Senin, 01 Desember 2014

The True Story



Kisah ini berawal dari perihnya hidup seorang wanita yang baru saja ditinggalkan suami yang  tergoda wanita lain. Suami yang jadi tulangpunggungnya juga melupakan tanggungjawab terhadap nafkah ketiga anak mereka. Sehingga demi keberlangsungan hidupnya dan anak-anaknya,  wanita ini mencoba mengadu nasib, merantau ke daerah yang sudah masuk wilayah provinsi tetangga.  Satu anak bungsu dibawanya, dua lainnya dititipkan sementara pada ibunya. Entah bagaimana ceritanya, wanita yang mencoba berdagang kecil-kecilan ini kemudian dinikahi seorang pejabat daerah cukup terpandang di sana. Laki-laki yang sudah memiliki 6 anak dari  istri pertamanya dan masing-masing satu anak dari istri kedua dan ketiganya. Itu artinya laki-laki yang menikahi wanita ini sudah pernah menikahi tiga wanita sebelumnya. Tak jelas bagaimana statusnya saat itu, suami orang ataukah sudah mantan suami orang. Wanita ini menerima keadaan sebagai istri kesekian mungkin berharap bisa berbagi beban. Tapi malang, bukan kebahagiaan yang dia dapat. Wanita ini kembali harus menemui takdirnya. Dalam keadaan hamil tua, tanpa kuasa melawan, dia diusir oleh istri kedua suaminya yang sebelumnya sudah lama pergi ke lain kota. Anehnya, entah kena pengaruh seperti apa, suaminya juga tega membiarkannya. Akhirnya, dengan bercucuran air mata pulanglah wanita ini ke kampungnya dengan membawa beban lahir sekaligus batin. Beban lahir, karena saat itu usia kandungannya sudah mencapai bulannya. Beban batin, karena ini menjadi kali kedua dia gagal berumah tangga.
Sebuah rumah sederhana di hilir sebuah desa di pinggiran kota Amuntai, seorang ibu bersiap menunggu kelahiran bayi yang dikandungnya. Ibu tersebut baru saja kembali ke kampung tersebut setelah beberapa waktu merantau ke sebuah kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, dan menikah dengan salah satu pejabat di sana. Kota Amuntai adalah Ibukota kabupaten kecil berjarak 200 km dari Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan. Kampung ini membentang sepanjang  sungai tabalong yang mengalir dari hulu kota Tanjung. Diberi nama Padang Basar karena diambil dari bahasa setempat untuk menyatakan sawah besar. Karena memang desa ini diapit antara sungai yang mengalir dan sawah yang membentang. Sawah yang hanya mengandalkan tadah hujan ini akan sangat kering ketika musim kemarau dan sangat melimpah airnya kala musim hujan datang. Lumayan dekat dengan kota kabupaten, tetapi kehidupan di kampung itu masih sangat sederhana. Masyarakatnya mengandalkan pencaharian dari bertani dan menjual ikan tangkapan di air tawar.  Jalan kampung waktu itu hanya kendaraan roda dua yang bisa melewatinya.
Hari pertama di bulan Desember  tahun sembilan belas tujuh sembilan menandai kelahiran seorang anak manusia. Bayi mungil yang lahir dari pertaruhan raga dan nyawa ibunya. Ibu yang melahirkan tanpa suami disampingnya. Hari demi hari berlalu, si bayi kecil tumbuh bersama ibunya. Tak sekalipun pernah ditengok ayahnya atau bahkan keluarga ayahnya.  Tak ingin terus-terusan hidup dari belas kasihan keluarganya di kampung, dan demi anak-anak kecil tanpa ayah itu, sang ibu memutuskan kembali mencari kerja jauh ke ibu kota Provinsi. Dengan hati berat, bayi kecil yang baru selesai disapihnya selama dua tahun dititipkan kepada neneknya. Ketiga anaknya yang lain ada yang diasuh keluarga mantan suami pertamanya, ada yang berusaha mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri.
