Kisah ini
berawal dari perihnya hidup seorang wanita yang baru saja ditinggalkan suami
yang tergoda wanita lain. Suami yang
jadi tulangpunggungnya juga melupakan tanggungjawab terhadap nafkah ketiga anak
mereka. Sehingga demi keberlangsungan hidupnya dan anak-anaknya, wanita ini mencoba mengadu nasib, merantau ke
daerah yang sudah masuk wilayah provinsi tetangga. Satu anak bungsu dibawanya, dua lainnya
dititipkan sementara pada ibunya. Entah bagaimana ceritanya, wanita yang
mencoba berdagang kecil-kecilan ini kemudian dinikahi seorang pejabat daerah
cukup terpandang di sana. Laki-laki yang sudah memiliki 6 anak dari istri pertamanya dan masing-masing satu anak
dari istri kedua dan ketiganya. Itu artinya laki-laki yang menikahi wanita ini sudah
pernah menikahi tiga wanita sebelumnya. Tak jelas bagaimana statusnya saat itu,
suami orang ataukah sudah mantan suami orang. Wanita ini menerima keadaan
sebagai istri kesekian mungkin berharap bisa berbagi beban. Tapi malang, bukan
kebahagiaan yang dia dapat. Wanita ini kembali harus menemui takdirnya. Dalam
keadaan hamil tua, tanpa kuasa melawan, dia diusir oleh istri kedua suaminya
yang sebelumnya sudah lama pergi ke lain kota. Anehnya, entah kena pengaruh
seperti apa, suaminya juga tega membiarkannya. Akhirnya, dengan bercucuran air
mata pulanglah wanita ini ke kampungnya dengan membawa beban lahir sekaligus batin.
Beban lahir, karena saat itu usia kandungannya sudah mencapai bulannya. Beban
batin, karena ini menjadi kali kedua dia gagal berumah tangga.
Sebuah rumah
sederhana di hilir sebuah desa di pinggiran kota Amuntai, seorang ibu bersiap menunggu
kelahiran bayi yang dikandungnya. Ibu tersebut baru saja kembali ke kampung
tersebut setelah beberapa waktu merantau ke sebuah kabupaten di provinsi
Kalimantan Timur, dan menikah dengan salah satu pejabat di sana. Kota Amuntai
adalah Ibukota kabupaten kecil berjarak 200 km dari Banjarmasin, ibukota
Kalimantan Selatan. Kampung ini membentang sepanjang sungai tabalong yang mengalir dari hulu kota
Tanjung. Diberi nama Padang Basar karena diambil dari bahasa setempat untuk
menyatakan sawah besar. Karena memang desa ini diapit antara sungai yang
mengalir dan sawah yang membentang. Sawah yang hanya mengandalkan tadah hujan
ini akan sangat kering ketika musim kemarau dan sangat melimpah airnya kala
musim hujan datang. Lumayan dekat dengan kota kabupaten, tetapi kehidupan di kampung
itu masih sangat sederhana. Masyarakatnya mengandalkan pencaharian dari bertani
dan menjual ikan tangkapan di air tawar.
Jalan kampung waktu itu hanya kendaraan roda dua yang bisa melewatinya.
Hari pertama di bulan
Desember tahun sembilan belas tujuh sembilan
menandai kelahiran seorang anak manusia. Bayi mungil yang lahir dari pertaruhan
raga dan nyawa ibunya. Ibu yang melahirkan tanpa suami disampingnya. Hari demi
hari berlalu, si bayi kecil tumbuh bersama ibunya. Tak sekalipun pernah ditengok
ayahnya atau bahkan keluarga ayahnya. Tak
ingin terus-terusan hidup dari belas kasihan keluarganya di kampung, dan demi
anak-anak kecil tanpa ayah itu, sang ibu memutuskan kembali mencari kerja jauh
ke ibu kota Provinsi. Dengan hati berat, bayi kecil yang baru selesai
disapihnya selama dua tahun dititipkan kepada neneknya. Ketiga anaknya yang
lain ada yang diasuh keluarga mantan suami pertamanya, ada yang berusaha mandiri
untuk menghidupi dirinya sendiri.
