Minggu, 21 Desember 2014

Ibumu...Ibumu..Ibumu..

“Mamaaaaaaa……mamaaaaaaaaaaaaa” seorang anak kecil berteriak sekuat tenaga memanggil ibunya. Tak seorangpun mendengarnya. Tidak juga ibunya. karena ia berteriak sambil memasukkan mulutnya pada ‘pedaringan’, sebuah wadah keramik tempat orang kampungnya biasa menyimpan beras. Itu dilakukannya karena dia pernah mendengar cerita bahwa jika dilakukan saat rindu pada seseorang, maka orang yang dirindu juga akan mengingatnya. Setelah puas berteriak, selanjutnya anak kecil itu akan lari ke tempat tidur, membenamkan wajahnya pada bantal, sehingga tak seorangpun bisa mendengar isaknya.
Itulah sepenggal cerita tentangku dan ibu. Peristiwa yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Hal yang sering kulakukan kala aku rindu dengan ibu yang bekerja di kota yang jauh. Tak banyak yang bisa ku ingat tentang ibu yang melahirkanku. Ibuku tak pernah meneriaki aku untuk shalat, ibuku juga tak pernah menyuruhku untuk belajar, ibuku tak pernah marah-marah bila aku mendapat nilai rendah, ibu juga tak pernah memintaku membantunya melakukan pekerjaan rumah.  Padahal saat itu aku sangat ingin diteriaki ibu, sangat ingin dimarahi ibu, sangat ingin disuruh-suruh ibu. Aku begitu menginginkannya, karena aku ingin hidup berkumpul dengannya, namun, keadaan memaksa kami harus terpisah.
Yang juga melekat dalam memori lawasku, kala tubuh  ibuku terbaring lemah di kasur tipis tanpa ranjang. Seterusnya aku juga begitu ingat ketika tubuh wanita yang sudah melahirkanku itu dibungkus dengan kain putih. Kemudian, hujan air mata pun tumpah di sebuah pemakaman. Dan wajah ibuku benar-benar sudah tak bisa kupandang lagi.
Kawan, sayangi dan bahagiakanlah ibumu, karena kamu tidak akan pernah tahu sampai kapan kamu bisa memandang wajahnya. Janganlah mengeluh dengan teriakan dan perintahnya, karena kamu pasti tahu, suatu saat irama seperti itu akan selalu kamu rindukan. Kalau dia tak selalu bisa menemani, percayalah itu hanya demi masa depanmu. Kalau ibumu memarahimu itu hanya karena dia terlalu mengkhawatirkanmu. Jika ibumu tak mengabulkan semua permintaanmu itu artinya dia menyiapkan sesuatu yang lebih baik buatmu. Kalau dia sering menegurmu, itu karena dia ingin kamu menjadi lebih baik lagi. Tak ada ibu yang tak sayang anaknya. Meski dia harus jauh bekerja, maka dia terlebih dahulu akan memastikan kalau anak-anaknya baik-baik saja. Setelah menjadi seorang ibu, aku yakin dan percaya seorang ibu rela melakukan banyak hal buat anaknya.
Kawan, jari  ibumu sering teriris kala menyiapkan masakan buatmu. Pernahkah kamu menyadarinya. Wajah ibumu sering terciprat minyak panas demi memasak makanan kesukaanmu. Namun, mengapa kamu masih saja suka mencela masakannya. Tangannya sering terkelupas ketika mencuci pakaianmu. Tetapi, pernahkah kamu mengucapkan terima kasih. Dan tahukah kamu alasan ibumu sering memilih makan setelahmu, bukan karena dia sudah kenyang tapi hanya untuk memastikan bahwa makanan itu cukup untuk kau makan.
Dulu aku sering mendengar ceramah para kyai tentang makbulnya do’a seorang ibu atas anaknya. Hatiku sering menyesal setelah mendengarnya, karena kematian ibuku berarti juga mematikan harapanku akan do’a ibuku. Tetapi kawan, setelah menjadi seorang ibu aku menyadarinya, dalam hidup singkatnya kala itu, meski terpisah jarak, ibuku pasti sempat berdo’a untuk kehidupanku. Setelah jadi ibu aku baru tahu bahwa dalam setiap  helaan nafas seorang ibu dan dalam setiap sujudnya maka terselip do’a kebaikan bagi anaknya. Aku yakin dan sudah buktikan, apa yang kudapat sekarang adalah jawaban Allah atas do’a ibuku di masa hidup kala itu.
Kawan….., jika kamu beruntung bersamanya sampai kelak dia berumur, bahagiakanlah dia. Jika dia mulai cerewet maka janganlah kamu marah dan jengkel padanya. Ingatlah dulu kamu kecil, selalu menyusahkannya.
Ketika tangannya mulai bergetar maka suapilah dia dan janganlah mengeluh. Ingatlah dulu kamu kecil, dia juga tak pernah mengeluh kala harus mengejarmu hanya untuk menyuapi makanan ke mulutmu meski setelah itu kamu muntahkan dan kamu mencela masakannya. 
Kalau setelah dia tua, dia selalu mengulang cerita yang sama, janganlah kamu merasa bosan mendengarkan. Ingatlah dulu kamu kecil, dia juga tak pernah bosan mendengar ocehanmu tentang mainan dan kawan-kawan barumu padahal itu sudah berkali-kali kau ceritakan.
Ketika dia sudah payah berjalan sendiri dan berharap kamu mengantarnya pergi , maka janganlah kamu berkilah dengan berbagai alasan pekerjaan. Ingatlah dulu kamu kecil, dia sering mengajakmu jalan-jalan.
Kalau dia  sudah beranjak tua dan mulai sakit-sakitan maka sering-seringlah bersamanya. Ingatlah dulu kamu kecil, ibumu menangis dan berdoa di sampingmu ketika suhu tubuh kamu meninggi. Kamu pun tak pernah mau jauh darinya. Sulit baginya memicingkan mata selagi demam kamu belum turun. Ia begitu takut kehilangan kamu.
Aku akan tuliskan lagi cerita tentang pohon apel dan anak kecil. Ketika masih kecil, seorang anak selalu bermain di bawah pohon apel dan mengharapkan buahnya jatuh. Pohon apel merasa senang karena selalu ditemani. Sampai akhirnya, anak itu menjadi besar dan tidak pernah bermain lagi.
Ketika anak kecil itu datang lagi. Ia dapati pohon apel yang tua itu sudah tidak berbuah lagi. Tapi, ia membutuhkan daun dan ranting-rantingnya untuk suatu keperluan. Pohon apel merasa gembira karena anak yang sudah dewasa itu datang lagi.
Akhirnya ketika pohon apel itu sudah hampir mati, tak ada lagi buah, daun bahkan rantingnya. Si anak itu datang lagi ke pohon apel. Ia berdialog dengan pohon tersebut. “Aku tidak butuh apa-apa lagi darimu, baik buah maupun ranting. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah mengenang masa kecilku bersamamu”. Pohon apel bergumam dengan penuh kebahagiaan “Tidak apa-apa, kedatanganmu saat ini saja sudah sangat menyenangkanku”.
Tahukah Anda tamsil cerita itu. Pohon apel itu tak lain adalah sosok ibunda kita. Dia selalu ada dan menyambut kita ketika kita pulang sekolah. Ia juga penyejuk hati kita ketika kita mengalami goncangan di sekolah, dengan guru maupun teman. Bahkan, ia pun siap menjadi tong sampah, tempat kita memuntahkan segala uneg-uneg kesedihan dan kegagalan kita.
Sekarang saatnya kita bertanya, dia dulu selalu ada untuk kita, apakah kita juga selalu ada saat dia membutuhkan kita?? Begitu besarnya perjuangan seorang ibu sehingga Nabi Muhammad SAW perlu mengulang tiga kali ‘ibumu….ibumu….ibumu’ . Bahkan dalam Al-Qur’an banyak perintah berbuat baik kepadanya.
 “...dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknyaJika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “...dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil".”
—(Al Isra’:23-24)
...dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.”
—(Luqman: 14)