     Demikianlah bermula cerita bayi perempuan kecil yang tumbuh sederhana dalam pengasuhan nenek yang hanya seorang janda dari pensiunan tentara.  Seiring berkembangnya daya nalarnya, anak kecil itu mulai berfikir tentang keberadaannya yang berbeda dengan kawan sepermainannya. Dia mulai bingung dimana ibunya dan siapa bapaknya. Mereka kawan-kawannya mempunyai ayah dan ibu, sedangkan dia tumbuh dan besar bersama nenek. Ibunya hanya pulang sesekali, dan ayahnya tak pernah dilihatnya walau sekali.Tak ada penjelasan lugas yang bisa diterima oleh akal kanak-kanaknya. Kelihatan sedikit tomboy, anak itu kemudian tumbuh menjadi anak pendiam, introvert dan sangat sensitif. Dengan mudahnya air mata memancar keluar ketika mendengar pembicaraan keluarga atau tamu yang datang menyinggung tentang keberadaan orang tuanya. Namun akan sangat gembira luar biasa ketika menyambut lebaran tiba. Ya, lebaran menjadi hari yang paling ditunggunya. Bukan karena dia akan mendapat baju baru, juga bukan karena aneka makanan yang akan disiapkan neneknya.Tapi karena dia menunggu seorang tukang ojek datang ke kampungnya. Bukan….. bukan tukang ojeknya itu yang lama ditunggunya, tapi orang yang duduk di belakangnya. Itulah ibunya. Dia akan teriak sekuat tenaga menyeru ‘mamaaaa’ dan menghambur ke pelukannya. Saat itu yang ada dalam benaknya bahwa sebentar lagi dia bisa membanggakan ibunya ke teman-temannya. Ibu yang selalu dirindukannya.  Ibu yang setiap kali datang membawa beberapa potong baju baru dan buku-buku cerita buat anak kecil itu. Setelah lebaran berlalu, anak itu akan terus mengikuti ibunya karena dia tahu pasti bahwa bakal ditinggal pergi lagi. Namun begitulah, beberapa hari kemudian, dengan sedikit tipuan yang khas kepada anak kecil, ibunya tiba-tiba sudah pergi, dan dia hanya bisa menangis setelah menyadari kepergian ibu dari hadapannya. Hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan menjadi tahun, begitu selalu berganti dengan pasti dan dijalani anak itu dengan tumpukan rindu. Rindu menunggu waktu bertemu lagi dengan ibu. Hanya menunggu ibunya, karena dia sudah tidak tahu apakah masih ada ayah untuknya.
Di lain kota, sang ibu membanting tulang dengan menjadi buruh tani pemetik padi di wilayah Gambut. Beberapa bulan setelahnya, Ibunya diterima bekerja di pabrik pengolahan kayu di daerah Jelapat, Kabupaten Barito Kuala. Pada suatu hari, mungkin kala anak tersebut mulai menginjak usia 8  tahun. Seingatnya itu bukan lebaran idul fitri ataupun lebaran haji, karena kalau tidak mengambil cuti, ibunya hanya bisa pulang di kedua hari itu. Sang ibu datang dengan membawa seorang laki-laki dan kemudian diperkenalkan sebagai calon suami. Setelah itu tampak kesibukan yang aneh di mata anak kecil lugu itu. Ternyata ibu, nenek dan keluarga bersiap untuk melaksanakan ijab kabul keesokan harinya. Tak ada yang tahu, hati anak kecil itu begitu pilu. Demi Allah, yang membolak-balik hati, tak ada ketakutan dan kesedihan yang paling dirasa kecuali kepedihan saat itu.  Anak yang hanya punya ibu ini begitu takut kasih sayang ibunya diambil orang asing itu. Perasaan takut kalau ibunya akhirnya akan semakin jarang datang, takut ibunya  tidak memperhatikannya lagi, takut sayang ibunya padanya akan berkurang. Perasaan hampa, kosong, dan  begitu kehilangan. Bermacam fikiran seorang anak kecil yang hanya mampu disimpan tanpa berani dia utarakan. Namun, tanpa bisa memahami fikiran orang dewasa, dia akhirnya pasrah merelakan ibunya pergi  dengan menyandang status baru. Status sebagai istri seorang bernama awalan ‘Gusti’ di Banjarmasin. Waktu terus berlalu. Si gadis kecil tumbuh dalam sendu.
Sebagai anak kampung, tak banyak yang dia tahu tentang kehidupan seperti apa yang dijalani ibunya dengan suami barunya di sana. Ibunya makin jarang pulang. Jangankan tanya kabar lewat handphone atau kirim pesan lewat email seperti sekarang. Berkirim surat saja pun dia tidak tahu kemana menulis alamatnya. Berdasarkan obrolan orang-orang dewasa keluarganya yang dia curi dengar, ibunya dan suaminya sekarang, dulunya kawan lama masa remaja. Pekerjaan kakeknya semasa muda adalah tentara, sehingga sering berpindah tugas. Jadi tidak heran kalau ibunya pernah menghabiskan masa muda di Kota Banjarmasin. Takdir mempertemukan mereka kembali saat mereka sudah sama-sama tidak muda lagi. Setelah pernikahan itu, beberapa kali ibunya pulang ke kampungnya dengan wajah biru lebam. Sepertinya bekas terkena tendangan dan pukulan. Mungkin alasan tak ingin rumah tangganya hancur untuk kali kesekian, ibunya memilih untuk terus bertahan dengan kondisi rumah tangganya yang entah seperti apa. Tak pernah sekalipun ibunya terdengar mengeluhkan atau sekedar menceritakan status yang disandangnya kala itu.