Demikianlah bermula cerita bayi perempuan kecil yang tumbuh sederhana dalam pengasuhan nenek yang hanya seorang janda dari pensiunan tentara. Seiring berkembangnya daya nalarnya, anak kecil itu mulai berfikir tentang keberadaannya yang berbeda dengan kawan sepermainannya. Dia mulai bingung dimana ibunya dan siapa bapaknya. Mereka kawan-kawannya mempunyai ayah dan ibu, sedangkan dia tumbuh dan besar bersama nenek. Ibunya hanya pulang sesekali, dan ayahnya tak pernah dilihatnya walau sekali.Tak ada penjelasan lugas yang bisa diterima oleh akal kanak-kanaknya. Kelihatan sedikit tomboy, anak itu kemudian tumbuh menjadi anak pendiam, introvert dan sangat sensitif. Dengan mudahnya air mata memancar keluar ketika mendengar pembicaraan keluarga atau tamu yang datang menyinggung tentang keberadaan orang tuanya. Namun akan sangat gembira luar biasa ketika menyambut lebaran tiba. Ya, lebaran menjadi hari yang paling ditunggunya. Bukan karena dia akan mendapat baju baru, juga bukan karena aneka makanan yang akan disiapkan neneknya.Tapi karena dia menunggu seorang tukang ojek datang ke kampungnya. Bukan….. bukan tukang ojeknya itu yang lama ditunggunya, tapi orang yang duduk di belakangnya. Itulah ibunya. Dia akan teriak sekuat tenaga menyeru ‘mamaaaa’ dan menghambur ke pelukannya. Saat itu yang ada dalam benaknya bahwa sebentar lagi dia bisa membanggakan ibunya ke teman-temannya. Ibu yang selalu dirindukannya. Ibu yang setiap kali datang membawa beberapa potong baju baru dan buku-buku cerita buat anak kecil itu. Setelah lebaran berlalu, anak itu akan terus mengikuti ibunya karena dia tahu pasti bahwa bakal ditinggal pergi lagi. Namun begitulah, beberapa hari kemudian, dengan sedikit tipuan yang khas kepada anak kecil, ibunya tiba-tiba sudah pergi, dan dia hanya bisa menangis setelah menyadari kepergian ibu dari hadapannya. Hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan menjadi tahun, begitu selalu berganti dengan pasti dan dijalani anak itu dengan tumpukan rindu. Rindu menunggu waktu bertemu lagi dengan ibu. Hanya menunggu ibunya, karena dia sudah tidak tahu apakah masih ada ayah untuknya.
Demikianlah bermula cerita bayi perempuan kecil yang tumbuh sederhana dalam pengasuhan nenek yang hanya seorang janda dari pensiunan tentara. Seiring berkembangnya daya nalarnya, anak kecil itu mulai berfikir tentang keberadaannya yang berbeda dengan kawan sepermainannya. Dia mulai bingung dimana ibunya dan siapa bapaknya. Mereka kawan-kawannya mempunyai ayah dan ibu, sedangkan dia tumbuh dan besar bersama nenek. Ibunya hanya pulang sesekali, dan ayahnya tak pernah dilihatnya walau sekali.Tak ada penjelasan lugas yang bisa diterima oleh akal kanak-kanaknya. Kelihatan sedikit tomboy, anak itu kemudian tumbuh menjadi anak pendiam, introvert dan sangat sensitif. Dengan mudahnya air mata memancar keluar ketika mendengar pembicaraan keluarga atau tamu yang datang menyinggung tentang keberadaan orang tuanya. Namun akan sangat gembira luar biasa ketika menyambut lebaran tiba. Ya, lebaran menjadi hari yang paling ditunggunya. Bukan karena dia akan mendapat baju baru, juga bukan karena aneka makanan yang akan disiapkan neneknya.Tapi karena dia menunggu seorang tukang ojek datang ke kampungnya. Bukan….. bukan tukang ojeknya itu yang lama ditunggunya, tapi orang yang duduk di belakangnya. Itulah ibunya. Dia akan teriak sekuat tenaga menyeru ‘mamaaaa’ dan menghambur ke pelukannya. Saat itu yang ada dalam benaknya bahwa sebentar lagi dia bisa membanggakan ibunya ke teman-temannya. Ibu yang selalu dirindukannya. Ibu yang setiap kali datang membawa beberapa potong baju baru dan buku-buku cerita buat anak kecil itu. Setelah lebaran berlalu, anak itu akan terus mengikuti ibunya karena dia tahu pasti bahwa bakal ditinggal pergi lagi. Namun begitulah, beberapa hari kemudian, dengan sedikit tipuan yang khas kepada anak kecil, ibunya tiba-tiba sudah pergi, dan dia hanya bisa menangis setelah menyadari kepergian ibu dari hadapannya. Hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan menjadi tahun, begitu selalu berganti dengan pasti dan dijalani anak itu dengan tumpukan rindu. Rindu menunggu waktu bertemu lagi dengan ibu. Hanya menunggu ibunya, karena dia sudah tidak tahu apakah masih ada ayah untuknya.
