Selembar foto ini saja sebagai benda pusaka yang kupunya. Foto ini kuambil diam-diam pada album lusuh yang disimpan nenek dalam lemari pakaiannya.
Selembar foto yang kupunya ini adalah saksi bahwa benar kebersamaan mereka pernah ada. Mereka yang di dalam tubuhku mengalir
darahnya. Satu diantara mereka tak pernah kuraba dan tak sekalipun bersua. Satu yang
lainnya juga tak lama bisa bersama. Semoga mereka dilapangkan kuburnya dan mendapat tempat terbaik
disisiNya. Aamiin

Tidak ada komentar:
Posting Komentar