"SELAMAT HARI IBU, I LOVE YOU MOM"

Minggu, 07 Desember 2014

Behind "The True Story"

Tak menyangka “The true story” yang kutulis mendapat apresiasi begitu tinggi. Kisah yang baru pertama bisa kuceritakan secara utuh ini hanya garis besar dari dahsyatnya perjalanan hidup sampai usiaku saat ini. Banyak bagian yang masih rapi tersimpan dalam memory, hanya untuk aku dan Dia yang maha mengetahui.
Kata demi kata yang kurangkai dalam bentuk tulisan ternyata mampu mewakili perasaan terdalam. Selama ini, tak pernah sanggup aku bercerita karena setiap membuka kata hanya air mata yang menuntaskannya.
Sahabat, kalian yang telah membaca kisahku dengan jujur mengatakan terharu bahkan menangis saat membacanya. Aku juga sempat berhadapan langsung dengan teman yang membaca kisahku sambil bercucuran airmata. Aku sungguh terharu dengan setiap comment, atensi  dan apresiasi itu.  The true story yang kutulis adalah benar-benar kisah hidupku. Rinai hujan yang jatuh saat ku menuliskannya senada dengan jatuhnya derai air mata saat kucoba mengingatnya. Berjuang mengorek lupa yang telah menoreh luka lama. Jariku yang menari sempat terhenti berkali-kali. Aku heran, air mataku selalu banyak persediaan.
Ini sebagian comment yang mereka ungkapkan :



Juga yang ini :



Dan ini yang paling membuat ku terharu kala ku membacanya. Testimoni kawan lamaku. Teman sekelasku waktu kelas 2 SMU. Kawan,  dulu waktu SMA aku begitu iri padamu. Dimataku kamu begitu bahagia, karena kamu memiliki semua yang bagiku dulu hanya mimpi belaka.





Ini adalah tanggapan kawan-kawan SMA ku yang baru tahu tentang kisah hidupku setelah membaca postingannya di atas.


Meski saat ini aku masih belum bisa dikatakan sukses. Namun aku beranikan untuk berbagi kisah itu. Bukan untuk berbagi sedihnya, namun untuk berbagi hikmah  dan makna di balik setiap garis takdirnya. Banyak hal yang dulu bagiku terasa tidak adil justru sekarang sangat kusyukuri.  Ketika saat itu aku merasa sendiri, sebenarnya banyak orang disekelilingku yang begitu sangat peduli. Ketika dulu aku hanya bisa berdo’a dalam setiap sujudku, sekarang aku merasa Allah selalu mengabulkan setiap do'a ku.