Di lain kota, sang
ibu membanting tulang dengan menjadi buruh tani pemetik padi di wilayah Gambut.
Beberapa bulan setelahnya, Ibunya diterima bekerja di pabrik pengolahan kayu di
daerah Jelapat, Kabupaten Barito Kuala. Pada suatu hari, mungkin kala anak
tersebut mulai menginjak usia 8 tahun.
Seingatnya itu bukan lebaran idul fitri ataupun lebaran haji, karena kalau
tidak mengambil cuti, ibunya hanya bisa pulang di kedua hari itu. Sang ibu
datang dengan membawa seorang laki-laki dan kemudian diperkenalkan sebagai
calon suami. Setelah itu tampak kesibukan yang aneh di mata anak kecil lugu
itu. Ternyata ibu, nenek dan keluarga bersiap untuk melaksanakan ijab kabul
keesokan harinya. Tak ada yang tahu, hati anak kecil itu begitu pilu. Demi
Allah, yang membolak-balik hati, tak ada ketakutan dan kesedihan yang paling
dirasa kecuali kepedihan saat itu. Anak
yang hanya punya ibu ini begitu takut kasih sayang ibunya diambil orang asing
itu. Perasaan takut kalau ibunya akhirnya akan semakin jarang datang, takut
ibunya tidak memperhatikannya lagi,
takut sayang ibunya padanya akan berkurang. Perasaan hampa, kosong, dan begitu kehilangan. Bermacam fikiran seorang
anak kecil yang hanya mampu disimpan tanpa berani dia utarakan. Namun, tanpa
bisa memahami fikiran orang dewasa, dia akhirnya pasrah merelakan ibunya pergi dengan menyandang status baru. Status sebagai
istri seorang bernama awalan ‘Gusti’ di Banjarmasin. Waktu terus berlalu. Si
gadis kecil tumbuh dalam sendu.
Sebagai anak
kampung, tak banyak yang dia tahu tentang kehidupan seperti apa yang dijalani
ibunya dengan suami barunya di sana. Ibunya makin jarang pulang. Jangankan tanya
kabar lewat handphone atau kirim pesan lewat email seperti sekarang. Berkirim
surat saja pun dia tidak tahu kemana menulis alamatnya. Berdasarkan obrolan
orang-orang dewasa keluarganya yang dia curi dengar, ibunya dan suaminya
sekarang, dulunya kawan lama masa remaja. Pekerjaan kakeknya semasa muda adalah
tentara, sehingga sering berpindah tugas. Jadi tidak heran kalau ibunya pernah
menghabiskan masa muda di Kota Banjarmasin. Takdir mempertemukan mereka kembali
saat mereka sudah sama-sama tidak muda lagi. Setelah pernikahan itu, beberapa
kali ibunya pulang ke kampungnya dengan wajah biru lebam. Sepertinya bekas terkena
tendangan dan pukulan. Mungkin alasan tak ingin rumah tangganya hancur untuk
kali kesekian, ibunya memilih untuk terus bertahan dengan kondisi rumah
tangganya yang entah seperti apa. Tak pernah sekalipun ibunya terdengar
mengeluhkan atau sekedar menceritakan status yang disandangnya kala itu.