Seiring perjalanan waktu, anak perempuan kecil itu tumbuh dengan jalan fikirannya sendiri. Dia tak pernah sekalipun menanyakan tentang masa lalu ibunya yang menyebabkan dia ada. Dia juga takut untuk bertanya di mana sekarang ayahnya.  Walaupun bermacam pertanyaan berkecamuk dalam hati menunggu jawaban dan penjelasan, namun tetaplah dia simpan sendiri bersama tangisnya di malam hari. Dia sadar akan derita ibunya. Dia takut pertanyaannya akan menoreh kembali luka hati ibunya. Dia hanya menunggu dalam diam. Entah karena tak kuasa menceritakan atau karena menganggap anaknya belum cukup dewasa untuk memahaminya. Ibunya juga bungkam tak pernah berterus terang. Masa lalu seakan ingin dikuburnya dalam-dalam. Sang anak hanya bisa berharap suatu hari nanti bisa tahu dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga cerita masa lalunya dan dimana ayahnya sekarang bukan lagi sebuah misteri.
Setamat SD, tak ada sekolah lanjutan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari rumah neneknya. Orang yang biasa disebutnya paman, adik ibunya, menawari untuk sekolah dan tinggal dirumahnya sekalian menjadi teman kedua anak pamannya yang masih kecil. Kebetulan rumah pamannya dekat dengan sebuah SMP di sana. Jarak rumah pamannya itu terpisah satu kecamatan dari rumah neneknya. Karena keinginan untuk terus sekolah, dia menerima tawaran itu.  Kesedihan sering muncul kala melihat dan memperhatikan keluarga pamannya yang lengkap. Dia sering merasa iri dan merasa sendiri. Dia merasa menjadi orang asing pengganggu ditengah bahagianya keluarga mereka. Setiap hari minggu, dia naik sepeda menempuh jarak puluhan km untuk menjenguk neneknya dan pulang ke rumah yang sudah membesarkannya.Dua tahun bersama keluarga paman, anak kecil kampung yang mulai beranjak remaja itu merasa susah menyesuaikan diri. Perasaan lebih nyaman bersama nenek yang sudah membesarkannya, membuat anak remaja tanggung itu mengambil keputusan pergi dari rumah pamannya dan kembali ikut neneknya. Sekolah dilanjutkan dengan tetap pulang pergi dari rumah neneknya, menempuh jarak sekitar 15 km naik sepeda setiap hari.
Setelah menikah kali ketiga, mungkin karena sudah merasa lelah dan sering sakit, ibunya berhenti dari pekerjaan sebagai karyawan perusahaan kayu. Untuk menutupi kebutuhannya dia mengambil upah sebagai pengupas bawang di daerah Kelayan. Suatu hari, anak remaja tanggung tersebut duduk di kelas 3 SMP kala itu. Sang ibu terlihat pulang ke kampungnya dengan diantar suaminya. Gadis remaja ini heran padahal masih jauh dari lebaran. Ternyata, tak dinyana dan tak diduga, ibunya pulang bukan untuk merayakan lebaran seperti biasa, tapi pulang membawa tubuh kurus, lemah dan sakit tak berdaya. Tampak lelaki yang mengantarnya ingin melepaskan tanggungjawab atas wanita yang sudah dia nikahi dan kini terlihat sangat pucat itu. Melihat  lemah wajah sang ibu, gadis remaja ini menyimpan saja kesalnya dalam hati kepada lelaki yang hanya bekerja sebagai tukang servis jam itu. Tanpa perasaan, lelaki yang mengantar pulang istrinya itu kembali ke daerah asalnya. Selang sehari kemudian, keluarganya membawa ibu yang sudah tampak payah tersebut ke rumah sakit. Seminggu di rumah sakit Amuntai, dokter menyerahkan kembali wanita itu ke keluarganya, mereka berujar pasrah. Lamanya terpapar zat kimia akibat lama bekerja di pabrik kayu lapis dianggap sebagai penyebab sakitnya. Vonis dokter adalah gagal ginjal. Diceritakan dokter kalau pengobatan penyakit ini hanya bisa dilakukan secara berkala dan kontinu di rumah sakit besar di pulau Jawa. Kala itu, tak ada jamkesmas, jamkesda atau semacam yang sekarang dikenal sebagai BPJS. Jangan kata untuk membiayai pengobatan, untuk biaya transportasi ke sana saja tidak punya. Jarak pulau Jawa-Kalimantan seakan begitu jauhnya dan begitu lama, karena tiket pesawat waktu itu masih sangat mahal. Kapal laut yang berlayar ke sana juga tidak tiap hari. Akhirnya dengan memperhatikan kondisi ekonomi keluarga, ibu itu dibawa pulang ke rumah dan hanya di usahakan pengobatan alternatif saja.  