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (QS Ibrahim [14] :34)



Jumat, 05 Desember 2014

Foto Pusaka

Kutulis ini seusai menyaksikan acara 360 MetroTV yang menayangkan tentang pertemuan Yulianti si anak adopsi dengan keluarganya. Jarak ribuan kilo memisahkan dia dengan ibunya selama 31 tahun.  
Aku bukan Yulianti, tapi tangis haru pertemuan mereka mengingatkanku pada tangisan yang sama yang pernah kurasakan. Tangis haru kala itu, bisa bertemu dengan delapan kakak dan keluarga besar ayahku.  
Saat itu aku baru menamatkan SMA.  Sebelum aku pergi menuntut ilmu ke ibukota provinsi. Dengan ikut tetangga, pertama kali kujejakkan kaki di tempat itu. Tempat berkumpulnya orang-orang yang menjadi bagian puzzle hidupku. Saat itulah pertama kali aku berada dalam jarak paling dekat dengan ayahku. Jarak yang hanya dipisahkan dalam hitungan meter. Namun sayang, jarak itu terpisah oleh gundukan tanah merah. Gundukan tanah merah yang tidak lagi basah. Angin semilir dan aroma khas bunga kenanga menemaniku di sana. Dua indra berbeda bereaksi  senada seirama. Bulir kaca air mata dan alunan lirih Surah Yaasin sama-sama mengalir ditempat itu. Di tempat terbaringnya orang yang selama ini hanya kubentuk dalam imajinasiku dan hanya hadir dalam selembar foto.
Selembar foto ini saja sebagai benda pusaka yang kupunya. Foto ini kuambil diam-diam pada album lusuh yang disimpan nenek dalam lemari pakaiannya.

Selembar foto yang kupunya ini adalah saksi bahwa benar kebersamaan mereka pernah ada. Mereka yang di dalam tubuhku mengalir darahnya. Satu diantara mereka tak pernah kuraba dan tak sekalipun bersua. Satu yang lainnya juga tak lama bisa bersama. Semoga mereka dilapangkan kuburnya dan mendapat tempat terbaik disisiNya. Aamiin