Seiring
perjalanan waktu, anak perempuan kecil itu tumbuh dengan jalan fikirannya
sendiri. Dia tak pernah sekalipun menanyakan tentang masa lalu ibunya yang
menyebabkan dia ada. Dia juga takut untuk bertanya di mana sekarang ayahnya. Walaupun bermacam pertanyaan berkecamuk dalam
hati menunggu jawaban dan penjelasan, namun tetaplah dia simpan sendiri bersama
tangisnya di malam hari. Dia sadar akan derita ibunya. Dia takut pertanyaannya
akan menoreh kembali luka hati ibunya. Dia hanya menunggu dalam diam. Entah
karena tak kuasa menceritakan atau karena menganggap anaknya belum cukup dewasa
untuk memahaminya. Ibunya juga bungkam tak pernah berterus terang. Masa lalu
seakan ingin dikuburnya dalam-dalam. Sang anak hanya bisa berharap suatu hari
nanti bisa tahu dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga cerita
masa lalunya dan dimana ayahnya sekarang bukan lagi sebuah misteri.
Setamat SD, tak
ada sekolah lanjutan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari rumah neneknya.
Orang yang biasa disebutnya paman, adik ibunya, menawari untuk sekolah dan
tinggal dirumahnya sekalian menjadi teman kedua anak pamannya yang masih kecil.
Kebetulan rumah pamannya dekat dengan sebuah SMP di sana. Jarak rumah pamannya
itu terpisah satu kecamatan dari rumah neneknya. Karena keinginan untuk terus
sekolah, dia menerima tawaran itu. Kesedihan sering muncul kala melihat dan memperhatikan keluarga
pamannya yang lengkap. Dia sering merasa iri dan merasa sendiri. Dia merasa
menjadi orang asing pengganggu ditengah bahagianya keluarga mereka. Setiap hari minggu, dia naik sepeda menempuh
jarak puluhan km untuk menjenguk neneknya dan pulang ke rumah yang sudah
membesarkannya.Dua tahun
bersama keluarga paman, anak kecil kampung yang mulai beranjak remaja itu
merasa susah menyesuaikan diri. Perasaan lebih nyaman bersama nenek yang sudah
membesarkannya, membuat anak remaja tanggung itu mengambil keputusan pergi dari rumah pamannya dan kembali ikut
neneknya. Sekolah dilanjutkan dengan tetap pulang pergi dari rumah neneknya,
menempuh jarak sekitar 15 km naik sepeda setiap hari.
Setelah menikah
kali ketiga, mungkin karena sudah merasa lelah dan sering sakit, ibunya
berhenti dari pekerjaan sebagai karyawan perusahaan kayu. Untuk menutupi
kebutuhannya dia mengambil upah sebagai pengupas bawang di daerah Kelayan. Suatu
hari, anak remaja tanggung tersebut duduk di kelas 3 SMP kala itu. Sang ibu terlihat
pulang ke kampungnya dengan diantar suaminya. Gadis remaja ini heran padahal
masih jauh dari lebaran. Ternyata, tak dinyana dan tak diduga, ibunya pulang
bukan untuk merayakan lebaran seperti biasa, tapi pulang membawa tubuh kurus,
lemah dan sakit tak berdaya. Tampak lelaki yang mengantarnya ingin melepaskan
tanggungjawab atas wanita yang sudah dia nikahi dan kini terlihat sangat pucat
itu. Melihat lemah wajah sang ibu, gadis
remaja ini menyimpan saja kesalnya dalam hati kepada lelaki yang hanya bekerja
sebagai tukang servis jam itu. Tanpa perasaan, lelaki yang mengantar pulang
istrinya itu kembali ke daerah asalnya. Selang sehari kemudian, keluarganya
membawa ibu yang sudah tampak payah tersebut ke rumah sakit. Seminggu di rumah
sakit Amuntai, dokter menyerahkan kembali wanita itu ke keluarganya, mereka
berujar pasrah. Lamanya terpapar zat kimia akibat lama bekerja di pabrik kayu
lapis dianggap sebagai penyebab sakitnya. Vonis dokter adalah gagal ginjal.
Diceritakan dokter kalau pengobatan penyakit ini hanya bisa dilakukan secara berkala
dan kontinu di rumah sakit besar di pulau Jawa. Kala itu, tak ada jamkesmas,
jamkesda atau semacam yang sekarang dikenal sebagai BPJS. Jangan kata untuk
membiayai pengobatan, untuk biaya transportasi ke sana saja tidak punya. Jarak
pulau Jawa-Kalimantan seakan begitu jauhnya dan begitu lama, karena tiket pesawat waktu
itu masih sangat mahal. Kapal laut yang berlayar ke sana juga tidak tiap hari. Akhirnya
dengan memperhatikan kondisi ekonomi keluarga, ibu itu dibawa pulang ke rumah
dan hanya di usahakan pengobatan alternatif saja.