Ibu yang sudah memiliki empat anak itu semakin hari tampak  semakin payah dan semakin parah. Sang gadis remaja bersama kakak perempuannya berusaha setia merawat dan menyuapi makan wanita lemah itu. Dua kakak laki-lakinya juga tak bisa berbuat banyak karena masing-masing harus bekerja. Satu kakak laki-lakinya meneruskan jejak ibunya menjadi karyawan perusahaan kayu di Banjarmasin. Kakak laki-lakinya yang lain sebagai karyawan toko di kota Amuntai. Begitulah kehidupan mereka. Setiap hari terdengar rintih lirih kesakitan wanita berumur itu. Sang anak hanya bisa menyembunyikan tangisnya kala mendengar ibunya mengerang menahan sakit terutama kala hajat minta dibuang. Satu bulan berhasil dilewati. Tak ingin terlihat pasrah, berbagai air, ramuan, dan do’a dari para ulama juga tetap diusahakan tetangga atau keluarga yang berkunjung. Semakin hari malahan makin lemah, sang ibu hanya bisa terkulai, terbaring menunggu takdir. Perih pilu di rasa gadis itu. Ingin dia saja yang menggantikan sakitnya. Biarlah dia rela tidak pernah bertemu ayahnya asalkan ibunya bisa kembali sehat seperti sedia kala. Tampak olehnya kalau tubuh ibunya hanya tinggal kulit membungkus tulang. Satu bulan lebih seminggu dalam perawatan,akhirnya November tahun Sembilan Tiga wanita itu menyerah pada takdirnya. Tamatlah satu episode kehidupan seorang anak manusia yang hidup dengan deritanya. Meski sudah sekian lama menyiapkan mentalnya, sang anak tetap saja terguncang hebat. Sudah tak tahu rupa ayah, ibunya yang begitu dicintainya juga pergi meninggalkannya. Pupus harapnya suatu saat bisa berkumpul bersama ibunya.  
Hanya nenek tempatnya sekarang bertumpu. Berbekal beasiswa yang ditabungnya dari SMP, dengan nilai ujian yang cukup bisa dibanggakan, akhirnya dia diterima masuk SMA favorit di kota itu. Saat dia duduk di bangku SMU pernah ada tetangganya yang membawa berita kalau keluarga ayahnya sedang mencari dirinya. Kebetulan memang beberapa penduduk di daerah dia tinggal berpencarian sebagai pedagang ke berbagai daerah di Kalimantan Timur. Entahlah bagaimana perasaannya saat mengetahui hal itu. Namun, dalam hatinya dia selalu menunggu saat itu, saat dimana dia bisa bertemu dengan orang yang di dalam nadinya telah mengalir darah orang tersebut.
Suatu sore sewaktu tiba di rumah dari perkemahan pramuka saat duduk di kelas 2 SMU, sudah ada dua tamu laki-laki asing menunggunya. Tamu itu sekalipun tak pernah dikenalnya, namun datang mencari dirinya. Mereka datang membawa lembaran-lembaran foto keluarga yang satu orangpun tak pernah dikenal rupa wajahnya. Orang-orang tersebut mengatakan kalau mereka diutus berdasarkan amanat keluarga. Mereka bercerita tentang silsilah keluarga dalam foto itu. Beruntung saat itu sudah malam dan lampu temaram rumah neneknya bisa menutupi bulir bening yang mengalir perlahan di ujung kelopak matanya. Mengalir mengiringi cerita dari kedua tamu lelaki itu. Mereka  ternyata adalah kakak tertuanya dan adik dari ayahnya. Misteri masa lalunya yang tak sempat diceritakan ibunya perlahan mulai terungkap. Mereka juga mengisahkan kalau ayahnya selama tiga belas tahun menderita kelumpuhan akibat diserang stroke. Seakan meminta pemakluman kalau itulah alasan dia tak pernah dicari selama ini. Cerita terus berlanjut, si gadis hanya diam mendengarkan sambil sesekali menyeka air mata. Kakak yang baru dikenalnya itu melanjutkan cerita bahwa maksud kedatangannya karena amanah ayahnya agar mau mencari anak yang dulu dikandung istrinya. Kata