Senin, 01 Desember 2014

The True Story



Kisah ini berawal dari perihnya hidup seorang wanita yang baru saja ditinggalkan suami yang  tergoda wanita lain. Suami yang jadi tulangpunggungnya juga melupakan tanggungjawab terhadap nafkah ketiga anak mereka. Sehingga demi keberlangsungan hidupnya dan anak-anaknya,  wanita ini mencoba mengadu nasib, merantau ke daerah yang sudah masuk wilayah provinsi tetangga.  Satu anak bungsu dibawanya, dua lainnya dititipkan sementara pada ibunya. Entah bagaimana ceritanya, wanita yang mencoba berdagang kecil-kecilan ini kemudian dinikahi seorang pejabat daerah cukup terpandang di sana. Laki-laki yang sudah memiliki 6 anak dari  istri pertamanya dan masing-masing satu anak dari istri kedua dan ketiganya. Itu artinya laki-laki yang menikahi wanita ini sudah pernah menikahi tiga wanita sebelumnya. Tak jelas bagaimana statusnya saat itu, suami orang ataukah sudah mantan suami orang. Wanita ini menerima keadaan sebagai istri kesekian mungkin berharap bisa berbagi beban. Tapi malang, bukan kebahagiaan yang dia dapat. Wanita ini kembali harus menemui takdirnya. Dalam keadaan hamil tua, tanpa kuasa melawan, dia diusir oleh istri kedua suaminya yang sebelumnya sudah lama pergi ke lain kota. Anehnya, entah kena pengaruh seperti apa, suaminya juga tega membiarkannya. Akhirnya, dengan bercucuran air mata pulanglah wanita ini ke kampungnya dengan membawa beban lahir sekaligus batin. Beban lahir, karena saat itu usia kandungannya sudah mencapai bulannya. Beban batin, karena ini menjadi kali kedua dia gagal berumah tangga.
Sebuah rumah sederhana di hilir sebuah desa di pinggiran kota Amuntai, seorang ibu bersiap menunggu kelahiran bayi yang dikandungnya. Ibu tersebut baru saja kembali ke kampung tersebut setelah beberapa waktu merantau ke sebuah kabupaten di provinsi Kalimantan Timur, dan menikah dengan salah satu pejabat di sana. Kota Amuntai adalah Ibukota kabupaten kecil berjarak 200 km dari Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan. Kampung ini membentang sepanjang  sungai tabalong yang mengalir dari hulu kota Tanjung. Diberi nama Padang Basar karena diambil dari bahasa setempat untuk menyatakan sawah besar. Karena memang desa ini diapit antara sungai yang mengalir dan sawah yang membentang. Sawah yang hanya mengandalkan tadah hujan ini akan sangat kering ketika musim kemarau dan sangat melimpah airnya kala musim hujan datang. Lumayan dekat dengan kota kabupaten, tetapi kehidupan di kampung itu masih sangat sederhana. Masyarakatnya mengandalkan pencaharian dari bertani dan menjual ikan tangkapan di air tawar.  Jalan kampung waktu itu hanya kendaraan roda dua yang bisa melewatinya.
Hari pertama di bulan Desember  tahun sembilan belas tujuh sembilan menandai kelahiran seorang anak manusia. Bayi mungil yang lahir dari pertaruhan raga dan nyawa ibunya. Ibu yang melahirkan tanpa suami disampingnya. Hari demi hari berlalu, si bayi kecil tumbuh bersama ibunya. Tak sekalipun pernah ditengok ayahnya atau bahkan keluarga ayahnya.  Tak ingin terus-terusan hidup dari belas kasihan keluarganya di kampung, dan demi anak-anak kecil tanpa ayah itu, sang ibu memutuskan kembali mencari kerja jauh ke ibu kota Provinsi. Dengan hati berat, bayi kecil yang baru selesai disapihnya selama dua tahun dititipkan kepada neneknya. Ketiga anaknya yang lain ada yang diasuh keluarga mantan suami pertamanya, ada yang berusaha mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri.
     Demikianlah bermula cerita bayi perempuan kecil yang tumbuh sederhana dalam pengasuhan nenek yang hanya seorang janda dari pensiunan tentara.  Seiring berkembangnya daya nalarnya, anak kecil itu mulai berfikir tentang keberadaannya yang berbeda dengan kawan sepermainannya. Dia mulai bingung dimana ibunya dan siapa bapaknya. Mereka kawan-kawannya mempunyai ayah dan ibu, sedangkan dia tumbuh dan besar bersama nenek. Ibunya hanya pulang sesekali, dan ayahnya tak pernah dilihatnya walau sekali.Tak ada penjelasan lugas yang bisa diterima oleh akal kanak-kanaknya. Kelihatan sedikit tomboy, anak itu kemudian tumbuh menjadi anak pendiam, introvert dan sangat sensitif. Dengan mudahnya air mata memancar keluar ketika mendengar pembicaraan keluarga atau tamu yang datang menyinggung tentang keberadaan orang tuanya. Namun akan sangat gembira luar biasa ketika menyambut lebaran tiba. Ya, lebaran menjadi hari yang paling ditunggunya. Bukan karena dia akan mendapat baju baru, juga bukan karena aneka makanan yang akan disiapkan neneknya.Tapi karena dia menunggu seorang tukang ojek datang ke kampungnya. Bukan….. bukan tukang ojeknya itu yang lama ditunggunya, tapi orang yang duduk di belakangnya. Itulah ibunya. Dia akan teriak sekuat tenaga menyeru ‘mamaaaa’ dan menghambur ke pelukannya. Saat itu yang ada dalam benaknya bahwa sebentar lagi dia bisa membanggakan ibunya ke teman-temannya. Ibu yang selalu dirindukannya.  Ibu yang setiap kali datang membawa beberapa potong baju baru dan buku-buku cerita buat anak kecil itu. Setelah lebaran berlalu, anak itu akan terus mengikuti ibunya karena dia tahu pasti bahwa bakal ditinggal pergi lagi. Namun begitulah, beberapa hari kemudian, dengan sedikit tipuan yang khas kepada anak kecil, ibunya tiba-tiba sudah pergi, dan dia hanya bisa menangis setelah menyadari kepergian ibu dari hadapannya. Hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan menjadi tahun, begitu selalu berganti dengan pasti dan dijalani anak itu dengan tumpukan rindu. Rindu menunggu waktu bertemu lagi dengan ibu. Hanya menunggu ibunya, karena dia sudah tidak tahu apakah masih ada ayah untuknya.