Ibu yang sudah
memiliki empat anak itu semakin hari tampak
semakin payah dan semakin parah. Sang gadis remaja bersama kakak
perempuannya berusaha setia merawat dan menyuapi makan wanita lemah itu. Dua
kakak laki-lakinya juga tak bisa berbuat banyak karena masing-masing harus
bekerja. Satu kakak laki-lakinya meneruskan jejak ibunya menjadi karyawan perusahaan
kayu di Banjarmasin. Kakak laki-lakinya yang lain sebagai karyawan toko di kota
Amuntai. Begitulah kehidupan mereka. Setiap hari terdengar rintih lirih
kesakitan wanita berumur itu. Sang anak hanya bisa menyembunyikan tangisnya
kala mendengar ibunya mengerang menahan sakit terutama kala hajat minta
dibuang. Satu bulan berhasil dilewati. Tak ingin terlihat pasrah, berbagai air,
ramuan, dan do’a dari para ulama juga tetap diusahakan tetangga atau keluarga
yang berkunjung. Semakin hari malahan makin lemah, sang ibu hanya bisa terkulai,
terbaring menunggu takdir. Perih pilu di rasa gadis itu. Ingin dia saja yang
menggantikan sakitnya. Biarlah dia rela tidak pernah bertemu ayahnya asalkan
ibunya bisa kembali sehat seperti sedia kala. Tampak olehnya kalau tubuh ibunya
hanya tinggal kulit membungkus tulang. Satu bulan lebih seminggu dalam
perawatan,akhirnya November tahun Sembilan Tiga wanita itu menyerah pada takdirnya. Tamatlah satu
episode kehidupan seorang anak manusia yang hidup dengan deritanya. Meski sudah
sekian lama menyiapkan mentalnya, sang anak tetap saja terguncang hebat. Sudah
tak tahu rupa ayah, ibunya yang begitu dicintainya juga pergi meninggalkannya. Pupus
harapnya suatu saat bisa berkumpul bersama ibunya.
Hanya nenek
tempatnya sekarang bertumpu. Berbekal beasiswa yang ditabungnya dari SMP, dengan
nilai ujian yang cukup bisa dibanggakan, akhirnya dia diterima masuk SMA
favorit di kota itu. Saat dia duduk di bangku SMU pernah ada tetangganya yang
membawa berita kalau keluarga ayahnya sedang mencari dirinya. Kebetulan memang
beberapa penduduk di daerah dia tinggal berpencarian sebagai pedagang ke
berbagai daerah di Kalimantan Timur. Entahlah bagaimana perasaannya saat
mengetahui hal itu. Namun, dalam hatinya dia selalu menunggu saat itu, saat
dimana dia bisa bertemu dengan orang yang di dalam nadinya telah mengalir darah
orang tersebut.
Suatu sore
sewaktu tiba di rumah dari perkemahan pramuka saat duduk di kelas 2 SMU, sudah
ada dua tamu laki-laki asing menunggunya. Tamu itu sekalipun tak pernah
dikenalnya, namun datang mencari dirinya. Mereka datang membawa
lembaran-lembaran foto keluarga yang satu orangpun tak pernah dikenal rupa
wajahnya. Orang-orang tersebut mengatakan kalau mereka diutus berdasarkan
amanat keluarga. Mereka bercerita tentang silsilah keluarga dalam foto itu.