mereka, amanah tersebut harus disampaikan karena….karena sang ayah telah menutup mata selamanya. Ya …gadis remaja itu tidak salah dengar, menurut mereka ayahnya telah tiada tiga hari yang lalu. Andai hati punya warna, maka tak ada warna yang bisa menggambarkan perasaan gadis itu saat ini. Wahai zat yang menguasai gelap, tak ada lagi gelap yang lebih pekat menandingi perasaannya saat itu. Butiran bening itupun sudah tak terbendung. Tak ada lagi harap untuknya bisa memandang wajah ayahnya walau sekejap. Tak ada lagi hari yang ditunggunya agar bisa bertemu. Benar-benar sudah tak ada ayah baginya. Untungnya walaupun dia sempat terisak, namun dia tetap kuat. Berita itu baginya hanya menegaskan bahwa mimpinya tetaplah akan menjadi mimpi. Berita itu  tidak akan mengubah hidupnya. Hidupnya akan tetap seperti itu selamanya, melanjutkan harinya bersama neneknya.
Dengan mengandalkan prestasi belajar yang didapatnya, dia memberanikan diri turut mengisi aplikasi kuliah di universitas negri  dengan jalur tanpa tes bernama PMDK dan Alhamdulillah diterima. Dia hanya berharap kuliahnya nanti dapat beasiswa,  karena menurut cerita seorang temannya, setiap tahun ada beasiswa yang disediakan pemerintah berdasarkan nilai raport SMU saja. Berbekal uang tabungan sisa beasiswa yang didapatnya selama ini, ditambah uang penjualan sepeda sekolahnya, juga sedikit tambahan dari keluarganya maka si gadis kampung itu membulatkan niat dan tekad untuk nekat berangkat menuntut ilmu ke kota Banjarmasin. Kota yang sempat jadi sejarah bagi hidup ibunya.
Setelah resmi berstatus mahasiswa, gadis kampung itu berhasil mendapatkan beasiswa, waktu itu namanya beasiswa PPA. Namun sayang, krisis moneter tahun 1998 melanda. Pemerintah menunda pencairan beasiswanya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Setahun bertahan dengan hanya sedikit kiriman uang per bulan. Kiriman yang  merupakan urunan dari nenek, paman yang pernah memeliharanya, dan kakak bungsunya yang bekerja sebagai penjaga toko. Untunglah, berkat nilai akademis yang diperolehnya, akhirnya di tahun kedua dia mendapatkan beasiswa yang ditunggunya.
Allah menunjukkan kuasanya. Bahwa tak selamanya hidup itu menderita. Kalau kita sabar, maka niscaya akan indah pada waktunya. Akhirnya, dengan banyak bantuan keluarga dan sahabatnya, gadis itu berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu paling singkat. Melihat nilai yang diperolehnya, dia langsung ditawari bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Di saat sebagian besar teman-teman seangkatannya masih sibuk menyelesaikan kuliahnya, gadis kampung itu sudah sarjana dan bekerja. Bak cerita Cinderella, sepatu kaca juga mendapatkan pasangannya. Seorang anak petani yang merupakan kakak tingkatnya sewaktu kuliah S1 kini sudah menjadi suaminya. Ditengah bahagianya menerima anugrah kehamilan anak pertama, dia langsung berhasil jadi PNS dengan hanya sekali ikut tes. Walaupun setelahnya dia harus banyak bersabar karena setelah kelahiran anak pertamanya, suaminya harus meninggalkannya dalam rangka tugas belajar di Surabaya. Ya, suaminya yang diangkat sebagai seorang dosen memang dituntut minimal S2. Ternyata benarlah bahwa nikmat itu tak akan berhenti kalau disyukuri. Di tengah mengandung anak kedua, dia juga mendapatkan kesempatan memperoleh beasiswa S2 di universitas ternama di Indonesia.
 Waktu berderap dengan cepat. Dalam syukur yang luar biasa, sambil membesarkan kedua putri mereka,  dia mendapat lagi anugrah seorang putra. Syukurnya lagi, kerelaan dan pengorbanan melepas suami studi S3, akhirnya berbuah bahagia. Bangga karena berhasil mendampingi suami menyematkan gelar doktor di depan namanya.
 Kisah pilu masa lalu itu sudah berlalu bersama waktu. Lalu, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan??? Begitu banyak anugerah yang harus disyukuri, termasuk pencapaian usianya sampai hari ini. Sampai dia bisa menuliskan cerita ini. Hari ini.