Di lain kota, sang ibu membanting tulang dengan menjadi buruh tani pemetik padi di wilayah Gambut. Beberapa bulan setelahnya, Ibunya diterima bekerja di pabrik pengolahan kayu di daerah Jelapat, Kabupaten Barito Kuala. Pada suatu hari, mungkin kala anak tersebut mulai menginjak usia 8  tahun. Seingatnya itu bukan lebaran idul fitri ataupun lebaran haji, karena kalau tidak mengambil cuti, ibunya hanya bisa pulang di kedua hari itu. Sang ibu datang dengan membawa seorang laki-laki dan kemudian diperkenalkan sebagai calon suami. Setelah itu tampak kesibukan yang aneh di mata anak kecil lugu itu. Ternyata ibu, nenek dan keluarga bersiap untuk melaksanakan ijab kabul keesokan harinya. Tak ada yang tahu, hati anak kecil itu begitu pilu. Demi Allah, yang membolak-balik hati, tak ada ketakutan dan kesedihan yang paling dirasa kecuali kepedihan saat itu.  Anak yang hanya punya ibu ini begitu takut kasih sayang ibunya diambil orang asing itu. Perasaan takut kalau ibunya akhirnya akan semakin jarang datang, takut ibunya  tidak memperhatikannya lagi, takut sayang ibunya padanya akan berkurang. Perasaan hampa, kosong, dan  begitu kehilangan. Bermacam fikiran seorang anak kecil yang hanya mampu disimpan tanpa berani dia utarakan. Namun, tanpa bisa memahami fikiran orang dewasa, dia akhirnya pasrah merelakan ibunya pergi  dengan menyandang status baru. Status sebagai istri seorang bernama awalan ‘Gusti’ di Banjarmasin. Waktu terus berlalu. Si gadis kecil tumbuh dalam sendu.
Sebagai anak kampung, tak banyak yang dia tahu tentang kehidupan seperti apa yang dijalani ibunya dengan suami barunya di sana. Ibunya makin jarang pulang. Jangankan tanya kabar lewat handphone atau kirim pesan lewat email seperti sekarang. Berkirim surat saja pun dia tidak tahu kemana menulis alamatnya. Berdasarkan obrolan orang-orang dewasa keluarganya yang dia curi dengar, ibunya dan suaminya sekarang, dulunya kawan lama masa remaja. Pekerjaan kakeknya semasa muda adalah tentara, sehingga sering berpindah tugas. Jadi tidak heran kalau ibunya pernah menghabiskan masa muda di Kota Banjarmasin. Takdir mempertemukan mereka kembali saat mereka sudah sama-sama tidak muda lagi. Setelah pernikahan itu, beberapa kali ibunya pulang ke kampungnya dengan wajah biru lebam. Sepertinya bekas terkena tendangan dan pukulan. Mungkin alasan tak ingin rumah tangganya hancur untuk kali kesekian, ibunya memilih untuk terus bertahan dengan kondisi rumah tangganya yang entah seperti apa. Tak pernah sekalipun ibunya terdengar mengeluhkan atau sekedar menceritakan status yang disandangnya kala itu.
Seiring perjalanan waktu, anak perempuan kecil itu tumbuh dengan jalan fikirannya sendiri. Dia tak pernah sekalipun menanyakan tentang masa lalu ibunya yang menyebabkan dia ada. Dia juga takut untuk bertanya di mana sekarang ayahnya.  Walaupun bermacam pertanyaan berkecamuk dalam hati menunggu jawaban dan penjelasan, namun tetaplah dia simpan sendiri bersama tangisnya di malam hari. Dia sadar akan derita ibunya. Dia takut pertanyaannya akan menoreh kembali luka hati ibunya. Dia hanya menunggu dalam diam. Entah karena tak kuasa menceritakan atau karena menganggap anaknya belum cukup dewasa untuk memahaminya. Ibunya juga bungkam tak pernah berterus terang. Masa lalu seakan ingin dikuburnya dalam-dalam. Sang anak hanya bisa berharap suatu hari nanti bisa tahu dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, sehingga cerita masa lalunya dan dimana ayahnya sekarang bukan lagi sebuah misteri.
Setamat SD, tak ada sekolah lanjutan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari rumah neneknya. Orang yang biasa disebutnya paman, adik ibunya, menawari untuk sekolah dan tinggal dirumahnya sekalian menjadi teman kedua anak pamannya yang masih kecil. Kebetulan rumah pamannya dekat dengan sebuah SMP di sana. Jarak rumah pamannya itu terpisah satu kecamatan dari rumah neneknya. Karena keinginan untuk terus sekolah, dia menerima tawaran itu.  Kesedihan sering muncul kala melihat dan memperhatikan keluarga pamannya yang lengkap. Dia sering merasa iri dan merasa sendiri. Dia merasa menjadi orang asing pengganggu ditengah bahagianya keluarga mereka. Setiap hari minggu, dia naik sepeda menempuh jarak puluhan km untuk menjenguk neneknya dan pulang ke rumah yang sudah membesarkannya.Dua tahun bersama keluarga paman, anak kecil kampung yang mulai beranjak remaja itu merasa susah menyesuaikan diri. Perasaan lebih nyaman bersama nenek yang sudah membesarkannya, membuat anak remaja tanggung itu mengambil keputusan pergi dari rumah pamannya dan kembali ikut neneknya. Sekolah dilanjutkan dengan tetap pulang pergi dari rumah neneknya, menempuh jarak sekitar 15 km naik sepeda setiap hari.