Beruntung saat itu sudah malam dan lampu temaram rumah neneknya bisa menutupi
bulir bening yang mengalir perlahan di ujung kelopak matanya. Mengalir
mengiringi cerita dari kedua tamu lelaki itu. Mereka ternyata adalah kakak tertuanya dan adik dari
ayahnya. Misteri masa lalunya yang tak sempat diceritakan ibunya perlahan mulai
terungkap. Mereka juga mengisahkan kalau ayahnya selama tiga belas tahun
menderita kelumpuhan akibat diserang stroke. Seakan meminta pemakluman kalau
itulah alasan dia tak pernah dicari selama ini. Cerita terus berlanjut, si
gadis hanya diam mendengarkan sambil sesekali menyeka air mata. Kakak yang baru
dikenalnya itu melanjutkan cerita bahwa maksud kedatangannya karena amanah
ayahnya agar mau mencari anak yang dulu dikandung istrinya. Kata mereka, amanah
tersebut harus disampaikan karena….karena sang ayah telah menutup mata
selamanya. Ya …gadis remaja itu tidak salah dengar, menurut mereka ayahnya
telah tiada tiga hari yang lalu. Andai hati punya warna, maka tak ada warna
yang bisa menggambarkan perasaan gadis itu saat ini. Wahai zat yang menguasai
gelap, tak ada lagi gelap yang lebih pekat menandingi perasaannya saat itu.
Butiran bening itupun sudah tak terbendung. Tak ada lagi harap untuknya bisa
memandang wajah ayahnya walau sekejap. Tak ada lagi hari yang ditunggunya agar
bisa bertemu. Benar-benar sudah tak ada ayah baginya. Untungnya walaupun dia
sempat terisak, namun dia tetap kuat. Berita itu baginya hanya menegaskan bahwa
mimpinya tetaplah akan menjadi mimpi. Berita itu tidak akan mengubah hidupnya. Hidupnya akan tetap
seperti itu selamanya, melanjutkan harinya bersama neneknya.
Dengan
mengandalkan prestasi belajar yang didapatnya, dia memberanikan diri turut
mengisi aplikasi kuliah di universitas negri dengan jalur tanpa tes bernama PMDK dan
Alhamdulillah diterima. Dia hanya berharap kuliahnya nanti dapat beasiswa, karena menurut cerita seorang temannya, setiap
tahun ada beasiswa yang disediakan pemerintah berdasarkan nilai raport SMU
saja. Berbekal uang tabungan sisa beasiswa yang didapatnya selama ini, ditambah
uang penjualan sepeda sekolahnya, juga sedikit tambahan dari keluarganya maka
si gadis kampung itu membulatkan niat dan tekad untuk nekat berangkat menuntut
ilmu ke kota Banjarmasin. Kota yang sempat jadi sejarah bagi hidup ibunya.
Setelah resmi
berstatus mahasiswa, gadis kampung itu berhasil mendapatkan beasiswa, waktu itu
namanya beasiswa PPA. Namun sayang, krisis moneter tahun 1998 melanda. Pemerintah
menunda pencairan beasiswanya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Setahun
bertahan dengan hanya sedikit kiriman uang per bulan. Kiriman yang merupakan urunan dari nenek, paman yang
pernah memeliharanya, dan kakak bungsunya yang bekerja sebagai penjaga toko. Untunglah,
berkat nilai akademis yang diperolehnya, akhirnya di tahun kedua dia
mendapatkan beasiswa yang ditunggunya.
Allah
menunjukkan kuasanya. Bahwa tak selamanya hidup itu menderita. Kalau kita
sabar, maka niscaya akan indah pada waktunya. Akhirnya, dengan banyak bantuan
keluarga dan sahabatnya, gadis itu berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu
paling singkat. Melihat nilai yang diperolehnya, dia langsung ditawari bekerja
sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Di saat sebagian besar
teman-teman seangkatannya masih sibuk menyelesaikan kuliahnya, gadis kampung
itu sudah sarjana dan bekerja. Bak cerita Cinderella, sepatu kaca juga
mendapatkan pasangannya. Seorang anak petani yang merupakan kakak tingkatnya
sewaktu kuliah S1 kini sudah menjadi suaminya. Ditengah bahagianya menerima
anugrah kehamilan anak pertama, dia langsung berhasil jadi PNS dengan hanya
sekali ikut tes. Walaupun setelahnya dia harus banyak bersabar karena setelah
kelahiran anak pertamanya, suaminya harus meninggalkannya dalam rangka tugas
belajar di Surabaya. Ya, suaminya yang diangkat sebagai seorang dosen memang
dituntut minimal S2. Ternyata benarlah bahwa nikmat itu tak akan berhenti kalau
disyukuri. Di tengah mengandung anak kedua, dia juga mendapatkan kesempatan
memperoleh beasiswa S2 di universitas ternama di Indonesia.