 Semoga cerita ini bisa jadi inspirasi dan pelecut motivasi. Percayalah, saat Tuhan mengujimu maka Dia sudah menyiapkan hadiah indah bagimu. Tetaplah lewati dengan sabar dan baik sangka.


 Tak ada yang bisa mengubah masa lalu. Yang bisa hanyalah mengubah masa depan dengan bercermin ke masa lalu. 

 (Banjarmasin, 01 Desember 2014)
 












14 komentar:

  1. Luar biasa Des... Luar biasa... Mereka yg menurutmu bahagia di masa lalu tidak lebih hebat dan lebih kuat dibanding denganmu. Mungkin sekarang mereka yg iri denganmu...

    BalasHapus
  2. Padang Basar dn kartak pagat, kenangan yg menginspirasi.... Happy milad, sukses slalu......

    BalasHapus
  3. Kirim ke hanung bramantio/ tim laskar pelangi/ riri reza? Biar + film bermutu nusantara

    BalasHapus
  4. Sebuah perjuangan berat yg belum pernah saya bayangkan seberat ini bu... Di balik senyum tipismu itu.... Dan Allah selalu bersama orang2 yg sabar....

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Ibuuuuu ceritanya subhanallah, jujur uln sampai menangis membacanya hehe..sangat sangat memotivasi. Ternyta rencana Allah itu lebih indah dari apa yg kita bayangkan. Kita hnya perlu bersabar dan bersyukur menjalaninya:)
    ibu ini story kehidupan pian kah bu..

    BalasHapus
  8. Ibu ceritanya sedih banar.. padahal rencananya ulun handak menggawi tugas yg pian suruh, eh malah tebaca cerita pian yang ini. sedih banar bu ay. jujur ulun pas pertama kalinya pian melajari ulun di kelas 3 ulun iri lawan pian, soalnya pian tuh hebat banar mengajar matematika, pian tuh sukses sudah, dapat beasiswa sampai lulus kuliah, jadi dosen, jadi guru, tapi ternyata dibalik kisah kebahagiaan dan kesuksesan pian. disana ada kisah perjuangan, Kerja Keras, Mimpi besar, Belajar dan terus belajar untuk mencapai mimpi-mimpi besar pian hingga akhirnya tercapai.. cerita pian memberikan manfaat dan pelajaran bahwa sebanyak apapun ujian Tuhan pasti diakhir akan ada hadiah indah yang telah disiapkan untuk kita. pokoknya cerita pian it's the best dah maka sampai maulah tentangis :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Experience is the best teacher but be teacher is my best experience...and nice experience when i get student like you..

      Hapus
  9. Ceritanya sangat menginspirasi bu :')
    Sebelum membaca blog pian ni pas pian bekisah di kelas tentang masa-masa kuliah pian dr S1 smpai S2 tu ja ulun sudah kagum banar lwn pian bu ai. Uln kd menyangka dibalik semua kesuksesan yg pian capai ternyata byk bnr rintangan yg harus pian hadapi. Alhamdulillah ulun bersyukur banar bisa dilajari oleh guru semulia pian bu🙏
    Terima kasih ibu atas ilmu nya yang sangat bermanfaat😊 doakan ulun supaya bisa sukses kaya pian jua bu❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks Alya..my smart student..remember that i ever say in your class : "you can if you think you can". But especially for you, i say " you can if i think you can" and now, i think you can be success.....

      Hapus
  10. luar biasa bu.....terharu hnyar mbca uln.

    BalasHapus
  11. sedih bu membacaanya dan menginspirasi sekali,
    selamat hari lahir bu mg berkah dunia akhirat.

    BalasHapus