Setelah menikah kali ketiga, mungkin karena sudah merasa lelah dan sering sakit, ibunya berhenti dari pekerjaan sebagai karyawan perusahaan kayu. Untuk menutupi kebutuhannya dia mengambil upah sebagai pengupas bawang di daerah Kelayan. Suatu hari, anak remaja tanggung tersebut duduk di kelas 3 SMP kala itu. Sang ibu terlihat pulang ke kampungnya dengan diantar suaminya. Gadis remaja ini heran padahal masih jauh dari lebaran. Ternyata, tak dinyana dan tak diduga, ibunya pulang bukan untuk merayakan lebaran seperti biasa, tapi pulang membawa tubuh kurus, lemah dan sakit tak berdaya. Tampak lelaki yang mengantarnya ingin melepaskan tanggungjawab atas wanita yang sudah dia nikahi dan kini terlihat sangat pucat itu. Melihat  lemah wajah sang ibu, gadis remaja ini menyimpan saja kesalnya dalam hati kepada lelaki yang hanya bekerja sebagai tukang servis jam itu. Tanpa perasaan, lelaki yang mengantar pulang istrinya itu kembali ke daerah asalnya. Selang sehari kemudian, keluarganya membawa ibu yang sudah tampak payah tersebut ke rumah sakit. Seminggu di rumah sakit Amuntai, dokter menyerahkan kembali wanita itu ke keluarganya, mereka berujar pasrah. Lamanya terpapar zat kimia akibat lama bekerja di pabrik kayu lapis dianggap sebagai penyebab sakitnya. Vonis dokter adalah gagal ginjal. Diceritakan dokter kalau pengobatan penyakit ini hanya bisa dilakukan secara berkala dan kontinu di rumah sakit besar di pulau Jawa. Kala itu, tak ada jamkesmas, jamkesda atau semacam yang sekarang dikenal sebagai BPJS. Jangan kata untuk membiayai pengobatan, untuk biaya transportasi ke sana saja tidak punya. Jarak pulau Jawa-Kalimantan seakan begitu jauhnya dan begitu lama, karena tiket pesawat waktu itu masih sangat mahal. Kapal laut yang berlayar ke sana juga tidak tiap hari. Akhirnya dengan memperhatikan kondisi ekonomi keluarga, ibu itu dibawa pulang ke rumah dan hanya di usahakan pengobatan alternatif saja.  
Ibu yang sudah memiliki empat anak itu semakin hari tampak  semakin payah dan semakin parah. Sang gadis remaja bersama kakak perempuannya berusaha setia merawat dan menyuapi makan wanita lemah itu. Dua kakak laki-lakinya juga tak bisa berbuat banyak karena masing-masing harus bekerja. Satu kakak laki-lakinya meneruskan jejak ibunya menjadi karyawan perusahaan kayu di Banjarmasin. Kakak laki-lakinya yang lain sebagai karyawan toko di kota Amuntai. Begitulah kehidupan mereka. Setiap hari terdengar rintih lirih kesakitan wanita berumur itu. Sang anak hanya bisa menyembunyikan tangisnya kala mendengar ibunya mengerang menahan sakit terutama kala hajat minta dibuang. Satu bulan berhasil dilewati. Tak ingin terlihat pasrah, berbagai air, ramuan, dan do’a dari para ulama juga tetap diusahakan tetangga atau keluarga yang berkunjung. Semakin hari malahan makin lemah, sang ibu hanya bisa terkulai, terbaring menunggu takdir. Perih pilu di rasa gadis itu. Ingin dia saja yang menggantikan sakitnya. Biarlah dia rela tidak pernah bertemu ayahnya asalkan ibunya bisa kembali sehat seperti sedia kala. Tampak olehnya kalau tubuh ibunya hanya tinggal kulit membungkus tulang. Satu bulan lebih seminggu dalam perawatan,akhirnya November tahun Sembilan Tiga wanita itu menyerah pada takdirnya. Tamatlah satu episode kehidupan seorang anak manusia yang hidup dengan deritanya. Meski sudah sekian lama menyiapkan mentalnya, sang anak tetap saja terguncang hebat. Sudah tak tahu rupa ayah, ibunya yang begitu dicintainya juga pergi meninggalkannya. Pupus harapnya suatu saat bisa berkumpul bersama ibunya.  
Hanya nenek tempatnya sekarang bertumpu. Berbekal beasiswa yang ditabungnya dari SMP, dengan nilai ujian yang cukup bisa dibanggakan, akhirnya dia diterima masuk SMA favorit di kota itu. Saat dia duduk di bangku SMU pernah ada tetangganya yang membawa berita kalau keluarga ayahnya sedang mencari dirinya. Kebetulan memang beberapa penduduk di daerah dia tinggal berpencarian sebagai pedagang ke berbagai daerah di Kalimantan Timur. Entahlah bagaimana perasaannya saat mengetahui hal itu. Namun, dalam hatinya dia selalu menunggu saat itu, saat dimana dia bisa bertemu dengan orang yang di dalam nadinya telah mengalir darah orang tersebut.