Waktu berderap dengan cepat. Dalam syukur yang
luar biasa, sambil membesarkan kedua putri mereka, dia mendapat lagi anugrah seorang putra. Syukurnya
lagi, kerelaan dan pengorbanan melepas suami studi S3, akhirnya berbuah bahagia.
Bangga karena berhasil mendampingi suami menyematkan gelar doktor di depan
namanya.
Kisah pilu masa lalu itu sudah berlalu bersama
waktu. Lalu, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan??? Begitu banyak
anugerah yang harus disyukuri, termasuk pencapaian usianya sampai hari ini.
Sampai dia bisa menuliskan cerita ini. Hari ini.
Semoga cerita ini bisa jadi
inspirasi dan pelecut motivasi. Percayalah, saat Tuhan mengujimu maka Dia sudah
menyiapkan hadiah indah bagimu. Tetaplah lewati dengan sabar dan baik sangka.
Tak ada yang bisa mengubah masa
lalu. Yang bisa hanyalah mengubah masa depan dengan bercermin ke masa lalu.
(Banjarmasin, 01 Desember 2014)
(Banjarmasin, 01 Desember 2014)
Luar biasa Des... Luar biasa... Mereka yg menurutmu bahagia di masa lalu tidak lebih hebat dan lebih kuat dibanding denganmu. Mungkin sekarang mereka yg iri denganmu...
BalasHapusPadang Basar dn kartak pagat, kenangan yg menginspirasi.... Happy milad, sukses slalu......
BalasHapusKirim ke hanung bramantio/ tim laskar pelangi/ riri reza? Biar + film bermutu nusantara
BalasHapusSebuah perjuangan berat yg belum pernah saya bayangkan seberat ini bu... Di balik senyum tipismu itu.... Dan Allah selalu bersama orang2 yg sabar....
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIbuuuuu ceritanya subhanallah, jujur uln sampai menangis membacanya hehe..sangat sangat memotivasi. Ternyta rencana Allah itu lebih indah dari apa yg kita bayangkan. Kita hnya perlu bersabar dan bersyukur menjalaninya:)
BalasHapusibu ini story kehidupan pian kah bu..
Its true..
HapusIbu ceritanya sedih banar.. padahal rencananya ulun handak menggawi tugas yg pian suruh, eh malah tebaca cerita pian yang ini. sedih banar bu ay. jujur ulun pas pertama kalinya pian melajari ulun di kelas 3 ulun iri lawan pian, soalnya pian tuh hebat banar mengajar matematika, pian tuh sukses sudah, dapat beasiswa sampai lulus kuliah, jadi dosen, jadi guru, tapi ternyata dibalik kisah kebahagiaan dan kesuksesan pian. disana ada kisah perjuangan, Kerja Keras, Mimpi besar, Belajar dan terus belajar untuk mencapai mimpi-mimpi besar pian hingga akhirnya tercapai.. cerita pian memberikan manfaat dan pelajaran bahwa sebanyak apapun ujian Tuhan pasti diakhir akan ada hadiah indah yang telah disiapkan untuk kita. pokoknya cerita pian it's the best dah maka sampai maulah tentangis :')
BalasHapusExperience is the best teacher but be teacher is my best experience...and nice experience when i get student like you..
HapusCeritanya sangat menginspirasi bu :')
BalasHapusSebelum membaca blog pian ni pas pian bekisah di kelas tentang masa-masa kuliah pian dr S1 smpai S2 tu ja ulun sudah kagum banar lwn pian bu ai. Uln kd menyangka dibalik semua kesuksesan yg pian capai ternyata byk bnr rintangan yg harus pian hadapi. Alhamdulillah ulun bersyukur banar bisa dilajari oleh guru semulia pian bu🙏
Terima kasih ibu atas ilmu nya yang sangat bermanfaat😊 doakan ulun supaya bisa sukses kaya pian jua bu❤
Thanks Alya..my smart student..remember that i ever say in your class : "you can if you think you can". But especially for you, i say " you can if i think you can" and now, i think you can be success.....
Hapusluar biasa bu.....terharu hnyar mbca uln.
BalasHapussedih bu membacaanya dan menginspirasi sekali,
BalasHapusselamat hari lahir bu mg berkah dunia akhirat.