Suatu sore sewaktu tiba di rumah dari perkemahan pramuka saat duduk di kelas 2 SMU, sudah ada dua tamu laki-laki asing menunggunya. Tamu itu sekalipun tak pernah dikenalnya, namun datang mencari dirinya. Mereka datang membawa lembaran-lembaran foto keluarga yang satu orangpun tak pernah dikenal rupa wajahnya. Orang-orang tersebut mengatakan kalau mereka diutus berdasarkan amanat keluarga. Mereka bercerita tentang silsilah keluarga dalam foto itu. Beruntung saat itu sudah malam dan lampu temaram rumah neneknya bisa menutupi bulir bening yang mengalir perlahan di ujung kelopak matanya. Mengalir mengiringi cerita dari kedua tamu lelaki itu. Mereka  ternyata adalah kakak tertuanya dan adik dari ayahnya. Misteri masa lalunya yang tak sempat diceritakan ibunya perlahan mulai terungkap. Mereka juga mengisahkan kalau ayahnya selama tiga belas tahun menderita kelumpuhan akibat diserang stroke. Seakan meminta pemakluman kalau itulah alasan dia tak pernah dicari selama ini. Cerita terus berlanjut, si gadis hanya diam mendengarkan sambil sesekali menyeka air mata. Kakak yang baru dikenalnya itu melanjutkan cerita bahwa maksud kedatangannya karena amanah ayahnya agar mau mencari anak yang dulu dikandung istrinya. Kata mereka, amanah tersebut harus disampaikan karena….karena sang ayah telah menutup mata selamanya. Ya …gadis remaja itu tidak salah dengar, menurut mereka ayahnya telah tiada tiga hari yang lalu. Andai hati punya warna, maka tak ada warna yang bisa menggambarkan perasaan gadis itu saat ini. Wahai zat yang menguasai gelap, tak ada lagi gelap yang lebih pekat menandingi perasaannya saat itu. Butiran bening itupun sudah tak terbendung. Tak ada lagi harap untuknya bisa memandang wajah ayahnya walau sekejap. Tak ada lagi hari yang ditunggunya agar bisa bertemu. Benar-benar sudah tak ada ayah baginya. Untungnya walaupun dia sempat terisak, namun dia tetap kuat. Berita itu baginya hanya menegaskan bahwa mimpinya tetaplah akan menjadi mimpi. Berita itu  tidak akan mengubah hidupnya. Hidupnya akan tetap seperti itu selamanya, melanjutkan harinya bersama neneknya.
Dengan mengandalkan prestasi belajar yang didapatnya, dia memberanikan diri turut mengisi aplikasi kuliah di universitas negri  dengan jalur tanpa tes bernama PMDK dan Alhamdulillah diterima. Dia hanya berharap kuliahnya nanti dapat beasiswa,  karena menurut cerita seorang temannya, setiap tahun ada beasiswa yang disediakan pemerintah berdasarkan nilai raport SMU saja. Berbekal uang tabungan sisa beasiswa yang didapatnya selama ini, ditambah uang penjualan sepeda sekolahnya, juga sedikit tambahan dari keluarganya maka si gadis kampung itu membulatkan niat dan tekad untuk nekat berangkat menuntut ilmu ke kota Banjarmasin. Kota yang sempat jadi sejarah bagi hidup ibunya.
Setelah resmi berstatus mahasiswa, gadis kampung itu berhasil mendapatkan beasiswa, waktu itu namanya beasiswa PPA. Namun sayang, krisis moneter tahun 1998 melanda. Pemerintah menunda pencairan beasiswanya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Setahun bertahan dengan hanya sedikit kiriman uang per bulan. Kiriman yang  merupakan urunan dari nenek, paman yang pernah memeliharanya, dan kakak bungsunya yang bekerja sebagai penjaga toko. Untunglah, berkat nilai akademis yang diperolehnya, akhirnya di tahun kedua dia mendapatkan beasiswa yang ditunggunya.
Allah menunjukkan kuasanya. Bahwa tak selamanya hidup itu menderita. Kalau kita sabar, maka niscaya akan indah pada waktunya. Akhirnya, dengan banyak bantuan keluarga dan sahabatnya, gadis itu berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu paling singkat. Melihat nilai yang diperolehnya, dia langsung ditawari bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Di saat sebagian besar teman-teman seangkatannya masih sibuk menyelesaikan kuliahnya, gadis kampung itu sudah sarjana dan bekerja. Bak cerita Cinderella, sepatu kaca juga mendapatkan pasangannya. Seorang anak petani yang merupakan kakak tingkatnya sewaktu kuliah S1 kini sudah menjadi suaminya. Ditengah bahagianya menerima anugrah kehamilan anak pertama, dia langsung berhasil jadi PNS dengan hanya sekali ikut tes. Walaupun setelahnya dia harus banyak bersabar karena setelah kelahiran anak pertamanya, suaminya harus meninggalkannya dalam rangka tugas belajar di Surabaya. Ya, suaminya yang diangkat sebagai seorang dosen memang dituntut minimal S2. Ternyata benarlah bahwa nikmat itu tak akan berhenti kalau disyukuri. Di tengah mengandung anak kedua, dia juga mendapatkan kesempatan memperoleh beasiswa S2 di universitas ternama di Indonesia.
 Waktu berderap dengan cepat. Dalam syukur yang luar biasa, sambil membesarkan kedua putri mereka,  dia mendapat lagi anugrah seorang putra. Syukurnya lagi, kerelaan dan pengorbanan melepas suami studi S3, akhirnya berbuah bahagia. Bangga karena berhasil mendampingi suami menyematkan gelar doktor di depan namanya.
 Kisah pilu masa lalu itu sudah berlalu bersama waktu. Lalu, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan??? Begitu banyak anugerah yang harus disyukuri, termasuk pencapaian usianya sampai hari ini. Sampai dia bisa menuliskan cerita ini. Hari ini.

 Semoga cerita ini bisa jadi inspirasi dan pelecut motivasi. Percayalah, saat Tuhan mengujimu maka Dia sudah menyiapkan hadiah indah bagimu. Tetaplah lewati dengan sabar dan baik sangka.


 Tak ada yang bisa mengubah masa lalu. Yang bisa hanyalah mengubah masa depan dengan bercermin ke masa lalu. 

 (Banjarmasin, 01 Desember 2014)
 












Selasa, 25 November 2014

Selamat Hari Guru 2014

Hari ini semua media sosial baik twitter, bbm, fb, instagram, dan semacamnya semua latah mengucapkan kata-kata indah bernada pujian ataupun sekedar ucapan selamat kepada satu profesi yang dulu, entah kini, begitu dihormati bernama GURU. Walau terlihat agak dadakan dan koordinasi yang kurang matang, anak-anak kami di MAN 2 Model Banjarmasin mengungkapkan dan merayakan hari guru ini dengan berbagai ragam ekspresi. Ada yang hanya sekedar baca puisi puja puji, ada yang menyanyikan lagu himne, ada yang menyiapkan kue dalam piring saji, ada yang memberi kado atau entah apalagi.

Lembaran foto-foto ini akan mengabadikan hari bersejarah ini, bersama sebagian anak kelas XII Bahasa  dengan berbagai karakter siswanya.
 Momen ini akan tetap terkenang indah dimemori, senang pernah bersama kalian..guys.
dan yang ini....


Teringatku pada sebait puisi yang kutulis 3 tahun yang lalu di hari guru.


Anakku..
Bila saatnya tiba kau meninggalkan kami..
Kembalilah nanti sekali-kali kesini, tengoklah gurumu ini..Kami akan masih disini, tetap seperti ini..
Berkutat pada buku-buku, papan tulis berdebu, membagi ilmu pada adik-adik barumu..
Mungkin saat itu kau sudah jadi mahasiswa, atau orang kaya pengusaha, atau bahkan bangsawan penguasa..
Tengoklah kami sekali-kali..
Boleh tanya seberapa gaji kami..Bandingkan dulu dan saat ini..
Masih banyak dibagi tapi tak banyak dikali..
Mungkin kau dengar berita-berita saat ini..
Kami di iming-imingi yang namanya sertifikasi..
Tapi..kami diberi dengan setengah hati..
Betapa susahnya menuntut hak sertifikasi..
Kami diminta ngajar sana-sini..
Kami banyak yang dicurigai..dituduh manipulasi..
Syarat macam-macam sudah ditunaikan tapi hak kami belum juga dibayarkan.
Anakku..
Kami dengarkan dengan bangga kalian jadi apa dan siapa..
Kami tetap disini, masih seperti ini, tengoklah sekali-kali..
(Sebuah goresan di Hari Guru, 25 November 2011)



Sesuai bahasa aslinya 'guru' (digugu dan ditiru),  begitu tinggi pengharapan masyarakat kepada profesi ini. Ketika seorang siswa berbuat salah, maka yang ditanya, di sekolah dia diajarkan apa oleh gurunya. Namun, ketika seorang siswa berprestasi, maka jarang ditanya siapa gurunya?? Kita sering disalahkan, dianggap membosankan, metode yang monoton, kerja terlihat santai. Banyak orang tua siswa yang siswanya tidak mampu satu mata pelajaran lalu menyalahkan seorang guru yang tidak pandai mengajarkannya. Kami harus menyiapkan segudang sabar dalam menghadapi berpuluh karakter berbeda dari siswa yang bercampur dalam satu ruang dan waktu. Namun, terlepas dari sosok yang mereka anggap harus sempurna, kami tetaplah manusia biasa. Kadang jengkel, kadang marah, kadang mengumpat, kadang merengut, kadang merajuk. Namun, jauh dilubuk hati kami, kami tetap tulus mengabdi, mencerdaskan anak negri.

"Orang hebat bisa bangga dengan banyak mencetak karya dan prestasi, kami lebih bangga karena kamilah yang banyak mencetak orang-orang hebat itu" 


(Banjarmasin, 25 November 2014)

Sabtu, 15 November 2014

Catatan Pinggiran seorang Guru (memori setahun lalu)



Catatan Pinggiran seorang Guru
Dulu  aku tak mengerti  kalau aplikasi masuk kuliah yang ku isi merupakan fakultas untuk menjadi seorang guru. Namun, kebodohanku itu adalah jalan takdirku. Tak terasa sudah lebih 12 tahun aku mengabdikan ilmu yang kuperoleh. Aku mulai mencintai pekerjaanku. Tahun berganti, orang yang belajar bersamaku juga selalu berganti. Tapi satu hal yang selalu sama, semangat muda yang selalu datang menemaniku melewati hari. Bergaul dengan mereka membuatku selalu punya energi.  Tetapi, sering juga muncul kekesalan  dalam hati karena berapa kali ku ulang mereka tetap tidak mengerti, sebab ilmu yang kuberi adalah ilmu pasti, matematika, ya matematika. Aku percaya bahwa setiap orang membawa kecerdasan berbeda. Jadi, sebesar apapun kesalku, keluguan dan senyum mereka selalu dapat mengalahkanku.  Kuterima mereka apa adanya. Kuberi mereka semaksimal yang aku bisa. Kuharapkan mereka dapat berhasil menggapai cita-cita. Tak perlu mereka pandai matematika, tapi cukuplah mereka bisa memperhitungkan baik buruk setiap apa yang diperbuatnya. Tak perlulah mereka hapal rumus yang kuberi, tapi cukuplah mereka tahu rumus halal haram hidup ini.  
Tahun demi tahun telah kulalui.  Aku bersyukur bisa berbagi dan memperoleh rezeki melalui bantuan angka, kata dan tinta. Banyak yang pernah bersamaku entah suka atau tidak, melewati  jam demi jam pelajaran. Banyak yang rela duduk menunggu sampai akhir  meski dengan sikap bosan. Banyak juga yang diluar sana sudah bertebaran. Tak semua kutahu nasib mereka  entah jadi apa kini. Satu yang pasti, apabila aku mendengar mereka sudah sukses dan bahagia  maka aku akan turut merasa senangnya. Aku tak peduli apakah mereka masih ingat pernah bersamaku melewati kala itu, bersamaku berusaha menaklukkan angka dan rumus yang kuberi. Aku tak peduli.. (Bjm,November 2013)